Reunifikasi KoreaUpaya Reunifikasi Korea. Sumber: www.japantimes.co.jp

Pendahuluan:

Reunifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “penyatuan kembali”.[1] Reunifikasi dalam konteks ini sebagai proses penyatuan kembali dua atau lebih negara menjadi satu negara utuh, yang sebelumnya terpecah karena peristiwa sejarah, penyatuan tersebut dilakukan baik dengan cara damai maupun dengan cara peperangan. Proses reunifikasi bisa terjadi karena adanya suatu peperangan yang dimenangkan oleh satu pihak, sehingga pecahan saudara yang kalah bersatu dengan daerah pemenang dan ia menganut sistemnya. Beberapa kejadian yang mengikuti pola ini adalah kejadian Perang Korea yang terjadi pada tanggal 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953, Korea Utara yang pro Komunis saat Perang Korea, di mana mereka melakukan invasi ke Korea Selatan namun hal tersebut gagal, sehingga perpecahan di Semenanjung Korea masih bertahan hingga hari ini, yaitu antara Korea Utara dan Korea Selatan.[2] Selain dengan kekerasan, proses reunifikasi dengan jalan damai juga dapat terjadi, contoh kasusnya seperti reunifikasi antara Jerman Timur dan Jerman Barat pada tahun 1990 sehingga membentuk Republik Federal Jerman saat ini. Pembentukan Republik Yaman yang bersatu juga dilakukan dengan damai, walaupun sempat terjadi pemberontakan pada tahun 1994 yang berhasil ditumpas.

Ketegangan yang meningkat di Semenanjung Korea telah mengingatkan kembali pada perang selama tiga tahun di wilayah itu yang dikenal sebagai Perang Korea. 65 tahun lalu Rakyat Korea saling membunuh demi menganut suatu ndustry. Pada saat itu, ada ndustry liberal yang dibawa oleh negara Barat yakni Amerika Serikat beserta sekutunya dan komunis yang di bawa oleh China dan Rusia. Kenapa? Karna pada tahun 1948, Uni Soviet menempati wilayah bagian utara Korea dan Amerika Serikat bersama sekutu Baratnya menempati daerah selatan.  Setelah itu terciptalah dua negara baru dengan ndustry yang berlawanan, Republik Korea atau Korea Selatan dengan ideologinya yakni demokrasi liberal ala Barat dan Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) berideologi komunis ala Uni Soviet dan China.

Pada awalnya Korea merupakan satu Negara dengan Nenek moyang yang memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama. Jika kita menilik kembali sejarah, sekitaran tahun 1910 Jepang datang dan menduduki Korea.[3] Pada masa Jepang menduduki Korea, rakyat Korea merasakan siksaan serta Jepang merampas habis dana Korea. Dengan banyaknya penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Korea, maka rakyat Korea melakukan perlawanan kepada pemerintah Jepang. Rakyat Korea ingin merdeka dan tidak mau dijajah. Melihat adanya Perang Dunia II, hal ini merupakan peluang besar bagi Korea untuk merdeka. Karena Perang Dunia II Jepang merupakan salah satu aktornya, sehingga Pada tanggal 15 Agustus 1945, Korea telah merdeka, karena Jepang membebaskan rakyat Korea serta memberikan pasokan makanan selama 3 bulan.[4]

Setelah pendudukan Jepang selama 35 tahun (1910-1945) baru Korea mendapatkan kemerdekaanya, telah muncul dua kekuatan ndustry besar yang masuk ke dalam Korea, yaitu pemenang Perang Dunia II Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua negara ini melakukan intervensi dengan membagi jatah wilayah kemenangan mereka, termasuk wilayah Semenanjung Korea dimana Uni Soviet mempengaruhi wilayah Utara dan Amerika Serikat mempengaruhi wilayah Selatan dengan pemahaman dan ndustry masing-masing. Hingga terbentuklah pemerintahan administrasi masing-masing wilayah yang akhirnya tercipta dengan Democratic People of Republic Korea yang dikenal dengan Korea Utara dan Republic of Korea yang dikenal dengan sebutan Korea Selatan. [5]

