Penulis: Winda Safitri & Rafi Ferdilianto
Setelah tertunda satu tahun dari jadwal awal, Olimpiade Tokyo 2020 akhirnya sukses dilaksanakan meskipun di tengah pandemi COVID-19. Dengan situasi darurat pandemi, hal tersebut sangat berdampak terhadap bagaimana tata pelaksanaan olimpiade itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya larangan masuk bagi turis asing dan pembatasan jumlah kursi penonton mengakibatkan festival olahraga tersebut hanya bisa ditonton secara daring melalui televisi atau layanan streaming saja. Kompetisi pertandingan olahraga internasional yang memiliki predikat prestisius ini telah mempunyai sejarah panjang sejak era Yunani kuno atau sejak 3000 tahun yang lalu. Sejarah mencatat tahun 776 SM merupakan awal dari pelaksanaan olimpiade. Atlet-atlet yang turut serta di kompetisi ini berasal dari beberapa perwakilan suku-suku di Yunani. Cabang-cabang olahraga yang dipertandingkan di antaranya seperti lari, tinju, gulat, berkuda, pankration, dan pentathlon hingga terakhir terdapat total 46 cabang olahraga yang dipertandingkan pada Olimpiade Tokyo 2020 silam.
Pada masa itu, olimpiade hanya dilaksanakan di sebuah kota di Yunani, yang bernama Olympia. Awalnya, kompetisi ini merupakan bagian dari festival keagamaan dengan tujuan untuk menghormati dan memuja Dewa Zeus. Namun, siapa sangka festival yang awal lingkup pelaksanaannya hanya berada di satu negara saja telah berubah menjadi sebuah ajang olahraga terbesar dengan cakupan berskala internasional.
Komite Olimpiade Internasional (KOI) membuat sebuah aturan yang mengatur pelaksanaan olimpiade ini agar selalu menjunjung netralitas politik dengan tidak memihak kepentingan politik dalam bentuk apapun. Seorang tokoh yang menghidupkan kembali olimpiade yaitu Pierre de Coubertin percaya bahwa kompetisi olahraga dapat mendorong perdamaian dunia. Akan tetapi, kenyataannya ajang olahraga memang sering kali tercampur oleh isu-isu politis. Contohnya ialah Olimpiade Musim Panas 1980 di Moskwa.
Penunjukan kota Tokyo sebagai tuan rumah penyelenggara Olimpiade 2020 diumumkan pada tahun 2013. Saat itu proyeksi anggaran untuk biaya olimpiade sekitar 7.3 miliar dolar AS. Anggaran tersebut membengkak mencapai 15.4 miliar dolar AS, tetapi sumber lain memperkirakan bahwa total biaya yang dihabiskan mencapai dua kali lipat dari angka tersebut. Para ahli menyebut bahwa Olimpiade Tokyo adalah Olimpiade Musim Panas yang menghabiskan dana terbesar dibanding olimpiade sebelumnya. Dalam hal ini pun, Jepang sangat memaksimalkan penggunaan teknologi khususnya AI dan teknologi sensor untuk mempermudah pelaksanaan olimpiade.
Pelaksanaan Olimpiade Tokyo pun tidak selamanya menimbulkan kesan baik, salah satunya adalah bagaimana perlakuan pemerintah Jepang terhadap tunawisma kota, mereka meminta tunawisma agar pindah dari kota dan tidak menampakkan diri di Tokyo pada saat olimpiade. Hal itu dilakukan agar branding yang diciptakan Tokyo sebagai kota bersih tetap diakui oleh global.
