Rossela Arneta Putri dan Muhammad Haikal Kasyfi
Staff, Empowerment Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta
Membahas tentang Child sex abuse tentu merupakan permasalahan yang seakan tidak memiliki batas. Fenomena buruk ini selalu terdengar hampir setiap hari di kehidupan masyarakat. Secara definisi, Child Sex Abuse merupakan sebuah kejahatan yang berupa kontak seksual baik langsung ataupun tidak langsung yang melibatkan anak-anak di bawah umur. Abney dan Priest (1995) mendefinisikan Child Sex Abuse sebagai tindakan manipulasi atau pemaksaan seksual terhadap anak atau remaja yang bergantung oleh seseorang yang dominan, hal ini menyebabkan anak atau remaja korban kejahatan seksual tidak dapat memberikan persetujuan seksual. Secara Internasional terdapat tiga kriteria sebuah fenomena dapat dikatakan sebagai Child Sex Abuse. Tiga kriteria tersebut yaitu : tindakan seksual antara manusia dewasa dengan manusia pra-pubertas, tindakan seksualitas antara orang tua dengan anaknya, dan tindakan seksual yang menggunakan kekerasan ataupun tanpa kekerasan (Finkelhor, tanpa tanggal).
Maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur memunculkan pertanyaan publik tentang faktor yang menjadi penyebab munculnya fenomena pelecehan seksual ini. Dalam artikel Lewoleba dan Fahrozi (2020) terdapat dua faktor yang mendikotomikan penyebab kejahatan seksual terhadap anak. Kedua faktor tersebut adalah Interen yang timbul dalam diri manusia, dan faktor eksternal yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial pelaku ataupun korban. Faktor interen merupakan faktor yang berasal dari diri individu pelaku ataupun korban. Terdapat tiga faktor yang terdapat dalam diri individu yaitu : yang pertama adalah faktor kejiwaan yang merupakan abnormalitas sikap dalam diri manusia yang mendorong manusia untuk melakukan tindak kejahatan, yang kedua adalah faktor biologis yang bersifat realitas alamiah yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan seksualitasnya, serta yang terakhir merupakan faktor moral yang menjadi faktor terpenting dari munculnya kejahatan seksual. Faktor moral dikatakan penting karena menjadi tolak ukur filterisasi pelaku untuk tidak melakukan kejahatan seksual. Manusia yang bermoral rendah lebih berpotensi untuk melakukan kejahatan seksual dibandingkan dengan manusia bermoral tinggi. Faktor selanjutnya merupakan faktor eksternal. Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dari pelaku dan korban. Adapun faktor eksternal yang sering menjadi penyebab munculnya kejahatan seksual terhadap anak antara lain : faktor budaya yang menganggap anak adalah kuasa orang dewasa, kedua adalah faktor ekonomi dan kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi objek seksualitas yang diperjualbelikan, faktor ketiga adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk mengedukasi anak perihal seksualitas yang menyebabkan anak menjadi awan terhadap hal-hal vital, faktor keempat adalah munculnya pornografi anak yang mempengaruhi psikologis anak untuk melakukan tindakan seksual.
Child Sex Abuse memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap korban. Banyak sekali dampak yang muncul akibat adanya kejahatan seksual terhadap anak. Dampak yang pertama adalah perubahan reaksi emosional yang terdapat pada korban, yang kedua adalah perubahan sikap fisik yang menganggu pola kehidupan korban, seperti sulit makan dan tidur, dampak yang ketiga adalah munculnya sikap-sikap yang menunjukkan keinginan korban untuk melakukan perbuatan-perbuatan asusila ataupun seksualitas, yang keempat adalah perubahan fungsi sosial yang dialami korban terhadap lingkungan sekitarnya. Tentu dampak yang disebutkan diatas merupakan dampak negatif yang sangat merugikan korban karena efek yang ditimbulkan merupakan efek jangka panjang (Browne & Finkelhor, 1986).
Mengukur kekerasan seksual anak sulit dan tidak ada sumber data tunggal yang memberikan gambaran menyeluruh tentang kejahatan tersebut. Kejahatan seksual terhadap anak tidak mengenal batas wilayah dan bisa terjadi di semua negara di dunia, termasuk di negara-negara di Eropa yang terkenal maju dalam berbagai sektor kehidupan. Meskipun Britania Raya dianggap sebagai negara yang gemilang dalam berbagai aspek, kasus child sex abuse atau pelecehan seksual anak juga tercatat terjadi di sana. Kasus ini mengingatkan kita bahwa kejahatan pelecehan seksual anak tidak memandang status sosial, ekonomi, atau budaya, sehingga harus diberantas di seluruh dunia. Setiap negara perlu melibatkan masyarakat, lembaga perlindungan anak, dan pihak berwenang dalam usaha untuk mencegah, melindungi, dan membantu pemulihan korban kejahatan seksual terhadap anak. Untuk melawan kejahatan pelecehan seksual anak dan memberikan bantuan kepada korban, dibentuklah sebuah organisasi yang bernama CSA Center.
