Juan Handika
Staff, Empowerment Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta
Nadia Puspita Wijaya
Staff, Finance Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta
Dunia diramaikan dengan berita kerusuhan yang terjadi di Paris sejak akhir Juni lalu. Kerusuhan yang berujung konflik itu nyatanya bukanlah suatu hal baru bagi ibu kota Perancis. Berdasarkan data, berbagai peristiwa kerusuhan sudah sering terjadi, mengingat Perancis sendiri merupakan salah satu iconic dunia yang menjadi tempat para insan berkumpul. Ini menjadi suatu bukti yang menunjukkan wajah Paris sebenarnya, dimana kekerasan merupakan hal yang lunrah terjadi (Mustaqim, 2023). Terdapat berbagai faktor yang menjadi latar belakang terciptanya konflik, isu rasisme dan diskriminasi merupakan pemicu yang paling sering terjadi di kota yang mendapatkan julukan “City of Love” tersebut.
Kejadian yang menimpa Perancis ini awalnya merupakan sebuah bentuk demonstrasi yang dilakukan warga kepada pemerintah mengenai kasus penembakan yang menimpa seorang imigran asal Aljazair. Pada 27 Juni lalu, seorang remaja berusia 17 tahun bernama Nahel menjadi korban penembakan oleh seorang polisi di Nanterre, pinggiran kota Paris. Peristiwa penembakan itu telah menumbuhkan keyakinan terhadap perbedaan warna kulit yang memunculkan stigma “jika anda memiliki warna kulit yang salah, polisi akan jauh lebih berbahaya bagi anda”. Stigma ini muncul bukanlah tanpa alasan, ini didasarkan atas pengalaman para imigran ataupun warga yang memiliki warna kulit berbeda yang menetap di Perancis. Mereka kerap mendapatkan perlakuan yang berbeda dari aparat keamanan setempat yang pada puncaknya melalui kejadian penembakan Nahel mereka akhirnya bentuk protes pun disuarakan (CNBC, 2023). Lalu, siapa yang sangka jika peristiwa yang menyebabkan terbentuknya aksi demonstrasi ini berubah menjadi suatu konflik yang mendapat sorotan dunia.
Salah satu nilai dasar Prancis ialah HAM yang turut melindungi dan mempromosikan HAM. Namun, masih terjadinya diskriminasi ras di Prancis, dimana etnis minoritas seperti salah satunya orang Afrika mendapatkan perlakuan diskriminatif yang masih terus berlanjut, dan hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM (Amnesty International, n.d.). Menjadi sebuah pertanyaan besar meskipun HAM menjadi salah satu nilai dasar Prancis, namun praktik diskriminatif terhadap etnis minoritas masih terus terjadi.
Sebagai contoh, pengecekan identitas terhadap laki-laki muda orang arab atau kulit hitam di Prancis akan lebih sering diperiksa, hingga 20 kali lebih sering dibanding warga lainnya (Kompas, 2023). Mengingat kembali peristiwa kerusuhan nasional pada masa pemerintahan Presiden Jacques Chirac pada 2005 yang merupakan bentuk respons dari kasus kematian Zyed Benna dan Bouna Traore, remaja keturunan Afrika yang terkena sengatan listrik saat dikejar polisi. dan pada saat itu janji memerangi diskriminasi sudah terucap. Namun hingga saat ini masih terjadi praktek diskriminasi, seperti kerusuhan yang belum lama ini terjadi yang menyebabkan banyak kerusakan karena demonstran yang mengganas hingga menjarah dan membakar tempat-tempat usaha. Tidak hanya itu, bangunan lain seperti perpustakaan, kantor polisi, sekolah, bahkan kendaraan juga menjadi sasaran. Kerusuhan itu dipicu oleh kematian Nahel Merzouk yang juga berusaha menghindar dari polisi. Emmanuel Macron selaku Presiden Prancis menunjukkan empatinya atas kasus Nahel M. Namun, kerusuhan yang terjadi juga dikecam Macron. Kemudian di agendakan pertemuan dengan para walikota dengan maksud untuk mengkolektif laporan secara langsung untuk menunjukkan dukungan pada pejabat lokal sekaligus mencari solusi atas kerusuhan dan kerusakan yang telah terjadi (Caulcutt, 2023).
Seiring berjalannya waktu, kerusuhan yang terjadi turut semakin berkembang yang bahkan melibatkan Presiden Perancis, Immanuel Macron untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi masalah yang terjadi di negaranya. Disebutkan bahwa lebih dari 45 ribu personel kepolisian dikerahkan untuk berjaga dalam menghadapi gelombang massa yang terus berdatangan ke Nanterre.