Dengan terbentuknya sistem pemerintahan dan ideologi yang berbeda pada masing-masing negara, perbedaan ideologi tersebut justru membuat hubungan kedua negara saling tegang. Pada tanggal 25 Juni 1950, Korea Utara mendapatkan bantuan dan dukungan militer besar-besaran dari Uni soviet dan melakukan invasi militer ke Korea Selatan. Korea Utara melakukan serangan dari darat dan udara. Korea Selatan terlihat tidak dapat menandingi kekuatan Korea Utara tersebut, hal ini dikarenakan pada masa itu, Korea Selatan masih belum mempunyai persenjataan dan kekuatan pertahanan yang cukup kuat untuk menandingi kekuatan Korea Utara. Motif Korea Utara yang berusaha menduduki Korea Selatan yakni untuk mempersatukan Semenanjung Korea dibawah ndustry komunis. Akibat serangan yang dilakukan Korea Utara, PBB mengirimkan bantuan militer ke Korea Selatan. Sebanyak 16 negara mengirim pasukan dan 41 lainnya mengirim peralatan ndustryau bantuan lainnya untuk Korea Selatan menghadapi serangan Korea Utara.[6] Keikutsertaan pasukan yang dikirimkan PBB dalam perang Korea telah berhasil menaikkan kedudukan Korea Selatan dan China pun ikut membantu Korea Utara untuk mengimbangi pasukan Korea Selatan. Selain itu, Amerika Serikat menyumbang sekitar 90% pasukan yang dikirim untuk membantu Korea Selatan. Banyaknya campur tangan pihak luar menyebabkan parang antar bangsa Korea semakin tegang. [7] Perang ini dikenal dengan sebutan Perang Korea yang berlangsung sekitar 3 tahun (1950-1953), hingga pada akhirnya bulan juli 1953 kedua negara tersebut sepakat untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata serta sepakat untuk mengakhiri perang yang terjadi.

Pasca Perang Korea tersebut, membuat kedua negara saling bermusuhan. Beberapa upaya reunifikasi telah dilakukan namun belum dapat mendamaikan hubungan mereka. Pada tanggal 1998, pemerintah Korea Selatan Presiden Kim Dae Jung berkeinginan untuk mencapai proses reunifikasi secara damai melalui dialog dan bantuan ekonomi.[8] Proses reunifikasi di Jerman pada tahun 1990 telah menginspirasi Presiden Kim Dae Jung agar reunifikasi di Semenanjung Korea dapat terealisasikan. Untuk merealisasikan reunifikasi dengan Korea Utara Presiden Kim Dae Jung mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan Sunshine Policy (Kebijakan Matahari) dilakukan dengan cara yang konsisten mengajak Korea Utara untuk berdamai dengan ketulusan hati dan mengurangi segala kekhawatiran situasi yang ada. Serta pemerintah Korea Selatan memiliki visi untuk mencapai proses reunifikasi Korea secara damai melalui dialog dan bantuan ekonomi.[9]

Dalam reunifikasi Semenanjung Korea yang dibangun oleh Presiden Korea Selatan ada beberapa faktor pendukung dan juga kendala yang menjadi faktor penghambat untuk menyatukan kedua negara tersebut, Faktor pendukung adanya reunifikasi juga dikaitkan dengan adanya kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Pengusaha Korea Selatan melihat banyak kesempatan yang dapat digali di Korea Utara, seperti Pantai Timur sebagai pusat ndustry berat dan kimia, Wansu sebagai tempat pembuatan kapal, daerah Geomdeok terdapat bermacam-macam logam merupakan tempat menjanjikan bagi penanaman investasi ndustry berat, kimia, dan juga pengembangan sumber daya alam. Begitu juga daerah Najin dan Seonbong merupakan zona ekonomi yang patut dikembangkan sebagai pusat transportasi dan tujuan turis. Sepanjang Pantai Barat, di daerah Haeju terdapat semen dan besi baja, sedangkan daerah Gaesong terdapat bahan makanan dan tenun. Jika fasilitas transportasi di daerah Gaesong diperbaiki, maka hasil-hasil makanan dan tenun dapat dipasarkan di Seoul. Selain itu, masih banyak daerah di Korea Utara yang memiliki potensi sebagai daerah industri.[10] Selain itu yang menjadi faktor pendukung eksternal reunifikasi Semenanjung Korea, adanya dukungan dari empat negara besar yaitu, Amerika Srikat, Jepang, China dan Rusia.

