Kebijakan China tentang nine dash line ini bersinggungan dengan kebijakan internasional yang sudah di akui oleh seluruh dunia. Layaknya kebijakan laut China yang disebut dengan Nine Dash Line yang terletak di area Laut China adalah suatu propaganda wilayah kelautan internasional dimana negara Asia Tenggara termasuk Indonesia mengalami suatu penjajahan wilayah karena kebijakan China yang disebut dengan Nine Dash line nya tersebut.
Nine Dash Line dari kebijikan China tersebut terbentuk pada tahun 1947 dimana pada awalnya dirumuskan kebijakan yang mengklaim sebelas wilayah laut yang dicetuskan oleh kepemimpinan Kuo-Mintang (China Nasionalis atau Republik China), akan tetapi setelah Kuo-Mintang melarikan diri ke Taiwan, China kepemimpinan rezim komunis mendeklarasikan sebagai pemegang yang sah akan Nine Dash Line yang telah ada. Dengan tujuan untuk menguasai wilayah-wilayah yang terdapat di Laut China Selatan, China ingin menerapkan sebuah aturan pada saat itu yang dikenal dengan Eleven Dash Line. Akan tetapi, dua garis dihapus pada awal 1950-an yang memotong Teluk Tonkin yang merupakan isyarat untuk pembentukan negara Vietnam Utara.
Siapakah yang Berhak Mengklaim Wilayah Laut Natuna?
Konflik yang terjadi antara Indonesia dan Cina mengenai wilayah laut Natuna Utara sejatinya telah dimulai sejak tahun 2016, ketika belasan kapal nelayan Cina mulai beroprasi di wilayah ZEE Indonesia. Konflik antara dua negara ini kembali memanas di akhir tahun 2019, ketika kapal Cina kembali melanggar wilayah teritori Indonesia. Bukan hanya kapal nelayan saja, tetapi mereka juga ditemani oleh kapal Coast Guard China. Mereka mengklaim bahwa wilayah yang mereka masuki itu adalah masih di dalam teritori mereka berdasarkan hak maritim historisnya.
Cina secara sepihak mengklaim 90% wilayah laut China Selatan sebagai hak milik mereka sepenuhnya, dimana mereka boleh dan bebas melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam, serta menguasai pulau-pulau yang ada di wilayah Laut Cina Selatan. Kebijakan tersebut tentu saja tidak diakui dan ditentang oleh dunia internasional karena dianggap telah melanggar hukum laut internasional yang telah disahkan oleh PBB. Konvensi PBB tentang hukum laut yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) di tandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dengan 2 organisasi kebangsaan dunia pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica (Boer Mauna,2018) .
Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-Undan No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan konvensi hukum laut. UNCLOS diakui sebagai the constitution for the sea, yang dimana berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur berbagai zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda. UNCLOS 1982 telah mencantumkan 8 zonasi pengaturan (regime) hukum laut, salah satunya ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). ZEE sendiri termasuk kedalam zona tambahan, dengan negara pantai memiliki kewenangan dan hak khusus di dalamnya. Aturan mengenai ZEE ini dituangkan secara khusus pada Bab V Pasal 55 sampai 76 dalam hasil konvensi tersebut.
Dalam Pasal 57, ZEE dijelaskan sebagai wilayah yang tidak boleh melebihi 200 Mil laut dari garis pangkal yang diukur dari laut teritorial (ida kurnia, 2008) . Gugusan kepulauan Natuna termasuk kedalam pulau terluar Indonesia, yang dimana merupakan titik di tariknya garis dasar batas negara. Jika berdasarkan hukum internasional yang berlaku, maka Indonesia berhak untuk memiliki kedaulatan penuh atas 12Mil laut teritorial yang ditarik dari garis pantai, serta memiliki kewenangan dan hak khusus atas 200Mil ZEE yang di tarik dari garis pangkal laut teritorial.
Akan tetapi UNCLOS menjelaskan bahwa negara pantai atau negara kepulauan tidak dapat memiliki kedaulatan sepenuhnya di wilayah ZEE. Kedaulatan di wilayah ZEE merupakan kedaulatan permanen hanya pada semua sumber biologis dan mineral (Boer Mauna, 2018). Oleh karena itu, hak-hak berdaulat yang dimiliki oleh negara-negara tersebut di wilayah ZEE-nya hanya bersifat residu. Dimana negara memiliki hak penuh atas sumber daya yang terkandung dalam wilayah pantai atau laut ZEE tersebut, akan tetapi negara lain tetap diperbolehkan melintas di perairan territorial itu seperti pemasangan kabel dan pipa laut, maupun melintas di langit yang berada di atasanya. ZEE mempunyai status hukum khusus yang bersifat sui generis dan sui juris, yaitu di zona tersebut dicirikan dengan ditetapkannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pantai juga negara-negara lainnya, karena zona ini bukan merupakan kedaulatan sepenuhnya (Boedino, 2015).
Berdasarkan hal ini,
Indonesia memiliki kedaulatan permanen atas sumber daya alam yang ada di Laut
Natuna Utara yang menjadi wilayah ZEE
Indonesia. Negara lain tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi sumberdaya yang
ada di ZEE Indonesia. Negara-negara lain hanya di perbolehkan untuk melakukan
pelayaran, melakukan pemasangan kabel dan pipa bawah laut, atau melintas di
langit di atasnya, akan tetapi harus ada izin resmi. Berdasarkan hukum
internasional yang berlaku, tindakan kapal-kapal China yang melakukan penangkapan ikan secara
illegal di wilayah ZEE Indonesia adalah tindakan yang melanggar hukum
internasional, dan Indonesia berhak menuntut serta memberikan peringatan kepada
kapal-kapal negara asing yang berusaha mengeksploitasi sumber daya yang ada di ZEE Indonesia.
references:
[1] Zhen Liu. 2016. “Here’s What’s behind the ‘nine dash line’ that sparked the South China conflict“. https://www.businessinsider.com/the-nine-dash-line-at-the-heart-of-the-south-china-sea-conflict-2016-7?IR=T (Diakses Rabu, 8 Januari 2020 pukul 10.23)
[2] Boer Mauna, Hukum Internasional : Peranan, Pengertian dan Gungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung : PT. ALUMNI, 2018) h. 305
[3] Ida Kurnia,”Penerapan UNCLOS dalam ketentuan perundang-undangan Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Eksklusif” Jurnal Hukum Prioris, Vol.2, No. 1, 2008. h. 46
[4] Budiyono, “Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut” Hukum Laut Internasional Dalam Perkembangan, Seri Monograf, Vol. 3, 2015 h. 90.