Pelaksanaan olimpiade juga memperlihatkan bagaimana kondisi negara yang menjadi tuan rumahnya. Dengan pengaruh media massa dan internet yang kuat, hal ini semakin mempermudah tersebarnya segala informasi tentang pelaksanaan olimpiade. Baik atau buruknya pelaksanaan olimpiade yang diadakan oleh tuan rumah tentu menjadi sorotan bagi dunia internasional. Dengan adanya perhatian besar dari dunia internasional, banyak negara-negara yang berusaha memperebutkan posisi sebagai tuan rumah. Dengan menjadi tuan rumah penyelenggara olimpiade tentu dapat membuka peluang jalan untuk memajukan segenap kepentingan nasionalnya, dan membangun citra positif bangsa, serta dapat memberikan exposure lebih tentang budaya dan keunggulan negara tuan rumah olimpiade. Contohnya adalah pada Olimpiade PyeongChang 2018 yang dilaksanakan di Korea Selatan yang berhasil menjadi alat diplomasi untuk membuat percikan perdamaian antara Korea Utara dan Korea Selatan, dan berhasil memulai komunikasi antar-Korea dengan baik (Cevy & Noorzaman, 2020). Usaha yang telah dikucurkan akhirnya berbuah manis, yang mana kedua negara tersebut membentuk tim gabungan untuk pertama kalinya dalam 27 tahun terakhir, serta ada penampilan pembukaan Olimpiade Pyeongchang dari delegasi Korea Utara dan Korea Selatan yang berbaris di bawah bendera unifikasi Korea. Meskipun belum mencapai persatuan, tidak bisa dielakkan bahwa ini adalah bukti bahwa kompetisi olahraga dapat membuka jalan diplomasi.
Photo by Matthias Hangst/Getty Images
IOC dan Proses Penunjukan (Bidding) Tuan Rumah Olimpiade
IOC (International Olympic Committee) adalah induk organisasi yang menyelenggarakan event multi-cabang olahraga terbesar di dunia, yaitu Olimpiade Musim Panas dan Olimpiade Musim Dingin. IOC didirikan oleh Pierre de Coubertin pada 1894 dan berkantor pusat di Lausanne, Swiss. Salah satu tugas IOC adalah memilih tuan rumah untuk menyelenggarakan Olimpiade Musim Panas dan Olimpiade Musim Dingin. Untuk penentuan tuan rumah, IOC memberikan kesempatan kepada kota-kota yang mengajukan diri menjadi tuan rumah olimpiade. Kemudian, setiap perwakilan dari kota-kota tersebut memberikan proposal pengajuan diri sebagai tuan rumah olimpiade kepada IOC dan melakukan presentasi pelaksanaan olimpiade kepada IOC. IOC memiliki beberapa indikator penilaian dalam menunjuk sebuah negara menjadi tuan rumah olimpiade di antaranya seperti kesiapan fasilitas olahraga, ekonomi negara calon tuan rumah, infrastruktur, dan kondisi sosial dan politik dari negara tersebut. Tentu IOC tidak menunjuk sembarang kota untuk menjadi tuan rumah olimpiade. Kota yang memiliki nilai paling bagus dari indikator tersebutlah yang akan dipilih oleh IOC menjadi tuan rumah olimpiade. Penunjukan tuan rumah olimpiade dilaksanakan jauh sebelum tahun penyelenggaraan agar tuan rumah olimpiade tersebut bisa mempersiapkan event olimpiade tersebut dengan lebih matang.
Jika terdapat keterbatasan fasilitas cabang olahraga dari kota tuan rumah, IOC juga mengizinkan penyelenggaraan cabang olahraga olimpiade dilakukan di luar kota tuan rumah. Sebagai contoh saat Olimpiade Tokyo 2020 beberapa tempat penyelenggaraan dari berbagai macam cabang olahraga diselenggarakan di luar Tokyo seperti Tsurigasaki Surfing Beach untuk cabang olahraga berselancar, Saitama Super Arena untuk cabang olahraga bola basket, Asaka Shooting Range untuk cabang olahraga menembak, Kasumigaseki Country Club untuk cabang olahraga golf, Enoshima Yacht Harbour untuk cabang olahraga berlayar, Izu Velodrome untuk cabang olahraga sepeda track, Izu MTB Course untuk cabang olahraga balap sepeda gunung, Fuji International Speedway untuk cabang olahraga balap sepeda, Fukushima Azuma Baseball Stadium untuk cabang olahraga baseball dan softball, Yokohama Baseball Stadium untuk cabang olahraga baseball dan softball, Sapporo Odori Park untuk cabang olahraga maraton dan jalan cepat, Sapporo Dome untuk cabang olahraga sepak bola, Miyagi Stadium untuk cabang olahraga sepak bola, Ibaraki Kashima Stadium untuk cabang olahraga sepak bola, Saitama Stadium untuk cabang olahraga sepak bola, dan International Stadium Yokohama untuk cabang olahraga sepak bola.
Dampak Positif & Negatif Olimpiade
Banyak negara di dunia yang sangat berambisi untuk menjadi tuan rumah olimpiade, hal ini dikarenakan dengan menjadi tuan rumah olimpiade maka suatu kota atau negara tersebut akan semakin dikenal oleh masyarakat dunia dan akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi kota atau negara tersebut karena pernah menjadi tuan rumah olimpiade. Akan tetapi, tidak selamanya menjadi tuan rumah olimpiade mendatangkan keuntungan bagi kota atau negara tersebut. Terkadang menjadi tuan rumah olimpiade juga mendatangkan kerugian bagi kota atau negara tersebut.
Banyak sekali dampak positif yang akan didapat oleh suatu kota atau negara ketika menjadi tuan rumah olimpiade. Dampak positif yang pertama adalah olimpiade dapat meningkatkan pendapatan negara lewat pariwisata serta meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Sebagai contoh, Olimpiade Musim Panas Rio de Janeiro 2016 memiliki banyak pemasukan lewat penyiaran dari setiap pertandingan di olimpiade, karena acara tersebut disaksikan oleh lima miliar orang yang disiarkan di 200 negara. Selain itu, Brazil juga kebanjiran akan pengunjung asing, di mana tercatat sebanyak 56% pengunjung asing yang juga merupakan pengunjung baru yang datang ke Brazil untuk menyaksikan Olimpiade 2016, dan tercatat rekor pariwisata Brazil dengan kedatangan 6,6 juta turis asing, serta Brazil mendapatkan keuntungan sebesar 6,2 miliar dolar AS. berkat kunjungan dari turis asing tersebut. Lalu, Olimpiade Musim Dingin 2018 di PyeongChang tercatat mendapatkan keuntungan sebesar 55 juta dolar AS setelah Korea Selatan menjadi penyelenggara olimpiade. Olimpiade Musim Panas Barcelona 1992 turut menghasilkan banyak keuntungan, salah satunya adalah membantu revitalisasi kota dan mengubahnya dari kota “industri terpencil” menjadi kota terbaik di Eropa, menurut majalah Travel + Leisure. Kemudian, Olimpiade Musim Panas Los Angeles 1984 juga salah satu kota yang mendapatkan keuntungan setelah menjadi tuan rumah olimpiade, tercatat mendapatkan keuntungan sebesar 215 juta dolar AS dan 289 juta dolar AS dari biaya siaran. Olimpiade tersebut membawa rekor 43,2 juta turis ke Los Angeles pada tahun itu, jumlah turis tersebut meningkat 9,3% dibandingkan pada tahun 1983.
Dampak positif yang kedua adalah olimpiade dapat meningkatkan perdagangan global dari negara tuan rumah. Menurut Profesor Ekonomi Robert A. Baade, PhD, dan Victor A. Matheson, PhD, “tindakan penawaran (untuk olimpiade) berfungsi sebagai sinyal yang kredibel bahwa suatu negara berkomitmen untuk liberalisasi perdagangan yang secara permanen akan meningkatkan arus perdagangan”. Sebagai contoh Tiongkok bernegosiasi dengan WTO untuk membuka perdagangan secara global pasca Beijing ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2008. Kemudian, ketika Roma ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1960, Italia bergabung dengan PBB dan memulai negosiasi Messina yang mengarah pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Suatu studi ekonomi menyatakan bahwa “efek olimpiade sangat kuat, karena dengan menyelenggarakan olimpiade, cenderung meningkatkan keterbukaan suatu negara secara substantif dan permanen.”
Dampak positif yang ketiga adalah dengan menjadi tuan rumah olimpiade akan menciptakan rasa kebanggaan tersendiri bagi pemerintah dan rakyat dari negara tersebut. Karena ketika menjadi tuan rumah olimpiade, seluruh mata dunia akan tertuju kepada negara tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat akan mendukung penuh untuk menyukseskan penyelenggaraan Olimpiade tersebut. Karena jika perhelatan olimpiade sukses, maka negara dan kota host pasti akan mendapatkan prestise level internasional. Akhirnya ini akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat dari negara tersebut. Sebagai contoh ketika kota PyeongChang terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2018, seluruh rakyat PyeongChang dan Korea Selatan sangat senang dan gembira sekali. Lee Ji-seol, selaku warga Korea Selatan yang tinggal di PyeongChang, mengatakan bahwa “ketika PyeongChang terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade 2018, seluruh kota sedang menari merayakan hasil pemilihan tersebut.”
