Ditulis oleh: Shan Adam Ghoffar & Rifqy Alief Abiyya
Konflik Rusia-Ukraina
Rusia dan Ukraina kembali terlibat didalam konflik yang memanas. Tensi kedua negara kembali meningkat di akhir 2021 ini. Hal tersebut dibuktikan dengan hadirnya kurang lebih 100.000 ribu pasukan Rusia berada di perbatasan Ukraina (CNBC 2022). Rusia juga mengakui wilayah Luhansk dan Donetsk di wilayah timur Ukraina sebagai negara independen. Beberapa hari kemudian, Presiden Putin mengumumkan operasi militer khusus ke Ukraina dan menguasai beberapa kota di Ukraina. Putin sendiri menyebutkan bahwa operasi militer ini merupakan bagian dari act of self-defense, sebagai tanggapan terhadap etnis Rusia yang terancam dan bahkan sebagai dukungan bagi rakyat Ukraina melawan rezim teroris neo-Nazi, serta memperbaiki kesalahpahaman dalam melihat sejarah kemerdekaan Ukraina sendiri (Moshagen et al, 2022). Serangan ini pada akhirnya menuai kecaman dari berbagai pihak, diantara negara-negara barat dan juga PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Konflik ini juga tidak terlepas dari keinginan Ukraina untuk bergabung ke Uni-Eropa dan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Presiden Putin pun meminta untuk jaminan keamanan (Bigg 2022) dan permintaan lain kepada barat khususnya NATO seperti menolak Ukraina menjadi negara anggota NATO dan meminta NATO untuk berhenti melakukan perluasan pengaruhnya di eropa timur (Roth 2021).
Kawasan Eropa Timur sendiri di masa perang dingin merupakan wilayah di bawah pengaruh Uni Soviet. Bahkan, Uni Soviet membentuk aliansi pertahanan sendiri yang dinamakan Pakta Warsawa dengan negara-negara dibawah pengaruh mereka menjadi anggotanya. Pasca perang dingin Uni-Soviet dan Pakta Warsawa bubar dan terpecah menjadi negara independen termasuk Rusia dan Ukraina (CNBC 2022). Hal inilah yang menyebabkan NATO merasa dapat melakukan perluasan pengaruhnya di eropa timur. Inilah yang dikhawatirkan Rusia saat ini jika Ukraina benar-benar menjadi anggota aliansi dan di bawah pengaruh barat. Dalam melakukan operasi militer spesial, demiliterisasi dan denazifikasi menjadi salah satu alasan yang dilontarkan pihak Rusia. Istilah nazi tertuju kepada rezim pro-barat yang menyebarkan russo-phobia dan berefek kepada kebijakan yang berseberangan dengan Rusia. Ini juga menjadi pemicu protes di Luhansk dan Donetsk yang didominasi keturunan Rusia. Terlepas dari Pro-Kontra serangan Rusia ke teritori Ukraina pada akhir februari 2022. Tentunya salah satu dampak yang signifikan dan harus disoroti adalah banyaknya pengungsi Ukraina yang melarikan diri dari tanah kelahiran mereka sebagai imbas dari konflik ini. Warga Ukraina yang meninggalkan rumah dan mengungsi ke tempat yang lebih aman seperti negara tetangga seharusnya bisa menjadi perhatian yang lebih karena dapat meningkatkan krisis kemanusiaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sikap semua negara serta institusi internasional terhadap Gerakan pengungsi Ukraina yang kian hari kian membludak.
Negara yang menjadi tujuan Pengungsi Ukraina
Pengungsi adalah orang-orang yang melintasi perbatasan untuk melarikan diri dari pelanggaran hak asasi manusia dan konflik (Bett et al, 2011). Ketidakstabilan di dalam negeri yang sedang terjadi tentu saja menyebabkan banyak masyarakat Ukraina memutuskan untuk mengungsi ke negara lain demi menjaga keamanan diri mereka dan juga keluarga mereka. Survei yang dilakukan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai salah satu lembaga dunia dibawah naungan PBB yang berfokus mengurus dan mengatasi permasalahan pengungsi mengatakan bahwa per Bulan Juli 2022, total sudah ada 4 juta pengungsi Ukraina yang tersebar di beberapa negara Eropa (UNHCR n.d.). Data ini juga menunjukan bahwa negara terbesar yang saat ini sedang menampung pengungsi Ukraina adalah Hungaria kemudian diikuti Moldova dan Polandia.
Data yang dihimpun oleh UNHCR
Disisi lain, walaupun para beberapa pengungsi sudah berhasil mencari perlindungan ke beberapa negara lain, akan tetapi mereka tidak bisa serta merta secara langsung bisa hidup dengan nyaman. Hal ini dikarenakan mengingat kondisi beberapa negara penampung yang tidak siap untuk bisa menampung para pengungsi yang berdatangan dalam jumblah besar. Kebutuhan pokok pengungsi seperti tempal tinggal sementara, makanan, pakaian dan juga obat-obatan menjadi permasalahan baru yang harus dihadapi oleh negara penampung.
Sikap UNHCR Dalam Kasus Rusia-Ukraina
Konflik yang terjadi diantara negara yang memicu peperangan akan selalu memiliki dampak, terutama terhadap masyarakat. Masyarakat yang nantinya mengungsi, meninggalkan kota atau bahkan negaranya dan mencari tempat yang lebih aman untuk bertahan hidup seperti ke negara-negara tetangga. Dari kasus ini sangat jelas bahwa diperlukan sikap atau respon baik kepada pengungsi dari suatu institusi atau pihak tertentu. UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) merupakan organisasi dibawah PBB dalam menangani dan terlibat dalam masalah pengungsi. Dalam konflik Rusia-Ukraina tentunya diperlukan keterlibatan UNHCR dalam menyikapi pengungsi Ukraina yang terdampak. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi kemanusiaan bukan hanya UNHCR yang dapat menyikapi para pengungsi, negara tetangga pun seharusnya juga dapat menyikapi para pengungsi seperti mengakomodir kebutuhan pengungsi selama di negara tersebut. UNHCR sendiri sudah memiliki suatu rancangan program yang bernama inter-agency Regional Refugees Response Plan (RRP) (UNHCR n.d.). Rancangan ini hadir sebagai sebuah respon yang tidak hanya dilakukan oleh badan instansi PBB tetapi juga NGO (Non-Governmental Organization), negara tetangga, hingga masyarakat sipil yang dimana RRP ini dipimpin dan atas koordinasi UNHCR. Tindakan ini sangat berpengaruh kepada pengungsi Ukraina yang memerlukan perlindungan dan bantuan, bahkan kurang lebih 4 juta penduduk Ukraina yang keluar dari negaranya mencari tempat yang lebih aman.
Dalam RRP ini terdapat beberapa respon yang didukung dan dilakukan negara dalam menampung pengungsi seperti, host countries dapat memastikan keamanan dan proteksi kepada para pengungsi dari Ukraina. Tentunya dalam kondisi konflik seperti ini, keamanan merupakan suatu hal yang sangat rentan dan perlu pencegahan yang lebih dalam proteksi keamanan. Jika dapat menjamin keamanan kepada para pengungsi, hal tersebut bisa dikatakan bantuan untuk menyelamatkan kehidupan para pengungsi. Selain keamanan secara fisik, perlu jaminan bantuan penting lainnya seperti akses masalah kesehatan mental dan psikologi atau kesehatan secara fisik, serta ketersediaan pangan. Ketersediaan bantuan tersebut merupakan hal utama yang perlu didapatkan oleh para pengungsi karena untuk kebutuhan dan keperluan sehari-hari. Inilah pentingnya koordinasi dan bertukar informasi antar seluruh mitra baik negara atau non-negara dalam usahanya memastikan, membantu, serta memenuhi kebutuhan para pengungsi. Jika kita lihat koordinasi yang dilakukan UNHCR bahwa ada poin kewajiban dalam arti lain itu sebuah keharusan bagi mitra dalam merespon pengungsi. Jadi bukan sekadar menampung tetapi mitra tersebut menjamin pengungsi yang datang ke negara tersebut. UNHCR pun sangat terbuka dengan pendanaan yang mereka dapatkan. ini bisa dibuktikan dengan mereka secara berkala melakukan update mulai dari pendanaan yang mereka terima, Bagaimana bantuan operasional berlangsung serta situasi dan kondisi terkini dari para pengungsi di negara penampung. Hal seperti ini membuat masyarakat dunia pun menjadi tau bagaiamana bantuan tersebut dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan pengungsi. Dibawah koordinasi UNHCR pun, penerapan RRP juga sejalan dengan Refugees Coordinator Model (RCM) yang berkolaborasi dengan negara yang menampung dan didukung oleh pihak lain yang terlibat sehingga bisa lebih efisien untuk memaksimalkan sikap atau respon dari munculnya pengungsi akibat konflik Rusia-Ukraina.