CSA Center merupakan sebuah lembaga di UK yang fokus dalam mencegah, melindungi, dan membantu pemulihan korban child sexual abuse di Britania Raya. Berdasarkan data yang diperoleh dari CSA Center di United Kingdom, terjadi peningkatan jumlah kunjungan anak-anak ke pusat rujukan kekerasan seksual selama tahun 2020-2021. Bahkan, pusat rujukan kekerasan seksual (SARC) di Inggris telah menangani sebanyak 7.244 anak selama periode tersebut. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 20% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Mayoritas anak-anak yang datang ke SARC berusia antara 14 hingga 17 tahun dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan. CSA Center juga mencatat 89.200 kasus pelanggaran pelecehan seksual terhadap anak yang dilaporkan oleh kepolisian di Inggris dan Wales di tahun 2020-2021. Dari jumlah tersebut, 35% merupakan kasus yang melibatkan gambar pelecehan seksual, 31% melibatkan pemerkosaan atau kegiatan seksual dengan anak, dan sisanya melibatkan situasi di mana anak dieksploitasi secara seksual atau mengalami pelecehan terkait dengan ranah seksual.
Salah satu kasus pelecehan seksual anak yang menyita banyak perhatian publik adalah kasus Jeffrey Epstein, seorang pengusaha keuangan Amerika Serikat yang ditangkap dan didakwa melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak di Florida pada tahun 2005. Meskipun pernah mendekam di penjara, pada tahun 2019, Epstein kembali ditangkap oleh pihak berwenang federal AS karena tuduhan baru terkait perdagangan manusia dan eksploitasi seksual anak-anak. Dakwaan tersebut menyatakan bahwa Epstein memimpin sebuah jaringan internasional yang melibatkan individu terkenal dan memanipulasi gadis-gadis muda untuk keperluan seksual. Epstein melakukan pelecehan terhadap 36 gadis muda, termasuk di antaranya yang berusia 14 tahun, dengan memberikan iming-iming tertentu.
Kasus kejahatan yang melibatkan Jeffrey Epstein semakin memicu kemarahan publik sebab ia dugaan telah melakukan tindak kejahatan seksual anak dengan bebas di pulau pribadinya yang dikenal sebagai “Little Saint James” di Kepulauan Virgin. Beberapa laporan dan kesaksian menggambarkan pulau ini sebagai tempat di mana kegiatan yang melibatkan pelecehan seksual dan perdagangan manusia terjadi. Pada bulan Juli 2019, setelah penangkapan dan dakwaan terhadap Jeffrey Epstein, pulau tersebut dikosongkan dan ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah. Tidak ada aktivitas yang diperbolehkan di pulau tersebut sejak saat itu. Kasus ini memperlihatkan kejahatan pelecehan seksual yang melibatkan orang-orang berpengaruh dan memunculkan pertanyaan mengenai keadilan sistem hukum dan perlindungan terhadap anak-anak.
Lembaga seperti UNICEF (United Nations Children’s Fund) dan CSA Center memiliki peran penting dalam menangani dan memberantas pelecehan seksual terhadap anak-anak. Meskipun mereka tidak secara langsung terlibat dalam kasus-kasus individu seperti kasus pelecehan seksual tertentu, lembaga-lembaga ini berfokus pada perlindungan anak-anak, pencegahan pelecehan seksual, dan rehabilitasi korban. Kedua lembaga ini memiliki peran yang sangat penting, bersama dengan organisasi internasional dan lembaga lainnya, karena mereka berupaya untuk meningkatkan kesadaran, memperkuat kerangka hukum dan kebijakan, memberikan perlindungan, dan memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual anak-anak. Mereka juga berperan dalam mendukung program rehabilitasi dan pemulihan bagi korban serta membantu dalam penuntasan pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Referensi
Abney, V. D., & Priest, R. (1995). African American and sexual child abuse. In L. Fontes (Ed.), Sexual abuse in nine north American cultures (pp. 11–30). Thousand Oaks, CA: Sage.
Browne, A. Finkelhor, D. (1986). Impact of Child Sexual Abuse: A Review of the Research. Psychological Bulletin 1986, Vol. 99, No. 1,66-77. University of New Hampshire.
CSA CENTER. (2023) Online. Child Sexual Abuse in 2020/21: Trends in Official Data. / Diakses pada tanggal 26 Juni 2023, melalui: https://www.csacentre.org.uk/documents/child-sexual-abuse-in-2020-21-trends-in-official-data/
Finkelhor, D. (Tanpa tanggal). Child Sexual Abuse: Challenges Facing Child Protection and Mental Health Professionals. Ashgate publishing. England.
Lewoleba, K,K., Fahrozi, M, H. (2020). Studi Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual Pada Anak-anak. Jurnal Esensi Hukum Vol 2 No. 1. UPN Veteran Jakarta.
Nur, I,C. (2021). Kasus Predator Seks Jeffrey Epstein, Pilot Mengaku Angkut Gadis Muda dan Anak Ratu Elizabeth. Diakses pada tanggal 27 Juni 2023, melalui: https://www.tribunnews.com/internasional/2021/12/01/kasus-predator-seks-jeffrey-epstein-pilot-mengaku-angkut-gadis-muda-dan-anak-ratu-elizabeth
Syahrianto, M. (2019). FBI Buru ‘Pulau Pedofil’ Jeffrey Epstein. Diakses pada tanggal 29 Juni 2023, melalui: https://wartaekonomi.co.id/read241028/fbi-buru-pulau-pedofil-jeffrey-epstein