Selain banyak dampak positif yang diterima oleh kota atau negara tuan rumah olimpiade, ada pula dampak negatif yang diterima oleh suatu kota atau negara ketika mereka menjadi tuan rumah olimpiade. Dampak negatif pertama adalah olimpiade menguras anggaran negara tuan rumah. Sejak popularitas olimpiade meningkat pada tahun 1960-an, setiap tuan rumah olimpiade mengeluarkan banyak dana untuk menyelenggarakan olimpiade paling megah dan terbaik. Hal ini tentunya menyebabkan terjadinya pembengkakkan anggaran untuk menyelenggarakan event tersebut. Pembengkakkan anggaran rata-rata untuk kota tuan rumah dari tahun 1968 hingga 2010 adalah 252% untuk Olimpiade Musim Panas dan 135% untuk Musim Dingin. Olimpiade Montreal 1976 menjadi olimpiade yang paling membengkak anggarannya karena anggarannya membengkak sampai 440% sehingga membuat kota tersebut hampir bangkrut karena utang yang terus menggulung hingga tahun 2006. Selain itu, akibat dari penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas 2004 di Athena juga semakin memperburuk krisis keuangan Yunani pada tahun 2007-2012. Kemudian beberapa negara berkembang yang mencalonkan diri menjadi tuan rumah olimpiade sampai memotong dana anggaran pelayanan masyarakat untuk dialihkan ke dana anggaran pembangunan fasilitas dan infrastruktur untuk olimpiade.
Dampak negatif kedua adalah olimpiade memaksa tuan rumah untuk membuat infrastruktur dan bangunan mahal yang belum tentu digunakan lagi ke depannya. Robert A. Baade, PhD, dan Victor A. Matheson, PhD, seorang profesor ekonomi menyatakan, “kota tuan rumah sering ditinggalkan dengan infrastruktur olahraga khusus yang tidak banyak digunakan di luar olimpiade”. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fasilitas dan infrastruktur olahraga bekas penyelenggaraan olimpiade yang telah terbengkalai, berkarat, ditumbuhi rumput liar, ditutupi graffiti, dipenuhi air yang telah tercemar, dan ditinggalkan begitu saja. Sebagai contohnya pada beberapa tempat penyelenggaraan pada Olimpiade Athena 2004 seperti lapangan voli pantainya yang sudah ditumbuhi oleh rumput liar, asrama pemainnya terbengkalai, air dalam kolam selamnya sudah tercemar dan banyak fasilitas olahraganya yang dipenuhi oleh coretan graffiti. Jika fasilitas dan infrastruktur olahraga tersebut dirawat, maka dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk merawat setiap fasilitas dan infrastruktur tersebut. Sebagai contoh Stadion Olimpiade Sarang Burung Beijing 2008 yang menghabiskan biaya sebesar 11 juta dolar AS per tahun untuk pemeliharaannya. Stadion tersebut menampung 91.000 kursi yang sebagian besar kursi tersebut tidak terpakai. Kemudian, Stadium Australia untuk Olimpiade Sydney 2000 juga menghabiskan biaya perawatan yang sangat besar, yaitu memerlukan 30 juta dolar AS untuk perawatan per tahunnya. Karena besarnya biaya perawatan, pemerintah PyeongChang lebih memilih menghancurkan stadium utama mereka yang digunakan untuk pelaksanaan olimpiade. Stadium itu sendiri bernilai 78 juta US Dollar, padahal stadium tersebut hanya digunakan 4 kali saja selama penyelenggaraan Olimpiade 2018.
Dampak negatif ketiga dari olimpiade adalah dengan digusurnya beberapa tuna wisma yang berada di kota tuan rumah untuk memperbagus citra kota tersebut. Menurut Bryan C. Clift, PhD, dan Andrew Manley, PhD, selaku dosen di University of Bath menyatakan bahwasanya “untuk memberi jalan bagi pembangunan infrastruktur Olimpiade Beijing 2008, diperkirakan 1,5 juta orang diusir paksa dari rumah mereka dengan kompensasi yang sedikit. Lingkungan dihancurkan dan penduduk dipindahkan ke pinggiran kota yang jauh dari teman, keluarga, dan tempat kerja”. Selain itu, penduduk di dekat Stadion Olimpiade Rio de Janeiro 2016 banyak yang dipindahkan secara paksa dalam “konfrontasi berdarah antara polisi dan penduduk” di mana dalam konfrontasi tersebut juga melibatkan penggunaan peluru karet dan granat perkusi. Akibatnya, banyak warga Brasil saat itu yang berdemo untuk menolak penyelenggaraan olimpiade.