Kerusuhan bertambah parah dikarenakan indikasi pada maraknya kebohongan para aparat kepolisian yang seakan melepaskan tanggung jawab atas peristiwa penembakan tersebut. Hingga pemerintah Perancis pada akhirnya menetapkan keadaan negara yang darurat dikarenakan kondisi keamanan yang semakin jauh dari kata aman. Tentu gelombang massa yang tercipta tak lepas dari oknum-oknum yang mengambil kesempatan untuk mencapai kepentingannya dalam aksi protes tersebut. Oknum ini lah yang membuat kerusuhan di Perancis semakin parah yang pada awalnya merupakan sebuah bentuk demonstrasi justru melenceng dari tujuan utamanya. Konflik yang bertambah parah menyebabkan masyarakat yang tidak tahu apa-apa turut menjadi korban. Aksi demonstrasi tidak lagi jadi fokus utama, dimana penjarahan toko-toko dan perusakan fasilitas umum lah yang justru menjadi sorotan dunia.
Jika diamati lebih lanjut, kerusuhan besar yang terjadi di Perancis ini mengingatkan kembali mengenai peristiwa “Arab Spring” yang terjadi satu dekade silam. Terlebih latar belakang terjadinya konflik antar 2 peristiwa ini memiliki kesamaan dimana awalnya hanyalah suatu bentuk aksi protes saja. Peristiwa “Arab Spring” sendiri bermula dari negara Tunisia dan Mesir yang pada akhirnya meluas dan memicu konflik besar di negara-negara timur tengah lainnya.
Melihat hal ini, bukan tidak mungkin jika negara-negara Eropa lainnya akan ikut terkena gelombang massa yang berujung konflik kerusuhan. Kasus diskriminasi dan rasisme terhadap imigran sendiri memang sudah sering terjadi di Eropa yang mana kawasan tersebut merupakan destinasi utama bagi para imigran, terutama para pengungsi konflik. Eropa belum lama menstabilkan keadaan geopolitik dan ekonominya sebagai akibat konflik antara Rusia dengan Ukraina. Kerusuhan di Perancis menjadi ancaman baru bagi perekonomian Eropa, mengingat Perancis sendiri merupakan aktor penting bagi perkembangan Uni Eropa bersama dengan Jerman. Oleh karenanya, langkah Perancis dalam menyelesaikan permasalahan tersebut bukan hanya penentu bagi negaranya saja, melainkan juga penentu bagi negara Eropa maupun dunia global.
Untuk meredam kerusuhan, dikerahkan puluhan ribu polisi ke kota-kota di sana untuk menjaga ketertiban. Jumlah demonstran yang sangat banyak dan aksi brutalnya menjadi tantangan untuk meredakan kerusuhan ini sehingga polisi yang dikerahkan pun jumlahnya sangat banyak. Kerusuhan ini menjadi mimpi buruk Macron dalam masa jabatannya, dan sudah pasti Macron harus mengambil langkah sigap untuk permasalahan ini. Namun, untuk mengatasi masalah ini sangat kompleks karena harus menilik akar dari permasalahan kerusuhan itu.
Masalah kerusuhan itu pun sebetulnya bukan hanya sekedar Nahel M. yang menjadi sasaran tembak polisi Prancis karena melanggar lalu lintas. Nahel M. yang merupakan seorang remaja turunan Prancis-Aljazair (Afrika bagian utara). Berdasarkan data, pernah terjadi kejadian serupa sejak 2017, bertepatan dengan tahun perubahan KUHP, yang mana kebanyakan korbannya adalah keturunan arab atau orang kulit hitam (Zuraya, 2023). Sehingga ternampak dugaan diskriminasi dibalik penggunaan senjata api. Penggunaan senjata api oleh polisi di Prancis memang diperbolehkan untuk melindungi nyawa mereka dan orang lain, namun amat disayangkan penggunaan senjata api justru terkesan menjadi tameng diskriminasi di sana yang malah menelan nyawa.
Referensi
Amnesty International. (n.d.). Human rights in France Amnesty International. Amnesty International. Retrieved July 12, 2023, from https://www.amnesty.org/en/location/europe-and-central-asia/france/report-france/
Caulcutt, C. (2023, July 4). After the riots, Macron must fix a broken France. POLITICO. Retrieved July 12, 2023, from https://www.politico.eu/article/france-president-emmanuel-macron-fixing-the-french-republic-riots-police/
Kompas. (2023, July 5). Terkuaknya Luka Lama di Perancis. Kompas.id. Retrieved July 12, 2023, from https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/05/terkuaknya-luka-lama-di-perancis
Zuraya, N. (2023, June 30). Bagaimana UU Prancis Mengizinkan Polisi untuk Menembak? | Republika Online. Internasional. Retrieved July 12, 2023, from https://internasional.republika.co.id/berita/rx20d7383/bagaimana-uu-prancis-mengizinkan-polisi-untuk-menembak