Ditulis oleh: Nazaruddien Agus Salim
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang seringkali disebut juga dengan China -dalam dunia internasional- memiliki sejarah yang sangat panjang dan menghadapi berbagai masalah dalam perkembangan perekonomiannya. China pada kepemimpinan Mao masih menerapkan komunisme absolut dalam sistem ekonomi dan politik. Setelah Mao meninggal dunia, kepemimpinan China diambil oleh Hua Goufeng yang cenderung visioner karena disokong oleh pemikiran Deng Xiaoping. Deng ingin negara China yang lebih liberal dengan memasuki pasar bebas. Deng mengajukan proposal Open Door Policy untuk meliberalisasi ekonomi China karena saat itu seantero negeri China sedang dilanda kelaparan yang sangat parah akibat dari revolusi kebudayaan (cultural revolution) yang dicetuskan oleh Mao. Walaupun secara faktual Deng Xiaoping bukanlah seorang pemimpin resmi China, namun dirinya berhasil menjadi sosok sangat vital (paramount leader) dalam pemerintahan China setelah Mao Zedong meninggal. China perlahan-lahan mengubah tumpuan ekonominya dari pertanian menjadi industrialisasi walaupun tidak semua kebijakan Deng bersifat abai terhadap petani (Hasan, 2018).
Modernisasi yang dibawa oleh Deng Xiaoping melalui berbagai program seperti Special Economic Zone yang menarget pangsa internasional turut menimbulkan masalah khususnya terkait energi penopang jalannya industri di China. Seiring dengan berjalannya waktu, perindustrian di China semakin pesat. Hal tersebut menjadi tanda bahwa China semakin bergantung dengan energi yang diimpor dari negara-negara yang berada di sisi baratnya (Timur Tengah & Afrika). Kapal-kapal pengangkut energi China membawa energi dari negara-negara pengekspor menuju China melalui jalur tercepat guna efisiensi biaya, yakni selat Malaka. Namun, ketergantungan China akan impor energi dan selat Malaka menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. China khawatir ketergantungannya tersebut akan dimanfaatkan oleh musuh potensial China seperti negara-negara barat karena sekitar 80% ekspor-impor China melalui selat ini. Posisi selat Malaka sangat strategis bagi perdagangan dunia dan pelayaran internasional. Tercatat bahwa selat Malaka menjadi Sea Lines of Communication (SLOC) dan Sea Lines of Transportation (SLOT) paling penting di dunia (Maduduri, 2020)
Kemudian, China mengalami suatu keadaan yang dillematic mengenai selat malaka sehingga diperkenalkan suatu istilah dalam urusan luar negeri China yang dikenal sebagai “Malacca Dilemma”. Istilah The Malacca Dilemma diperkenalkan oleh presiden Hu Jintao pada 2003. Selat Malaka tidak hanya menjadi jalur perdagangan dan energi, namun juga sebagai jalur strategis bagi China untuk mengirimkan atau menerima perlengkapan militernya yang tidak bisa diangkut melalui pesawat seperti rudal balistik. Ketegangan selat Malaka menjadikannya sebagai selat terpenting sekaligus terpanas di dunia karena bisa saja sewaktu-waktu terjadi perang terbuka di Selat Malaka. Amerika Serikat itu sendiri mempunyai kepentingan di selat Malaka seperti upaya memberantas terorisme, kontrol terhadap Korea Utara, Kontrol terhadap China serta kontrol geopolitik wilayah Asia-Pasifik mengingat Amerika telah menetapkan kawasan selat Malaka sebagai salah satu jalur yang paling banyak dilalui oleh kelompok terorisme atau kejahatan transnasional (Transnational Crime). Tujuan China mengurangi ketergantungan atas selat Malaka didasari oleh kebijakan luar negeri yang antisipatif jika suatu saat tensi dengan Amerika Serikat meningkat. Amerika Serikat dan Inggris memiliki sekutu strategis di Selat Malaka yakni Malaysia dan Singapura sebagai negara pemilik pantai / mempunyai hak kedaulatan di Selat Malaka (Litoral State) sehingga Amerika Serikat dan Inggris bisa dengan mudahnya memotong aspek vital China. Selain negara-negara barat, China juga bersitegang dengan pemerintahan India yang berstatus sebagai pemilik kedaulatan dari laut Andaman yang merupakan penghubung antara Samudra Hindia dengan selat Malaka (Singh, 2012)
Sebagai salah satu negara importir energi terbesar di dunia, China menjadi heavy user dari selat Malaka. User state disini bermakna negara-negara yang memakai atau memanfaatkan selat malaka untuk kepentingannya, sedangkan Litoral State bermakna negara yang memiliki kedaulatan atau wilayah di selat Malaka. Selain khawatir akan adanya ancaman dari negara barat, China juga khawatir akan ancaman dari kejahatan transnasional atau ancaman nyata terorisme. Akibat dari ketakutan tersebut, China akhirnya memberikan bantuan berupa pengembangan teknis, program pelatihan, survei hidrografis, serta bantuan navigasi kepada negara-negara pantai (littoral states) guna memberikan rasa aman sementara (Rahmadani, 2019).
Selama bertahun-tahun, pemerintah China berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap selat Malaka. Berbagai proposal atau solusi alternatif banyak ditawarkan oleh para pemikir kebijakan China namun belum ada satupun yang direalisasikan oleh pemerintah. Solusi pertama ialah menggunakan sebuah kanal di Thailand yang bernama “Kra Isthmus” sebagai pengganti selat Malaka. Kanal tersebut menghubungkan antara laut Andaman dengan teluk Thailand yang langsung mengarah ke Laut China Selatan. Kebijakan tersebut dianggap kurang tepat untuk diterapkan karena selain biayanya yang mahal untuk mengeruk daratan adapula faktor keamanan yang menjadi pertimbangan penting khususnya wilayah Thailand Selatan yang sering mengalami fenomena separatisme oleh penduduk Muslim. Solusi berikutnya ialah menggunakan jalur laut alternatif selat Sunda dan selat Lombok, namun selat Sunda terlalu dangkal untuk kapal besar China sedangkan selat Lombok terlalu jauh yang akan menghabiskan lebih banyak biaya. Solusi selanjutnya ialah membangun jalur pipa dari Sittwe di Myanmar ke kota Kunming di provinsi Yunan, China. Solusi ini berhasil diterapkan dan pernah dianggap sebagai solusi yang paling tepat karena Myanmar merupakan sekutu dekat China pada saat itu namun belum berhasil mengurangi ketergantungan China terhadap selat Malaka secara signifikan. Tak puas pada satu solusi, China terus mencari beragam cara serta jalan alternatif untuk mengatasi dilemma seperti membangun Pelabuhan Gwardar di Pakistan agar China bisa mengirim suplai energinya dari Pelabuhan Pakistan menuju kota Kashgar di provinsi Xinjiang (Stoney, 2006).
Tak seperti pipa gas Kunming yang terealisasi, pembuatan pipa gas Pakistan-China yang berada di bawah perjanjian China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) mengalami kesulitan. Hal tersebut disebabkan oleh topologi wilayah yang berupa pegunungan, jurang serta rawan akan terjadinya bencana alam seperti longsor atau badai salju. Rerata suhu di wilayah yang dilewati pipa tersebut juga dibawah 0 derajat Celsius sehingga dibutuhkan perawatan ekstra untuk membuat pipa tetap hangat dan minyak yang dialirkan tidak membeku. Pemerintah China juga masih berupaya untuk membangun jalur pipa ini meskipun harus merogoh biaya sebesar 62 miliar dollar pada tahun 2017 silam (Jaybhay, 2020)
REFERENCE:
Hasan, A. M. (2018, Februari 19). Deng Xiaoping, Pemimpin yang Membunuh Komunisme Cina. Retrieved from Tirto ID: https://tirto.id/deng-xiaoping-pemimpin-yang-membunuh-komunisme-cina-cESD
Jaybhay, R. (2020, June 30). China’s pipeline dream in pakistan. Retrieved from Lowy Institue: https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/china-s-pipeline-dream-pakistan
Maduduri, N. (2020, July 7). The Malacca Dilemma and Chinese Ambitions: Two Sides of a Coin. Retrieved from Diplomatist: https://diplomatist.com/2020/07/07/the-malacca-dilemma-and-chinese-ambitions-two-sides-of-a-coin/
Rahmadani, S. (2019). STRATEGI CINA MENGHADAPI “MALACCA DILEMMA”. Tesis USU, 5.
Singh, I. (2012). Safeguarding the Strait of Malacca Against Maritime Crimes. International Journal of Humanities and Social Science, 7.
Stoney, I. (2006, April 12). China’s “Malacca Dilemma”. Retrieved from James Town Foundation: https://jamestown.org/program/chinas-malacca-dilemma/