Kesimpulan
Setelah sempat berhenti karena dilarang oleh Kaisar Romawi Theodosius I, pada tahun 1896 olimpiade kembali dilakukan dengan tuan rumah Kota Athena. Hingga saat ini, sudah terjadi 28 Olimpiade Musim Panas yang diselenggarakan di 23 kota dan 23 Olimpiade Musim Dingin yang diselenggarakan di 20 kota.
Tidak hanya sekadar kompetisi, fenomena politik pun kadang kala terselip pada ajang tersebut. Pada sejarahnya, banyak negara di dunia ini yang bersaing untuk menjadi tuan rumah olimpiade. Setelah berhasil menjadi tuan rumah olimpiade, setiap tuan rumah juga berusaha menciptakan olimpiade terbaik sehingga tak jarang dari setiap tuan rumah tersebut harus menggelontorkan uang yang sangat banyak untuk meriahkan olimpiade di tanah mereka. Oleh karena itu, terdapat dampak positif dan negatif ketika menjadi tuan rumah olimpiade. Tetapi diluar dari dampak tersebut perlu diakui bahwa olimpiade juga membawa nilai positif bagi semua negara. Karena dalam olimpiade, semua negara berdamai dan bersatu untuk berkompetisi dalam lingkungan olahraga yang sehat dan sportif –sebuah angin segar dari kondisi perpolitikan dan perekonomian internasional yang berat dan melelahkan.
Referensi
Aleem, Z. (2018, 9 Februari). North and South Korea marched together under one flag at the Olympics. https://www.vox.com/world/2018/1/17/16900972/winter-olympics-opening-ceremony-north-south-korea-flag
BBC. (2012, 23 Juli). Serba serbi awal mula Olimpiade. https://www.bbc.com/indonesia/olahraga/2012/07/120723_olympics_sejarah
Canadian Olympic Committee. (2021). Tokyo 2020 Venue Guide: Non-Zoned Venues. Retrieved from https://olympic.ca/venues/tokyo-2020-non-zoned-venues/
Cervantes, A. (2021, 23 Juli). The Tokyo Olympics’ Staggering Price Tag and Where It Stands in History. https://www.wsj.com/articles/the-tokyo-olympics-staggering-price-tag-and-where-it-stands-in-history-11627049612
Cevy, A. I., & Noorzaman, A. (2020). Peran Olahraga Sebagai Alat Diplomasi Penyelesaian Konflik di Semenanjung Korea Pada Tahun 2018. Independen, 1(1), 22–29.
Context ID. (2021, 27 Juli). Mimpi Indonesia Menjadi Tuan Rumah Olimpiade. Retrieved from https://youtu.be/iw8XcR8jxhw
Daftar Populer. (2021, 4 April). Hanya Digunakan Sekali dan Setelah Itu Ditinggalkan, Begini Kondisi Gedung-Gedung Bekas Olimpiade Sekarang. Retrieved from https://youtu.be/iFeWm-z0If8
International Olympic Committee. (2014, 18 November). Olympic Agenda 2020 20+20 Recommendations. 4-20. Retrieved from file:///C:/Users/asus/OneDrive/Documents/Olympic_Agenda_2020-20-20_Recommendations-ENG.PDF
Kim, V., & Lowry, H. (2021, 1 Agustus). Beneath the Olympic flame, some of Tokyo’s most vulnerable stay tucked out of view. https://www.latimes.com/world-nation/story/2021-08-01/beneath-the-olympic-flame-some-of-the-tokyos-most-vulnerable-stay-tucked-out-of-view
Kinasih, S. (2021, 12 Agustus). Olimpiade Bukan Sekadar Arena Kompetisi, Ia Juga Panggung Politik. https://tirto.id/giwb
ProCon.org. (2021, 8 Oktober). Hosting the Olympic Games – Top 3 Pros and Cons. Retrieved from https://www.procon.org/headlines/hosting-the-olympic-games-top-3-pros-and-cons/#arguments
Young, D. C. (2021, 16 Juli). Olympic Games. Retrieved from https://www.britannica.com/sports/Olympic-Games/Women-and-the-Olympic-Games