Oleh: Chairul Fajar

Konflik Suriah menemui babak baru. Pada 15-17 September lalu, para aktor kunci di Suriah yakni Rusia-Iran-Turki kembali berunding guna mengambil langkah terhadap kelanjutan status-quo di Suriah Utara (Idlib) yang masih menjadi sumber ketidakpastian politik kawasan. KTT Ankara tersebut menargetkan terciptanya tatanan politik baru yang stabil dan kuat di Suriah sekaligus menguatkan kesepakatan tatatan politik sebelumnya dari berbagai rangkaian format perundingan  antara Rusia-Iran-Turki yang mengkondisikan Suriah saat ini.

Terlebih dalam perkembangan situasi terakhir di sana juga terjadi titik kebuntuan akan kelanjutan konflik di Suriah yang hampir memasuki fase akhir setelah pemerintah Assad semakin stabil berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayahnya dari tangan kelompok bersenjata kecuali Idlib. Sejak 2013, Idlib masih menjadi benteng terakhir bagi kelompok bersenjata anti-pemerintah Assad.

KTT ini merupakan kesempatan lanjutan bagi Rusia-Iran-Turki untuk menyelesaikan “Idlib Question”. Hal ini melihat upaya terkini pemerintah Suriah yang didukung Rusia-Iran untuk merebut kembali Idlib lewat kampanye militer memunculkan kekhawatirkan Turki. Bagi Turki hal tersebut berpotensi melemahkan posisinya yang berpotensi menciptakan tekanan arus pengungsi yang akan memasuki Turki sekaligus menguatkan kembali posisi Kurdi.

Eskalasi pengungsi dan penguatan pengaruh posisi Kurdi turut mendorong keinginan Turki untuk mencapai kesepakatan pemberlakuan safe-zone di KTT ini yang nampaknya tidak memperoleh perhatian serius bagi mitra Rusia dan Iran. Secara tidak langsung KTT ini menjadi daya tawar bagi Turki guna menghadapi ketidakpastian sikap AS terhadap Kurdi dan perihal negosiasi sejumlah kontrak persenjataan strategis antara AS-Turki yang belum menemui titik terang. Justru dari KTT ini memperlihatkan bahwa ketiganya memiliki intensi serupa untuk menekan AS-NATO agar segera menarik diri dari Suriah. Ini dicerminkan oleh ‘sambutan baik’ ketiganya ketika Presiden AS Donald Trump menyatakan untuk menarik AS keluar dari Suriah paska keruntuhan ISIS.   

Di sisi lain runtuhnya ISIS telah menghilangkan preteks kelanjutan eksistensi AS di Suriah yang sejak awal mendukung penuh faksi SDF Kurdi melawan ISIS. Pada titik ini AS dan sekutu NATO-nya Turki menyemai benih perpecahan dalam melihat rencana jangka panjang di Suriah Utara. AS telah mempercayakan SDF dalam menumpas ISIS dan belum memiliki rencana alternatif jangka panjang selain mempertahankan SDF sebagai instrumen yang bisa diandalkan menjaga law and order paska kekalahan ISIS. Sedangkan bagi Turki, SDF tidak lebih dari skenario perpanjangan tangan Kurdistan Workers Party (PKK) untuk semakin memperkuat posisinya.

KTT ini mutlak menjadi kemenangan strategis bagi Rusia-Iran di atas meja perundingan. Keduanya berhasil mendorong upaya kongkret pembentukan komite konstitusi di Suriah yang mengikutsertakan elemen pro-pemerintah disponsori Rusia-Iran, oposisi pro-Turki dan entitas politik lainnya sesuai mandat PBB, suatu langkah yang belum pernah berhasil dicapai oleh kebijakan AS di Suriah.

Secara tidak langsung KTT Ankara ini mempromosikan posisinya selaku format baru penyelesaian konflik di Timur Tengah dengan memberikan keleluasaan ‘panggung’ pada aktor kunci kawasan (Turki dan Iran) dengan mengakomodir agenda aktor luar kawasan (Rusia) dalam satu kerangka strategis. KTT Ankara beserta rangkaiannya dinilai merupakan suatu keberhasilan inisiatif kekuatan non-AS dalam ‘mengisi’ kevakuman situasi yang diakibatkan inefisiensi kebijakan AS di Timur Tengah.

Adapun mengenai ketegasan komitmen ketiga pihak terhadap kesepakatan KTT tersebut masih perlu diperhatikan lebih lanjut, mengingat format KTT Ankara dan rangkaian sebelumnya ini hanya bersifat mengamankan status-quo yang akan terus dihadapkan pada bayang-bayang potensi ancaman ketidaktegasan komitmen dan upaya serius dari pihak-pihak terlibat untuk mempertahankan konfigurasi rezim trilateral yang telah disepakati.

Pada akhirnya KTT tersebut sangat patut diapresiasi sebagai langkah penyelesaian pararel di tingkat regional. Meski demikian KTT Ankara ini menggambarkan bahwa Suriah tetap akan dihadapkan oleh ketidakpastian politik mengingat belum tercapainya sejumlah kesepakatan pasti mengenai penyelesaian isu-isu strategis yang disebutkan. Jika melihat dari situasi terkini, maka sangat diyakini penyelesaian konflik di Suriah masih memerlukan perhatian lebih dan bantuan dari masyarakat internasional dalam mengawal proses negosiasi yang berlangsung guna meredam eskalasi krisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *