Penulis: Winda Safitri dan Zulvian Ramadhan Putra
Tahun 2010 merupakan tahun yang tidak dapat dilupakan oleh masyarakat Timur Tengah bahkan masyarakat dunia. Kali ini bukan karena Piala Dunia FIFA di Afrika Selatan, melainkan sebuah serangkaian protes anti pemerintah yang terjadi di berbagai negara di wilayah Timur Tengah dan sebagian wilayah Afrika utara yang mana dikenal sebagai peristiwa Arab Spring. Pada Tanggal 17 Desember 2010, Mohamed Bouazizi, dimana seorang warga negara Tunisia yang merupakan pedagang buah membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes terhadap kekerasan yang ia dapatkan dari seorang polisi setelah menyita barang dagangannya, Bouazizi kemudian meninggal pada 4 Januari 2011.
Setelah aksi Bouazizi viral, pada 24 Desember 2010 warga Tunisia terinspirasi untuk turun ke jalan menuntut perbaikan kualitas hidup dan menggulingkan kediktatoran Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang telah menjabat selama 23 tahun. Demonstrasi di Tunisia terbukti menjadi inspirasi bagi masyarakat di Timur Tengah dan negara-negara Afrika Utara untuk memerangi kediktatoran, korupsi dan kemiskinan. Pada 25 Januari 2011, ribuan rakyat Mesir berdemonstrasi di Kairo, Alexandria, dan kota-kota besar lainnya untuk menggulingkan Presiden Hosni Mubarak, yang telah menjabat selama 30 tahun. Di Bahrain, pada tanggal 15 Februari 2011, masyarakat berdemonstrasi melawan sistem monarki, di hari yang sama, masyarakat Libya melawan rezim Muammar Gaddafi. Masyarakat Syria juga tidak mau kalah, mereka berdemonstrasi melawan rezim Bashar al-Assad. Arab Spring terus menyebar di berbagai negara Timur Tengah dan Afrika utara seperti Yaman, Lebanon, Sudan, dan Maroko.
Lalu apakah aksi protes tersebut membuahkan hasil? Setelah sebulan berdemonstrasi, Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali melarikan diri ke Saudi Arabia menandakan jatuhnya rezim Ben Ali setelah 23 tahun berkuasa. Di Mesir, tidak membutuhkan waktu lama, seminggu setelah gelombang demonstrasi terjadi di kota-kota Mesir, Presiden Hosni Mubarak lengser dari jabatannya. Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh lengser dari jabatannya dan digantikan wakilnya, Abdrabbuh Mansour Hadi. Berbeda cerita di Libya dan Syria, demonstrasi mengantarkan mereka ke gerbang perang sipil. Presiden Syria Bashar al-Assad memerintahkan untuk melawan demonstran dengan menggunakan senjata api, hal ini semakin membuat situasi memanas dan mencetuskan perang sipil di tahun 2011 antara kelompok pemberontak dan rezim al-Assad. Walaupun Muammar Gaddafi berhasil digulingkan dan dibunuh, Libya juga memulai perang sipilnya. Sedangkan, kerajaan Bahrain menuduh aksi protes sebagai usaha Iran untuk menggulingkan monarki dan tindakan yang diambil ialah melakukan manuver politik, seperti memenjarakan para demonstran dan mem-banned partai oposisi.
Satu dekade lebih telah berlalu, gelombang Arab Spring telah mereda, akan tetapi yang menjadi perhatian yaitu keadaan negara-negara Arab Spring setelah revolusi dan rezim setelahnya. Beberapa negara berhasil mencapai demokrasi, beberapa negara jatuh ke dalam jurang perang sipil, dan bencana ekonomi. Apakah Arab Spring sebuah kesuksesan atau kegagalan?
Menata Jalannya Proses Demokratisasi
Mesir dapat dikatakan gagal untuk mempertahankan pemerintahan yang demokratis dan malah dilanda segenap masalah kecacatan institusional. Hal ini terjadi karena selama Mubarak berkuasa, ia memastikan bahwa tidak akan ada kelompok yang cukup kuat untuk melawan rezimnya. Maka dari itu, para revolusioner tidak dapat menghadapi realitas politik yang harus ditangani semenjak lengsernya Mubarak. Dari keadaan tersebut, kelompok Islamis kanan, The Muslim Brotherhood mengambil alih pemerintahan. Namun, Muslim Brotherhood di bawah Presiden Mohammad Morsi, dianggap tidak dapat memulihkan ekonomi dan terlalu mengutamakan kepentingan kelompok daripada rakyat. Selain kondisi ekonomi, konflik kuat antara kelompok islamis dan sekuler cukup membuat Mesir berada di ambang ketidakstabilan politik. Akhirnya, Mesir mengulangi sejarahnya, dua tahun setelah Mubarak lengser, kekuasaan militer otoritarian di bawah Dewan Agung Militer (SCAF) mengambil-alih pemerintahan dan pada pemilu kemudian dimenangi Presiden Abdel Fattah el-Sisi, mantan jenderal yang memimpin kudeta atas Morsi. Atas desakan nasional, diadakan pemilu parlemen yang hasilnya mengejutkan yakni partai Islam meraih suara tertinggi. Dalam peristiwa ini dapat disimpulkan kalangan militer tidak rela proses demokratisasi akan mengecilkan kekuasaan mereka dalam arena politik. Inilah yang disebut sebagai backward bending process atau pembalikan kondisi menuju sistem otoriter baru (Wahyudhi et al., 2020). Setelahnya tentu bisa ditebak, dimana Mesir di bawah rezim militer el-Sisi sangatlah kacau, pemberangusan pers dan organisasi massa pro-demokrasi, penangkapan aktivis oposisi, serta eskalasi konflik antara pihak militer dan milisi bersenjata membawa ketidakstabilan di negara tersebut. Melihat situasi demokrasi negara yang tidak mengalami perbedaan sejak 2011, terjadilah demonstrasi rakyat menuntut turunnya Presiden Abdel Fattah el-Sisi, yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring 2.0.
Sementara itu kondisi terbaru di Libya, dimana pemilu yang sudah direncanakan akan dilaksanakan pada Desember 2021 kembali gagal. Dari sejarahnya, setelah gerakan demonstrasi menyebar dari Tunisia, Libya dihadapi oleh kecamuk perang sipil, dan ricuh kekerasan antara pemerintah dan massa. Ketidakstabilan politik setelah Gaddafi jatuh terjadi karena selama Gaddafi berkuasa, tiadanya organ-organ dan tradisi politik demokratis di Libya membuat kekuatan-kekuatan itu tidak memiliki saluran yang menyatukan mereka untuk membangun konsensus, akibatnya Libya berada dalam kondisi kekacauan dan tak kunjung berhasil melakukan demokratisasi (Burdah, 2022). Kekacauan ini mengundang kehadiran kekuatan eksternal, PBB dan NATO dalam membantu merealisasikan stabilitas dan demokratisasi di negara tersebut. Selain itu, Inggris dan Prancis pun berusaha membangun pangkalan militer di Libya timur, dua kota incaran negara barat karena kaya akan sumber daya minyak, yaitu Benghazi dan Tubruk (Tamburaka, 2011). Namun, upaya dari intervensi eksternal dan dialog kompromi yang dilakukan hingga saat ini tetap belum mencapai titik signifikan pada transisi ke sistem demokrasi (Hammadi, 2022). Hal yang sama juga dialami oleh Syria, negara tempat berkembangnya ISIS ini terjerembab dalam perang sipil sejak berusaha menjatuhkan rezim Bashar al-Assad. Intensitas konflik semakin meningkat sejak ricuh antara the Syrian Arab Army (SAA); National Defence Force (NDF) yang berasal dari kelompok pemerintah dan the Syrian National Conflict (SNC) yang merupakan kelompok oposisi. Sama seperti di Libya, konflik Syria tidak hanya melibatkan aktor dalam negeri saja, melainkan juga Rusia dan Turki ikut terlibat di dalamnya.
Walaupun banyak negara mengalami kegagalan setelah Arab Spring, lain ceritanya dengan Tunisia, hanya Tunisia yang dapat mempertahankan demokrasinya. Tunisia memiliki kualitas civil society yang lebih kuat (Taub, 2016). Iklim demokrasi yang tumbuh di Tunisia melahirkan kekuatan baru bagi organisasi masyarakat sipil. Pada tahun 2013, saat kondisi situasi politik di parlemen mengalami deadlock, organisasi masyarakat sipil sangat berperan dalam proses dialog itu. Ketika itu, National Dialogue Quartet yang merupakan gabungan dari empat organisasi sipil, melakukan upaya konsolidasi dan komunikasi yang menyelamatkan negara tersebut dari situasi politik yang lebih mencekam. Namun, hal ini tidak terjadi di negeri pasca Arab Spring. Tampaknya, perbedaan ini menjadi faktor kuat yang menjelaskan mengapa Tunisia relatif stabil demokrasinya dibanding negeri lain (Taub, 2016).
Dengan tingginya intensitas demonstrasi tentu mengakibatkan lumpuhnya perekonomian di negara yang terdampak dan berhentinya kegiatan sosial masyarakat. Di Tunisia, sehabis tumbangnya rezim Ben Ali, segera dilakukan rangkaian proses demokratik yang membawa Tunisia pada pemerintahan sementara di bawah Moncef Marzouki. Pemerintahan Moncef menggendong segenap harapan masyarakat Tunisia akan perbaikan pasca-pemerintahan otoriter Ben Ali. Perlu diketahui juga, industrial policy yang diimplementasikan ke dalam “Tunisia’s National Upgrading Programme” pada masa Ben Ali tak ayal memberikan ruang pertumbuhan akumulasi keuntungan bagi lingkungan kroni bisnis Ben Ali atau dengan kata lain menjadi ladang perburuan rente (El-Haddad, 2020). Isi kebijakan tersebut salah satunya berisi penerapan hambatan masuk ke sejumlah sektor pasar yang mana ini mengindikasikan lingkungan kompetisi tidak sehat dan inefisiensi sehingga pertumbuhan tinggi ekonomi yang dihasilkan justru tidak menyebar secara luas. Kedua kenyataan itu adalah salah dua akar dari ketidakpuasan pada rezim Ben Ali. Dengan begitu, di sinilah peran pemerintah Tunisia pasca-revolusi diharapkan dapat mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan memperbesar kue pertumbuhan yang dapat dinikmati seluruh masyarakat. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah ialah mulai mengadopsi kebijakan yang mentransformasi sektor manufaktur dengan teknologi canggih supaya dapat menyerap banyak tenaga kerja, serta pemerataan pembangunan infrastruktur dan program pemerintah lainnya yang bertujuan mengurangi gap kesenjangan antardaerah (Matta et al., 2016). Hal ini membantu pemulihan ekonomi Tunisa, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Selain setumpuk permasalahan ekonomi, kondisi mendasar yang menjadi percikan api penyebab munculnya gerakan revolusi merupakan persoalan demokrasi. Dan ini tidak hanya menjadi isu yang terjadi di Tunisia saja, melainkan pada tiap negara-negara yang terkena gelombang revolusi ini memang tidak dijalankan dalam kerangka sistem demokrasi. Dalam kasus di Tunisia, beberapa ahli menyatakan Tunisia berhasil melakukan segenap perubahan signifikan pasca Revolusi Jasmine 2011. Hal itu dibuktikan dengan transisi pemerintahan yang damai di mana pada Oktober 2011 dilakukan pemilu legislatif yang mana hasilnya sebesar 89 dari 217 kursi diduduki oleh Partai An-Nahdhah. Pada tahun 2014 berhasil dilaksanakan pemilu presiden, dan hasilnya memenangkan Beji Caid Essebsi ke dalam tampuk jabatan kepresidenan. Selain itu, diikuti pula dengan reformasi konstitusi yang mana salah satunya pada tahun 2014 parlemen membuat undang-undang baru pada tahun 2014 yang berisi aturan terkait dan pembentukan Instance de la Bonne Gouvernance et de la Lutte Contre la Corruption (IBGLCC) atau semacam komisi nasional anti-korupsi, hal ini menunjukkan komitmen pemerintahan Tunisia dalam memberantas korupsi.
Pasca jatuhnya sejumlah pemimpin rezim otoriter di kawasan Arab, negara-negara tersebut harus segera menjalankan pemerintahan baru yang dapat membalikkan keadaan dari kondisi ketidakpastian, melaksanakan pemilu, membentuk konstitusi, membuka ruang kebebasan politik, serta menciptakan program serta kebijakan yang akan menjadi pondasi dalam membangun kembali suatu negara. Kondisi sosial politik negara-negara yang terdampak Arab Spring pada saat ini tentu tergantung dari banyak faktor, kekuasaan militer pada arena politik, terbentuknya iklim yang kondusif bagi kebebasan masyarakat, membuka keterlibatan rakyat, kemapanan ekonomi, maupun intervensi dari luar negeri. Di antara negara lainnya, Tunisia memiliki bekal dalam proses demokratisasi dan ada political will dari elite-elite politik yang pelan-pelan mulai memperbaiki kondisi perekonomian negara. Kepatuhan tiap-tiap aktor pada norma demokrasi juga menjadi kunci sistem demokrasi itu bisa bertahan, yang mana ini bisa dilihat dari contoh kasus di Tunisia. Alih-alih mengikuti keinginan sendiri, Partai An-Nahdhah dengan segera mundur dari tampuk kekuasaan setelah dialog menyepakati hasil demikian. Hal ini kontras dengan situasi yang terjadi di Syria, perebutan kekuasaan antara kekuatan politik (Islam, sekular, dan nasionalis) dan kekuatan asing justru membawa negara tersebut pada konflik yang tak kunjung usai. Dengan demikian, mengubah negara yang selama berpuluh-puluh tahun mengadopsi otoritarianisme ke demokrasi merupakan proses panjang dan sungguh rumit.
Referensi
Al Jazeera. (2020, 17 December). What is the Arab Spring, and how did it start?. Retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2020/12/17/what-is-the-arab-spring-and-how-did-it-start
Al Jazeera. (2022, 18 February). Explainer: What is fuelling Libya’s instability?. Retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2022/2/18/explainer-what-is-fueling-libyas-instability
Arbar, T., F. (2020, 19 February). Mengenal Perang Suriah, Mengapa Turki dan Rusia Terlibat?. CNBC Indonesia. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com/news/20200219123212-4-138976/mengenal-perang-suriah-mengapa-turki-dan-rusia-terlibat/1
Arbi, C., & Maurizio, G. (2021, 22 January). After Sparking the Arab Spring, Is Tunisia Still a Success Story?. Retrieved from https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/after-sparking-arab-spring-tunisia-still-success-story
BBC. (2013, 25 December). Profile: Egypt’s Muslim Brotherhoodh. Retrieved from https://www.bbc.com/news/world-middle-east-12313405
Burdah, I. (2022, 28 January). Kembalinya “Qaddafi” dan Masa Depan Libya. Detik. Retrieved from https://news.detik.com/kolom/d-5918500/kembalinya-qaddafi-dan-masa-depan-libya
El-Haddad, A. (2020). Redefining the social contract in the wake of the Arab Spring: The experiences of Egypt, Morocco and Tunisia. World Development, 127, 104774. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2019.104774
France 24. (2021, 12 February). Ten years on, Bahrain paralysed by legacy of Arab Spring. Retrieved from https://www.france24.com/en/live-news/20210212-ten-years-on-bahrain-paralysed-by-legacy-of-arab-spring
Hammadi, O. (2022, 18 February). What Went Wrong With Libya’s Failed Elections. Foreign Policy. Retrieved from https://foreignpolicy.com/2022/02/18/libya-elections-2021-postponed/
Matta, S., Appleton, S., & Bleaney, M. (2020). The Impact of the Arab Spring on the Tunisian Economy. Centre for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham. Retrieved from https://www.nottingham.ac.uk/credit/documents/papers/2015/15-09.pdf
Osborne, S. (2021, 29 July). Arab Spring: What is legacy of protests and uprisings as Tunisia’s president ousts PM in ‘coup’. Retrieved from https://news.sky.com/story/arab-spring-what-is-legacy-of-protests-and-uprisings-as-tunisias-president-ousts-pm-in-coup-12364619
Robinson, K., & Merrow, W. (2020, 3 December). The Arab Spring at Ten Years: What’s the Legacy of the Uprisings?. Council Foreign Relation. Retrieved from https://www.cfr.org/article/arab-spring-ten-years-whats-legacy-uprisings#chapter-title-0-1
Tamburaka, A. (2011). Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasaa Otoriter di Timur Tengah. Yogyakarta: Narasi
Taub, A. (2016, 27 January). The unsexy truth about why the Arab Spring failed. Vox. Retrieved from https://www.vox.com/2016/1/27/10845114/arab-spring-failure
Wahyudhi et al. (2020). Many Faces of Political Islam in the Middle East: Arah Baru Gerakan Politik Islam Pasca-Arab Spring. Jakarta: LIPI Press