Faktor penghambat ataupun penghalang reunifikasi seperti perbedaan sistem politik dan ancaman militer Korea Utara. Sejak terpisahnya Korea Utara dan Korea Selatan, selama perkembangannya memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan pertama dibidang pemerintahan, Korea Selatan telah mengalami beberapa kali perubahan pemimpin sehingga telah mendapatkan banyak pengalaman mengenai penanganan krisis politik, sedangkan Korea Utara tidak mengalami perubahan dalam pemimpin karena menganut sistem The Founding Father. Kedua dibidang hubungan dengan Negara lain, dibawah kekuasaan Amerika serikat, Korea Selatan telah menjalin hubungan dan kerjasama dengan masyarakat internasional sehingga Korea Selatan telah menjadi negara yang terbuka yang kemudian saat ini menjadi negara maju, sedangkan Korea Utara dengan politik isolasinya yang tertutup untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar sehingga Korea Utara sulit untuk berkembang.[11] Ketiga, Korea Selatan lebih modern karena Korea Selatan menerima pengaruh-pengaruh dari luar (Korea selatan yang bersifat terbuka) ditandai dengan adanya boyband dan girlband yang dikenal dengan K-Pop untuk hiburan. Sedangkan di Korea Utara, tidak diperbolehkan untuk mendengarkan lagu-lagu yang tujuannya untuk hiburan. Segala sesuatunya di Korea Utara cenderung dibatasi. Perbedaan keempat dalam bidang pendidikan, di Korea Selatan siswa disana diwajibkan untuk mempelajari Matematika, Sains, Bahasa Korea, Studi Sosial, dan Bahasa Inggris. Dan juga Korea Selatan memiliki kebijakan wajib belajar selama 12 tahun. Setelah itu, warga Korea Selatan akan mendaftar ke Universitas Negeri terbaik di negara itu. Tidak lupa mereka juga diwajibkan untuk wajib militer sekitar 1-2 tahun. Sedangkan di Korea Utara, Mata pelajaran yang wajib dipelajari ialah Bahasa Korea dan Studi Politik Kim Il Sung, Kim Jong Il, dan Kim Jong Un. Selain itu, siswa di Korea Utara wajib belajar selama 11 tahun. Satu tahun pra-jenjang sekolah, 4 tahun pendidikan dasar, 6 tahun pendidikan menengah. Setelah itu, siswa bebas memilih akan melanjutkan ke pendidikan tinggi atau tidak. Satu hal yang pasti, mereka harus wajib militer selama 5 tahun.[12] Hal tersebut bertujuan agar warga Korea Utara cinta dengan negaranya.

Pertanyaan Penelitian:

  • Bagaimana analisis reunifikasi Korea dilihat dari perspektif Post-Modernisme?

Kerangka Pemikiran:

Penulis akan menjawab pertanyaan penelitian menggunakan perspektif Post-Modernisme. Sebelumnya, terlebih dahulu penulis akan mengulas perspketif Post-Modernisme. Post-modernisme merupakan salah satu teori yang ada dalam studi hubungan internasional (HI). Dalam perspektif Post-Modernisme, Michael Foucault selaku teoritis asal perancis menganggap ilmu pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi dan menguatkan satu sama lain.[13] Post-Modernisme menolak anggapan tentang realita dan kebenaran bahwa ada pengetahuan yang terus menerus meluas tentang dunia manusia. Kaum ini merupakan kaum dekonstruktivis. Dalam Post-Modernisme power dan knowledge merupakan suatu hal yang saling berkaitan. Dimana power dapat dikatakan sebagai diseminasi dari hasil implementasi ilmu pengetahuan. Seperti halnya westernisasi yang disebarkan oleh dunia barat ke berbagai penjuru dunia dan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan-perubahan sosial dan budaya dinegara yang terpengaruh.

Terdapat beberapa asumsi dari Post-Modernisme, pertama ialah Post-Modernisme tidak mencari kebenaran yang bersifat mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik atau beraneka ragam dan relatif secara radikal. Ilmu sosial tidak netral, melainkan ilmu sosial adalah historis, budaya, politis, dan karena itu bias. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang melibatkan manusia adalah subjektif dan teori empiris adalah mitos belaka. Kedua ialah  mereka percaya bahwa knowledge dan power sangat berkaitan, sehingga pengetahuan sama sekali tidak kebal dari bekerjanya power atau kekuasaan. Ketiga ialah kaum Post-Modernisme dapat dikatakan pula sebagai kaum dekonstruktivis, yakni mereka tidak mempercayai suatu hal yang berkaitan dengan metanaratif, dimana metanaratif adalah pemikiran seperti Neo-realisme atau Neo-liberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial. Kaum Post-Modernisme menganggap pernyataan tersebut tidak masuk akal dan tidak memiliki kredibilitas. Keempat ialah tatanan dunia bukan diberikan oleh Tuhan melainkan direkonstruksi oleh manusia. Sehingga tatanan dunia yang ada sejak dulu hingga sekarang merupakan hasil dari buatan tangan manusia dengan segala perubahan yang terjadi. Kelima ialah manusia dan negara memiliki sovereignty. Dan terakhir ialah pengetahuan tergantung pada sovereignty yang dimiliki manusia[14].

