Pada abad ke-21 ini Korea Utara kerap memuculkan isu kontroversial kepada kestabilan perdamaian dunia. Ideologi Juche yang diterapkan dapat dikatakan menjadi latar belakang tindakan-tindakan yang mengancam kestabilan dunia saat ini. Ideologi yang digagas oleh Kim Il Sung memiliki arti secara singkat, bahwa para penguasa revolusi dan konstruksi adalah massa rakyat dan bahwa mereka juga merupakan kekuatan motif revolusi dan konstruksi (Korea-DPR. 2011). Sebagai tambahan ide Juche didasarkan pada prinsip filosofis bahwa manusia adalah tuan segalanya dan memutuskan segalanya (ibid). Sikap egosentris seorang pemimpin dapat menjadi problematika utama mengapa konflik dan perang, khususnya, yang selama ini terjadi di Korea susah diselesaikan.
Semenjak era Kim Il Sung berkuasa hingga kini rezim kepemimpinan Kim Jong Un, sikap deterrence dan security dilemma merupakan bahan bakar yang menjadikan Korea Utara menjadi apa yang kita lihat sekarang. Perang yang terjadi membuat Korea utara sadar bahwa untuk survive mereka perlu menerapkan self-help dan cara tersebut dirasa mampu tercapai dengan menciptakan dan mengembangkan senjata yang mampu mengalahkan musuh-musuhnya. Nuklir adalah salah satu senjata dengan efek penghancuran yang luar biasa.
Dapat dilihat dampak yang diakibatkan bom tersebut pada akhir Perang Dunia kedua yang dijatuhkan di Kota Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat. Namun penulis tentu tidak akan membahas spesifikasi senjata nuklir tersebut secara lebih rinci melainkan penulis melihat bahwasannya nuklir lah yang menjadi root cause problematika bagi Korea Utara saat ini.
Manifestasi nyatanya dari program pengembangan senjata nuklir tersebut dapat ditelusuri kembali sejak 1985 hingga 1991 ketika Korea Utara pada waktu itu aktif mengikuti organisasi Internasional yang berfokus pada pelarangan pengembangan senjata nuklir, seperti, Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) dan International Atomic Energy Agency (IAEA) (ibid). Korea Utara pada waktu itu mengatakan bahwasannya mereka akan menggunakan nuklir hanya untuk intensi baik saja. Tetapi, pernyataan tersebut hanya sebagai pengalihan isu saja agar mereka mampu mengembangkan program senjata nuklir sekaligus dianggap aktif sebagai pendukung organisasi internasional anti nuklir.
Upaya untuk meredam Korea Utara dalam pengembangan nuklirnya dan melakukan normalisasi keadaan menjadi damai sudah kerap dilaksanakan. Dimulai dengan Agreed Framework terjadi ketika masa pemerintahan Clinton, perjanjian tersebut berisi persetujuan Korea Utara untuk membekukan dan akhirnya membongkar fasilitas nuklirnya, sebagai imbalan untuk mendapatkan pengiriman oli dan reactor pembangkit listrik serta bergerak ke arah normalisasi hubungan dengan Amerika Serikat dan sekutunya (Nonproliferation Org. 1994) hingga dilanjuti dengan agenda Six-Party talks hasil yang didapatkan sangat minim bahkan nihil.
Bahkan dengan segala upaya normalisasi hubungan yang telah dilakukan Amerika Serikat, Korea Selatan dan sekutunya, Korea Utara masih bersikeras untuk terus mengembangkan program senjata nuklir yang dimilikinya. Hingga pada akhirnya tensi sudah sangat memuncak dan dinamisasi konflik sudah menuju tahapan destruction, political disability, dan hatred ketika Korea Utara melakukan ujicoba nuklir pertamanya pada tahun 2006 yang membuat Amerika Serikat dan sekutunya angkat tangan untuk mencoba melakukan normalisasi hubungan pasca kejadian uji coba nuklir. Pasca kejadian tersebut dimulai awalan baru bagi Korea Utara yang mulai dianggap sebagai ancaman serius bagi negara-negara yang beraliansi dengan blok barat, terlebih dengan masuknya Korea Utara dicap sebagai ‘axis of evil’ yaitu adalah potensi ancaman paling serius yang digagas oleh Pemerintahan George W. Bush. Wit(2016) menyatakan bahwa kebijakan Amerika Serikat semenjak itu berubah,
“North Korea crossed the nuclear weapon threshold during the George W. Bush administration, and during the Obama administration continued its unabated development of more advanced nuclear weapons and ballistic missiles. These programs represent one of the most serious national security challenges facing the incoming Trump administration. The Obama administration’s policy failed to halt and reverse this threat. Continuing that policy will guarantee that four years from now the situation will be much worse and the options available to the United States will be even narrower and more dangerous to implement.”
Situasi kini dapat terbilang menjadi lebih santai, penulis menganggap bahwasannya harapan untuk tercapainya kata damai antara Amerika Serikat, Korea Selatan dengan Korea Utara masih cukup tinggi. Hal tersebut diindikasikan dengan pendekatan secara personal (aktor yang bersangkutan) yang penulis rasa memiliki hasil yang jauh lebih maksimal ketimbang melakukan diplomasi secara perwakilan (media sosial, menteri, diplomat dsb). Terbukti Presiden Tiongkok Xi Jinping mampu memaksimalkan Social identity theory kepada Kim Jong Un dengan baik.
Xi Jin Ping mampu mendorong bagaimana seorang Kim Jong Un bertindak, berpikir dan merasa (feel) berdasarkan keanggotaan kelompoknya sendiri. Tentu tak lepas dari aspek penting berupa segi historis yang pernah terjalin antar kedua belah negara namun hal yang paling vital menurut penulis adalah rangkul terdahulu aktor utamanya yaitu pemimpin Korea Utara. Masyarakat Korea Utara sangat patuh pada pemimpinnya, karena adanya ideology Juche yang masih mereka terapkan hingga kini. Apabila puncak kepemimpinannya dapat di kontrol dan diajak kepada keterbukaan dan perdamaian masyarakat Korea Utara pun akan mengikuti apa yang diinginkan oleh pemimpinnya saat itu.
Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun mereka menaruh dendam dan menciptakan slogan, nyanyian, dan yel-yel makian terhadap dunia barat. Hal tersebut yang menjadi bahan pembahasan utama Xi Jinping untuk mengajak Korea Utara pada keterbukaan dan melihat peta geo-strategi dunia terhadap skenario terburuk apabila Korea Utara tetap melanjutkan jalurnya sebagai negara yang egosentris, keras kepala dan tertutup pada dunia luar. Dari situ penulis berasumsi bahwasannya Kim Jong Un tentu mendapatkan tekanan dari faktor eksternal yakni negara-negara kawasan dan blok barat. Ditambah lagi kuatnya embargo dan sanksi yang diberikan kepada Korea Utara dapat menjadi salah satu indikator yang menyebabkan Korea Utara memiliki niatan untuk melakukan normalisasi hubungannya dengan dunia luar. Walaupun begitu, apabila adanya perjanjian perdamaian dan sejenisnya, penulis berasumsi Korea Utara akan tetap mempertahankan nuklirnya at all cost, dikarenakan nuklir mereka adalah satu-satunya deterance yang membuat mereka mampu survive selama ini.
Salah satu opini saya mengapa damai dapat terwujud dikemudian hari adalah Korea Utara sudah berubah. Indikator yang mengisyaratkan hal tersebut adalah tindakan keterbukaan mereka, sikap berani dan revolusioner Kim Jong Un untuk melewati perbatasan Korea Selatan dan berjabat tangan dengan Presiden Moon Jae-In. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah ketersediaan Kim Jong Un bertemu dengan Presiden Donald Trump untuk membicarakan kemungkinan normalisasi hubungan yang hingga kini masih belum tercapai. Melihat kembali kedua tokoh diatas dirasa sangat tidak mungkin keduanya untuk sependapat dalam hal apapun, bahkan kerap kali kita jumpai pemberitaan antara mereka berdua yang saling membalas sindiran satu sama lain. Meskipun belum jelas kapan tanggal dan tempat untuk melaksanakan pertemuan historis itu namun niatan yang sudah dimiliki kedua pemimpin negara super-power tersebut sudah dirasa cukup baik untuk mencari celah menuju kata damai.
Konklusi
Untuk tercapai kata damai di Korea, tiap Pemerintahan negara yang terlibat perlu menilai dan melakukan assesment situasi dengan cepat, merumuskan kebijakan dan bergerak maju dalam sekurang-kurangnya 100-150 hari pertama pasca Kim Jong Un melakukan kunjungan ke Korea Selatan jika ingin ada harapan untuk menyelesaikan tantangan ini. Mengingat bahaya bahwa tindakan Korea Utara atau pihak lain akan secara signifikan melakukan intervensi dan mengubah sudut pikir Korea Utara untuk mempersempit pilihan damai.
Untuk mencapai jalur cepat ini, proses yang digerakan oleh para pemimpin dunia khususnya dengan kepemimpinan kepresidenan baru Amerika Serikat diperlukannya diplomasi yang kuat dan efektif. Dalam merumuskan pendekatannya, para pemimpin negara perlu mempertimbangkan strategi apa yang paling baik untuk memajukan kepentingan tidak hanya satu negara saja, melainkan mendapatkan win-win solution. Selain daripada itu diperlukannya aktor ketiga yang telah menginisiasi semua ini yakni Tiongokok untuk mengawasi dan mempertahankan keinginan Korea Utara untuk tetap berdamai dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Setelah semua terurusi, formulasi menuju tahap pembuatan kebijakan/perjanjian damai akan semakin mudah.
Referensi
Boghani, P. (2018). PBS Frontline. The U.S. and North Korea On The Brink: A Timeline. Diakses dari https://www.pbs.org/wgbh/frontline/article/the-u-s-and-north-korea-on-the-brink-a-timeline/ (24/05/2018) pukul 19:35
History Channel. (2009). Article: Korean War. Diakses dari https://www.history.com/topics/korean-war# (24/05/2018) pukul 19:05 WIB
Korea-DPR. (2011). Juche Ideology. Diakses dari http://www.korea-dpr.com/juche_ideology.html (24/05/2018) pukul 20:37
Ibid
Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies. (1994). US-DPRK AGREED FRAMEWORK. Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies. Pg 1-2
Sandole, J. D., Byrne, S., Staroste, I. S., & Senehi, J. (2009). Handbook of Conflict Analysis and Resolution. Pg.34. New York : Routledge (Routledge is an imprint of the Taylor & Francis Group, an informa business)
Wit, J.S. (2016). The Way Ahead : North Korea Policy Recommendations for the Trump Administration. US-Korea Institute at SAIS