KTT G20 yang ke-14 akan dilaksanakan di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni mendatang menjadi kesempatan menarik dan tidak dapat dilewatkan begitu saja bagi negara-negara anggotanya dalam mengartikulasi agenda dan kepentingannya. Pertemuan KTT G20 ini akan mempertemukan kekuatan dunia seperti AS bersama dengan kekuatan lain seperti China, Rusia dan sejumlah negara-negara berpengaruh lainnya. Diharapkan KTT ini dapat memenuhi harapan-harapan masyarakat internasional terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global akibat langkah kebijakan sejumlah kekuatan besar seperti AS dengan Rusia-China serta AS dengan sekutu-sekutunya di kawasan.
Pada awal Juni, Trump menyatakan keinginan untuk menggelar pertemuan bilateral dengan Putin di sela-sela pertemuan KTT G20 Osaka guna membahas permasalahan isu kontemporer yang masih membayangi hubungan bilateral keduanya. Sebagaimana diketahui, AS-Rusia tengah terlibat sejumlah isu mulai dari kebijakan energi di Eropa, sanksi ekonomi terhadap Rusia, konflik di Ukraina dan Suriah, kebijakan NATO, senjata nuklir hingga keamanan siber. Sebelumnya upaya dialog dalam menyelesaikan isu-isu tersebut telah dilakukan dalam KTT AS-Rusia di Helsinki pada Juli 2018.
Namun nampaknya keinginan Trump untuk bertemu kembali dengan Putin di sela-sela KTT G20 Osaka merupakan keberlanjutan dari KTT AS-Rusia di Helsinki pada Juli 2018 lalu dimana KTT tersebut merupakan pertemuan terakhir bilateral AS-Rusia. KTT Helsinki 2018 lalu belum memberikan hasil yang memuaskan bagi AS maupun Rusia dalam menyelesaikan sejumlah isu yang telah disebutkan sebelumnya.
Meskipun inisiatif Trump untuk mengadakan pertemuan dalam kerangka G20 belum mendapatkan kepastian dari pihak Rusia, namun setidaknya hal ini patut diapresiasi sebagai upaya AS-Rusia dalam meredakan sekaligus memperbaiki hubungan bilateral keduanya. Hal ini sejalan pula dengan situasi politik di Eropa yang tengah menghadapi polemik perpecahan dan inkonsistensi negara-negara Eropa terhadap langkah AS dalam upaya menekan Rusia lewat sanksi internasional. Jika di sela-sela KTT G20 Osaka ini AS-Rusia berhasil mencapai kesepakatan, akan menjadi momentum keberhasilan dalam restorasi hubungan AS-Rusia.
Di Asia-Pasifik, AS tengah terlibat trade war dengan China. Bagi negara-negara anggota G20 sendiri, KTT G20 di Osaka kali ini sangat diperkirakan akan didominasi oleh isu trade war AS-China. Langkah unilateralisme AS di bawah Trump yang berhadapan dengan kebijakan ekonomi total China lewat ambisi strategi OBOR (One Belt One Road) dan Silk Road ditenggarai menjadi sumber pertikaian yang telah menciptakan perpecahan baru di kalangan anggota G20. Artinya isu trade war AS-China mengkutubkan anggota G20 menjadi pro-AS dan pro-China. Menyikapi kondisi tersebut, anggota-anggota G20 merasa ‘gerah’ yang berharap semestinya dapat diredam guna menciptakan situasi kondusif bagi perekonomian global.
Sementara di lain pihak, dalam beberapa waktu terakhir China tengah menjalankan strategi pemotongan tarif terhadap rival-rival ekonomi AS dalam rangka menghadapi trade war dengan AS. Selain negara-negara anggota G20 yang ‘gerah’ hampir 600 perusahaan AS turut merasakan hal yang sama. Kegelisahan perusahaan-perusahaan AS ini telah mendorong Presiden Trump membuka dialog dengan Presiden Xi Jinping. Melalui akun twitter, Trump berencana akan menggelar dialog intensif di sela-sela sesi KTT G20 Osaka bersama Xi Jinping. Hal ini menjadikannya sebagai sesuatu yang sangat ditunggu oleh masyarakat internasional dalam meredakan tensi politik global akibat aktivitas trade war AS-China.
Isu trade war AS-China juga turut menarik Indonesia secara tidak langsung. Hal ini melihat dari fakta AS tengah meningkatkan upaya investasi di sejumlah kota Indonesia yakni Manado dan Medan. Secara geopolitik keduanya sangat strategis karena berdekatan dengan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dilansir dari portal berita Antara, AS menyatakan keseriusannya menanamkan investasi di kota Medan setelah sebelumnya menanamkan investasi sebesar US$50juta di kota Manado di bidang perikanan. Dengan keberadaan investasi ini membuktikan bahwa posisi Indonesia sangat diperhitungkan dalam kontestasi trade war AS-China.
Menyadari akan pentingnya posisi ini, Indonesia harus lebih cermat dalam menentukan langkah strateginya ke depan mengingat AS-China merupakan dua kekuatan besar di kawasan Indo-Pasifik. Jika melihat doktrin politik luar negeri Indonesia yang ‘bebas aktif’ maka Indonesia dapat lebih memaksimalkan potensinya dalam menangkap peluang sekaligus membuka kesempatan luas sebagai salah satu kekuatan yang cukup diperhitungkan di dalam keanggotaan G20.