Dengan begitu, maka Post-Modernisme ini dinilai dapat berkontribusi dalam sebuah hubungan internasional, dapat dilihat dari bagaimana ia menggabungkan sebuah power dan knowledge yang dimilikinya untuk dapat menghasilkan suatu hal yang dapat didekonstruksi. Cara berpikir Post-Modernisme yang dikenal dengan dekonstruksi berarti merusak dan membangun lagi, cara berpikir ini bersifat radikal. Yang dimaksud dengan merusak dan membangun lagi, seperti Post-Modernisme melihat adanya suatu perubahan karena sebelumnya tatanan tersebut sistemnya telah dirusak, dan dibangun kembali sistem yang baru tanpa meninggalkan sedikitpun bentuk yang lama.

Analisa:

Post-Modernisme melihat Perang Korea yang terjadi di Semenanjung Korea itu merupakan proses Dekonstruksi, dimana suatu perubahan terjadi karena adanya power dan knowledge yang ikut berkontribusi. Power menurut orang-orang Post-Modernisme ialah ketika suatu negara dapat mempengaruhi negara lain. Jika melihat kasus ini, maka negara pemenang Perang Dunia II yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet telah berhasil menggunakan powernya untuk mempengaruhi serta mengembangkan pengaruhnya terhadap negara lain dalam hal ini ialah Korea yang terpecah.

Post-Modernisme menganggap pecahnya Korea terjadi karena adanya suatu proses perubahan secara total melalui “merusak dan membangun kembali” negara tersebut. Post-Modernisme melihat Perang Korea bukanlah ancaman, melainkan merupakan suatu perubahan tatanan sosial. Jadi, orang-orang Post-Modernisme berfikiran bahwa Korea yang tadinya satu, diubah secara radikal melalui cara “dihancurkan” terlebih dahulu dan kemudian “membangunnya kembali” dengan sesuatu yang baru yakni terbaginya Korea menjadi dua, Korea Utara dan Korea Selatan melalui power dan knowledge. Maksud dari Dekonstruksi yang “merusak dan membangun kembali” berarti benar-benar merubah kondisi yang berkembang tanpa menyisakan sedikitpun bentuk yang “dulu”, menghilangkan bentuk sebelumnya akan tetapi dibangun kembali dengan bentuk yang “baru” dan tidak ada sedikitpun unsur bentuk yang “lama/dulu”. Ada perubahan proses Dekonstruksi untuk menciptakan sesuatu yang baru. Jika melihat Perang Korea, maka Korea Utara menginginkan Korea Selatan untuk menganut satu ideologi yang sama dengannya melalui cara yang brutal, yang berarti Korea Utara menginginkan perubahan yang baru akan tetapi dengan cara yang “merusak”. Caranya dengan merusak sistem yang lama dan membangun kembali sistem yang baru. Korea Utara mencoba merusak ideologi Korea Selatan dengan strategi peperangan agar hanya ada satu ideologi saja di Korea. Perang Korea merupakan contoh proses dekonstruksi yang bersifat radikal agar Korea Selatan mau melepaskan ideologinya.

Menurut penulis, Korea Utara dan Korea Selatan memiliki potensi untuk menyatu kembali, dilihat dari sejarah serta budayanya yang mayoritas sama. Korea Utara dan Korea Selatan dalam bidang pendidikan sama-sama tidak memperdulikan pelajaran keagamaan. Jika di Korea Utara banyak yang atheis, di Korea Selatan keagamaan bukanlah mata pelajaran utama. Selain itu, ditinjau dari segi bahasa, bahasa yang dipakai kedua negara tidak begitu jauh berbeda. Bahasa Koreanya sama, yang membuat beda hanya pada penekanan atau cara berbicaranya saja. Melihat historisnya, sebelum Jepang dan negara pemenang PD II yakni AS dan Uni Soviet menduduki Korea, tadinya kedua negara tersebut merupakan satu negara yakni Korea. nah sekarang mengapa sulit untuk kedua negara tersebut menyatu kembali? Orang-orang Post-Modernisme menganggap bahwa proses reunifikasi korea bisa saja terjadi. Asalkan, melalui power dan knowledge yang diiringi oleh cara berfikir yang Dekonstruksi.

Jika kita menarik isu reunifikasi Korea, maka orang-orang Post-Modernisme akan berasumsi bahwa Korea Utara dan Korea Selatan dapat menyatu kembali menjadi satu Korea. dengan cara melakukan perubahan Dekonstruksi, yang berarti Korea Utara dan Korea selatan harus menghancurkan perbedaan-perbedaan kedua negara dan membangun kembali persamaan-persamaan yang telah ada sejak dahulu. Dengan demikian, ideologi Komunis yang dianut oleh Korea Utara serta ideologi Liberal yang dianut oleh Korea Selatan harus senantiasa di hilangkan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Akan tetapi, semua itu harus berdasarkan pada power dan knowledge yang ada.

Menurut Post-Modernisme adanya perubahan karena Power dan Knowledge yang berkembang. Nah, berarti Power dan Knowledge yang memunculkan adanya Reunifikasi Korea. Reunifikasi bisa muncul karena Korea Selatan memiliki keinginan untuk bersatu serta memiliki Power untuk mempengaruhi Korea Utara untuk bersatu kembali. Dengan begitu, Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung bersama Sunshine Policynya berusaha terus untuk membujuk Kim Jong-Il menerima kebijakannnya untuk mencapai reunifikasi. Kebijakan tersebut Disebut Sinar Matahari karena selalu menghangatkan dan memberi rasa nyaman bagi penduduk di muka bumi, dengan maksud bahwa kebijakan Kim Dae Jung akan membawa perubahan yang lebih baik untuk Korea Utara tanpa harus melalui jalan kekerasan. Kebijakan Matahari merupakan paket yang digunakan Kim Dae Jung untuk mencapai keinginannya menuju reunifikasi Korea. Kim Dae Jung telah membantu Korea Utara untuk lebih terbuka dan bergabung dengan komunitas internasional. Kim Dae Jung yakin dengan Kebijakan Matahari dapat mengurangi situasi perang dingin di Semenanjung Korea. Selain itu, diperlukannya Knowlegde yang cukup, terutama pada bangsa Koreanya itu sendiri harus membangun wawasan yang “saling” mencintai, menghargai, dll sesama saudara karena dilihat dari historisnya kan dahulu Korea itu merupakan satu kesatuan. Mereka juga memiliki persamaan budaya, sejarah, bahasa,dll. Jadi harus ada pengetahuan yang lebih untuk bisa saling menghargai, menolong, mencintai, dll. Korea Selatan harus terus menggunakan Powernya untuk meluluhkan hati Korea Utara agar mau bersatu kembali. Sehingga reunifikasi korea dapat terealisasi sama seperti Jerman yang telah berhasil reunifikasi. Power dan Knowledge  tersebut dipakai guna mencapai suatu sistem perubahan yang baru (dekonstruksi).

[1] Kbbi.web.id. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Online. https://kbbi.web.id/reunifikasi diakses pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 19.11 WIB.

[2] Dunia.tempo.co. Semenanjung Korea memanas bercermin dari sejarah perang Korea. https://dunia.tempo.co/read/869280/semenanjung-korea-memanas-bercermin-dari-sejarah-perang-korea diakses pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 20.09 WIB.

[3] Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea Sejak Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2003), hlm. 11.

[4] Setiawati, Y. S.-y. (2003). Sejarah Korea. Yogyakarta: Universitas Gadjah Maja Press.

[5] Raisamaili, T. (2011). Konflik Korea Utara Korea Selatan. 1-2.

[6] Dunia.tempo.co. Semenanjung Korea memanas bercermin dari sejarah perang Korea. https://dunia.tempo.co/read/869280/semenanjung-korea-memanas-bercermin-dari-sejarah-perang-korea diakses pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 20.09 WIB.

[7] Raisamaili, T. (2011). Konflik Korea Utara Korea Selatan. 1-2.

[8] Sekilas info, bahwa Presdien Kim Dae Jung adalah aktivis gerakan pro-demokrasi dan anti-militerisme, dilantik sebagai presiden Korea Selatan pada tahun 1998.

[9] Munthe, E. R. (2001). Politik Luar Negeri Korea Selatan Era Presiden Kim Dae Jung. Yogyakarta: UPN

[10] Munthe, E. R. (2001). Politik Luar Negeri Korea Selatan Era Presiden Kim Dae Jung. Yogyakarta: UPN

[11] Scalapino, Sato, dan Wanandi. (1990). Masalah Keamanan Asia. Jakarta: CSIS

[12] Bbc.com. Membandingkan Korea Utara dan Korea Selatan yang pernah Seimbang. http://www.bbc.com/indonesia/dunia-41399234 diakses pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 21.41 WIB.

[13] Jurnal Fisip Unair, Post-Modernisme, http://fitri-handayani-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-137942-SOH201%20THI-Postmodernisme.html , diakses pada tanggal 26 Mei 2018, pukul 22.13 WIB.

[14] Jackson, R., & Sorensen, G. (1999), Pengantar Studi Hubungan Internasional, Oxford University Press, edisi kelima.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *