Asia Pasifik merupakan tempat bertemunya kekuatan besar dunia (Amerika Serikat, Jepang, Rusia hingga new emerging superpower, China). Keberadaan kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik ini terkonfigurasi dalam pola bilateral maupun multilateral yang berdampak terhadap arsitektur keamanan yang dinamis. Di awal abad ke-21, terjadi perubahan arsitektur keamanan di kawasan ini yang dipengaruhi aktivitas peningkatan kapabilitas ekonomi dan militer China.
Situasi tersebut secara tidak langsung memunculkan potensi ancaman terhadap pengaruh AS yang saat itu tengah menghadapi pemangkasan anggaran pertahanan. Dari kondisi tersebut perkembangan kekuatan maritim China menarik perhatian AS untuk mempertahankan pengaruhnya di Asia Pasifik. Langkah AS memprioritaskan Pasifik dimulai di masa kepemimpinan Barack Obama pada tahun 2009. AS mulai mengubah fokus kebijakannya secara resmi melalui kebijakan rebalancing yang difokuskan ke Kawasan Asia-Pasifik yang dikenal dengan nama “Pivot to Pacific‟ atau “Asian Pivot” yang diperkenalkan pada November 2011.
Secara tidak langsung, pengalihan fokus ini menjadikan Kawasan Timur Tengah ditinggalkan oleh AS dan beralih ke Asia Pasifik yang berarti AS akan berkomitmen untuk memprioritaskan Asia dalam politik luar negerinya. Pergeseran fokus politik luar negeri Obama ini menekankan bagaimana pentingnya Asia Pasifik untuk mencapai prioritas tertingginya – menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyat Amerika.
Istilah rebalancing ini juga mengacu kepada upaya AS untuk mengoreksi dugaan pengabaian kawasan Asia-Pasifik oleh pemerintahan George W. Bush. Sebelum Presiden Obama menjabat, banyak pemimpin Asia Tenggara di wilayah ini merasa mereka telah diabaikan oleh Amerika Serikat. Adanya kebijakan War on Terror dan komitmen militer AS di Irak dan Afghanistan telah menghasilkan jejak global yang tidak seimbang. Ungkapan rebalancing ke Asia dimaksudkan untuk menyeimbangkan kembali perhatian AS terhadap kawasan ini. Istilah ini juga dipilih untuk mencegah adanya anggapan bahwa Amerika Serikat meninggalkan perhatiannya di kawasan lain dan beralih ke Asia-Pasifik.
Rebalancing to Asia juga mencerminkan kebutuhan prioritas global AS paska penarikan pasukannya dari Irak dan Afghanistan yang membebaskan sumber daya AS ke Timur Tengah selama sepuluh tahun terakhir. Pengurangan dalam pengeluaran dan anggaran militer federal AS juga menyerukan pernyataan yang jelas tentang prioritas strategis AS untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Untuk militer AS, hal ini datang dalam bentuk panduan pertahanan strategis Januari 2012 yang ditandatangani oleh Presiden Barack Obama, yang menyatakan, “Kita akan menyeimbangkan kebutuhan menuju wilayah Asia-Pasifik. Hal tersebut diawali dengan penarikan pasukan AS dari Irak. Penarikan pasukan dari Kawasan Timur Tengah memperkuat indikasi perubahan strategi dalam kebijakan militer AS ke Kawasan Asia-Pasifik.
Penarikan pasukan tersebut mengikuti penetapan proporsi pasukan 60:40. Artinya, sebanyak 60% pasukan AS yang dulunya berada di Timur Tengah ditempatkan di bawah komando the United States Pacific Command (USPACOM), sedangkan 40% lainnya disebar ke komando kawasan yang lain (The White House – Office of the Press Secretary, 2011: 2). Perubahan fokus dilakukan dengan pendekatan kepada negara aliansinya, melalui kunjungan kenegaraan maupun dialog kerja sama di berbagai bidang terutama keamanan antar pemerintah. Kawasan Asia-Pasifik menjadi fokus dari perubahan kebijakan luar negeri AS karena dianggap mengalami perkembangan yang signifikan, terutama dalam bidang ekonomi dan militer. Perkembangan tersebut memunculkan kemungkinan akan dampak politik dan keamanan, baik kemungkinan konflik ataupun kerja sama antarnegara di kawasan, mengingat banyaknya peluang dan tantangan di era globalisasi.
Dominasi Kekuatan Militer AS di Kawasan Asia-Pasifik.
AS menempatkan kawasan Asia Pasifik sebagai wilayah yang strategis sejak berakhirnya perang dunia II. Nilai srategis kawasan Asia Pasifik bagi AS terkait dengan kontribusi ekonomi yang diperoleh, bahkan melebihi kontribusi yang berasal dari Eropa. Selama beberapa decade terakhir keberadaan dari AS di kawasan Asia Pasifik didasarkan kepada 2 premis yakni keamanan wilayah Asia terkait dengan perang dingin dan kekuatan ekonomi dari AS. Selama masa Perang Dingin, bahkan hingga saat ini banyak negara yang berada di kawasan Asia Pasifik masih memiliki dependensi terhadap jaminan keamanan serta keberadaan dari armada angkatan laut AS di Pasifik. Ketergantungan dari negara-negara yang berada dikawasan Asia-Pasifik dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan diri dari serangan pihak lain dengan mengandalkan kekuatan AS yang berperan sebagai pelindungnya. Saat ini AS menjadi kekuatan dominan dan membentuk sebuah sistem unipolar di Asia Pasifik, ini tidak merupakan sebuah kondisi yang tidak direncanakan namun merupakan konsekuensi logis dari superioritas ekonomi dan militer yang dimiliki AS. Dalam rangka mendukung dan memperkuat kehadiran AS di Asia Pasifik, AS membentuk United States Pacific Command (USPACOM) yang berpusat di Hawaii sebagai komando militer yang bertanggungjawab atas stabilitas keamanan dan pertahanan AS serta sekutunya di kawasan Pasifik. USPACOM membawahi beberapa Pangkalan Militer AS yang berada dikawasan Asia- Pasifik seperti di Jepang, Korea Selatan dan Guam. Pangkalan militer AS yang berada dikawasan ini berada dalam skala relatif kecil namun memiliki tanggungjawab terhadap target bernilai tinggi yang dilengkapi dengan kekuatan darat, laut dan udara dengan peluru kendali jarak jauh
Selama masa perang dingin, kekuatan maritim AS di wilayah Asia Pasifik mendapatkan tantangan terkait dengan perebutan pengaruh dengan Uni Soviet. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa AS memiliki posisi yang lebih menguntungkan dengan adanya ikatan yang kuat dengan negara-negara di dalam kawasan ini. Oleh karena itu Uni Soviet tidak mampu untuk menahan laju pengaruh kekuatan angkatan laut AS di pasifik, yang tentu saja memunculkan hegemoni AS terhadap kawasan maritim di pasifik. Seiring dengan runtuhnya Uni Soviet, AS menanggap bahwa pasifik sudah menjadi kawasan dengan status quo atas hegemoni kekuatan angkatan laut AS. Dengan demikian AS telah mengasumsikan bahwa kawasan Asia Pasifik telah berada dalam pengawasan dan kontrol dari kekuatan armada lautnya. Kondisi ini membuat AS mengubah haluan fokus pertahanan dan keamanan ke wilayah Atlantik maupun Samudera Hindia seiring dengan perkembangan kepentingan AS di kedua wilayah tersebut.
Pangkalan AS di Diego Garcia
Diego Garcia menjadi letak pangkalan yang sangat strategis yang dimiliki AS. Sebuah Karang Atol dan pulau terbesar di kepulauan Chagos yang termasuk teritorial Inggris, mendukung integrasi US PACOM dan US CENTCOM. Diego Garcia berfungsi sebagai pangkalan militer untuk angkatan udara dan laut AS. Diego Garcia dapat menampung kapal perang berukuran besar dan menjadi pangkalan pendukug kapal selam, komunikasi, dan logistik bagi berbagai operasi regional AS. Jumlah kekuatan militer yang ditugaskan di pangkalan ini sebanyak 241 personil (Kemhan, 2012:37). Berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan Inggris pada 30 desember 1966, AS diizinkan untuk menggunakan British Overseas Territory tersebut untuk kepentingan pertahanana selama 50 tahun (berakhir tahun 2016), dengan opsi perpanjangan waktu penggunaan selama 20 tahun (hingga 2036). Selama berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah, seperti Perang Teluk, invasi Irak ke Kuwait, perang Afghanistan dan Irak, Diego Garcia berperang sebagai pendukung operasi pengeboman dan operasi pendukung bagi militer AS. Saat ini Navy Support Facility (NSF) di Diego Garcia berfungsi untuk memberikan dukungan logistik bagi pasukan yang digelar di wilayah Samudera Hindia dan Teluk Persia, yang menjadi struktur penghubung vital bagi pertahanan AS. Dari Diego Garcia, AS dapat memproyeksikan kekuatannya ke Timur Tengah, Afrika Timur, India, Australia, dan Indonesia. Setalah AS memutuskan untuk kembali ke Asia-Pasifik, tugas tentara Amerika Serikat lebih diperluas lagi, begitu pula dengan objek penjagaan keamanan para mitra dan negara- negara yang bukan sekutu-nya, tetapi punya kepentingan strategis bersama dengan Amerika Serikat. Pada forum internasional tahunan keamanan di Asia-Pasifik, AS menegaskan untuk membangun suasana saling percaya dalam hubungan antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain di kawasan, membantu negara-negara tersebut memecahkan masalah-masalah mereka dan menjamin stabilitas dan keamanan di wilayah negara-negara itu.
Pangkalan dan Strategi di Darwin
Tahun 2011, Australia dan Amerika Serikat mengadakan pertemuan Australia-United States Ministerial Consultations (AUSMIN) di San Fransisco, dalam pertemuan ini Australia dan Amerika Serikat membahas tentang peningkatan kerjasama pertahanan. Peningkatan kerjasama pertahanan antara Australia dan Amerika Serikat yang bertujuan untuk merespon dinamika lingkungan strategis di kawasan Asia Pasifik. Kesepakatan ini selain untuk meningkatkan akses militer Amerika Serikat terhadap fasilitas militer Australia juga menjadikan Australia sebagai salah satu pusat logistic militernya. Darwin, kota terbesar di utara Australia, adalah lokasi vital bagi Australia dalam mempertahankan kedaulatannya. Australia mengembangkan pelabuhan Darwin, pos militer dan lapangan udara sengaja dibangun di pesisir dan senjata anti- pesawat ditempatkan disana. Darwin dipandang sebagai pelabuhan utama bagi Sekutu dan pasukannya terkait pula dengan Hindia Belanda (sekarang Indonesia dan Timor Timur). Disebut vital karena dalam sejarahnya, Darwin menjadi basis bagi pertahanan Australia dari ancaman Jepang ketika itu. Dalam perkembangannya kebijakan politik luar negeri Australia terhadap Asia dibawah pemerintah Liberal-Nasional Country pada saat itu (1950-1972), lebih menonjolkan keikutsertaan Australia di dalam aliansi militer Barat di bawah Amerika Serikat, seperti dalam Pakta ANZUS (Australia, New Zealand and United States) yang dibentuk tahun 1951
Perkembangan Kekuatan Maritim China Sebagai Upaya Balance of Power di Pasifik
Balance of Power (BoP) merujuk kepada sebuah kondisi dimana adanya distribusi dari kekuatan diantara negara dalam sebuah sistem baik dalam ruang lingkup internasional maupun regional. BoP secara ideal akan menjamin bahwa power tersebut terdistribusi sedemikian rupa sehingga tidak ada satu negara atau entitas yang mampu melakukan dominasi terhadap negara atau entitas lain. Kondisi BoP merujuk kepada dua pola yakni pola persaingan secara langsung maupun pola kompetisi. Pola persaingan secara langsung terkait dengan keinginan dari masing-masing negara untuk mendepankan kebijakannya dari kebijakan negara lain. Sementara pola kompetisi terkait dengan upaya untuk mendapatkan dukungan dari negara ketiga dalam rangka memaksimalkan kebijakan dari masing-masing negara. Terkait dengan persaingan kekuatan maritim antara China dan AS di Asia Pasifik, hal tersebut merujuk kepada pola persaingan secara langsung. Hal ini terkait dengan keberadaan dari kebijakan masing-masing negara ditujukan terhadap satu sama lain.
China melihat bahwa dalam konteks kekuatan maritim, AS telah mendominasi wilayah pasifik dalam beberapa dasawarsa terkahir. Bagi China, dominasi kekuatan maritim AS di pasifik membatasi keleluasaan dalam ruang gerak dalam rangka meningkatkan kembali eksistensi negaranya dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Kekhawatiran China akan dominasi AS berkaca kepada kesuksesan persenjataan canggih AS dalam perang teluk tahun 1991 dan kegagalan China melakukan deterrence kepada AS saat terjadinya krisis di Selat Taiwan pada periode 1995-1996. Dimana pada saat tersebut AS menerapkan strategi gunboat diplomacy dengan menempatkan gugus tempur Armada ke – 7 untuk mengamankan Taiwan dari ancaman China. Kondisi tersebut mengharuskan China membangun sebuah kekuatan yang mampu untuk melakukan deterrence terhadap kekuatan angkatan laut AS khususnya armada pasifik. Respon terhadap kondisi tersebut membuat China di bawah kepemimpinan Presiden Hu Jin Tao mengeluarkan kebijakan dalam rangka merevisi misi dari People Liberation Army (PLA) dalam rangka meningkatkan kepentingan strategis China dalam ruang lingkup global dan mengawal kekuasaan partai (partai komunis China), menjamin keamanan perkembangan ekonomi nasional, dan kedaulatan teritorial. Dalam rangka mewujudkan misi tersebut, maka China memerlukan kekuatan maritim yang akan diperoleh melalui modernisasi PLA Navy, khususnya untuk membuka pembatas ruang gerak yakni kekuatan maritim AS yang berada di Pasifik. Peningkatan kapabilitas militer China tidak dapat dilepaskan dari peningkatan cepat Gross National Product (GNP) yang membuat China dengan mudah mengembangkan kekuatan militer dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan produktivitas, pendapatan perkapita dan penguasaan teknologi yang berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi membuat kemampuan China dalam mendapatkan persenjataan canggih yang dibeli dari negara lain maupun dikembangkan secara mandiri. Pembangunan kekuatan angkatan bersenjata China berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi negara tersebut, hal ini terlihat dari indikator kenaikan anggaran militernya, dimana dalam paparan Departemen Pertahanan China tahun 2012 terlihat adanya peningkatan anggaran mencapai 670,27 miliar yuan (sekitar Rp. 965 triliun) yang berarti meningkat sebesar 11,2% atau 67 miliar yuan (sekitar Rp. 96,5 triliun) dari anggaran tahun lalu. Anggaran Departemen Pertahanan China merupakan yang terbesar kedua di dunia dengan jumlah hanya terpaut 4,8% dari anggaran militer AS (Lisbet, 2012 : 5). Peningkatan anggaran pertahanan tersebut ditujukan untuk melakukan modernisasi persenjataan yang dianggap telah jauh tertinggal dari negara lain. Disamping itu China berupaya untuk mengubah orientasi pertahanan dan militernya dari Darat ke penguatan Angkatan Udara dan Laut. Sorotan terhadap pengembangan kekuatan Angkatan Laut China (People Liberation Army Navy/ PLAN) dan Angkatan Udara China (People Liberation Army Air Force/ PLAAF) semakin menguat seiring dengan pencapaian teknologi yang diadaptasi dalam persenjataan yang digunakannya. PLAN sendiri bagi China memiliki arti penting sebagai kekuatan maritim strategis kawasan yang berperan untuk melindungi kepentingan ekonomi China terutama di wilayah pesisir, kepentingan China dalam bidang maritim serta mengoptimalkan operasi pertahanan laut dalam kerangka pertahanan nasional. Pengembangan teknologi persenjataan dari PLAN dan PLAAF tidak dapat dilepaskan dari tuntutan perubahan doktrin pertahanan China yang akan menitikberatkan pertahanan mereka di wilayah udara dan laut.
Disamping itu yang membuat China semakin disegani adalah Kemampuan dari China untuk mengadaptasi dan kemudian memproduksi sendiri kapal maupun berbagai perlengkapan pendukung serta persenjataan menjadi modal bagi negara ini untuk secara leluasa mengembangkan postur PLAN baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kondisi membuat PLAN dan PLAAF menjadi matra yang paling menonjol dalam mengembangkan kapabilitas tempur. Secara kualitas terhitung sejak 1990 China telah mengoperasikan tidak kurang dari 10 kapal destroyer dan frigat yang dilengkapi dengan teknologi radar dan rudal terbaru dengan kemampuan anti-air warfare dan surface combat Kemampuan Penelitian dan Pengembangan secara mandiri tersebut tentu saja akan mendukung pelaksanaan serta evolusi dari doktrin pertahanan laut yang dimiliki. Hal ini terlihat saat ini dimana, modernisasi yang dilakukan terhadap PLAN menitikberatkan kepada akuisisi program persenjataan, yang didalamnya termasuk program untuk mengembangkan rudal balitik anti- kapal Anti-ship Balistic Missile (ASBMs), rudal jelajah anti-kapal Anti ship cruiser missile (ASCMs) rudal jelajah untuk target didarat Land-attack Cruise Missiles (LACMs), rudal permukaan ke udara (surface to air missile), ranjau, pesawat berawak, pesawat tanpa awak, kapal selam, kapal induk, kapal perusak, kapal fregat, kapal patrol, kapal pendarat ambhibi, kapal penyapu ranjau, kapal medis dan kapal pendukung (O‘Rouke, 2013 : 3). Dalam mendukung perluasan kapabilitas negaranya dalam bidang regional maritime surveillance Badan Penelitian dan Pengembangan China juga tengah membangun sejumlah kapal selam baru dan mengadakan modernisasi persenjataan. Adapun modernisasi persenjataan yang dimaksud terutama pada Conventional Ballistic and Land Attack Cruise Missiles yang merupakan inti dari kekuatan udara koersif China seperti Short Range Ballistic Missile Infrastructure, Medium Range Ballistic Missiles, Ground Launched Cruise Missiles, Anti-ship Ballistic Missiles (ASBM) and Beyond
Pembangunan dan penyebaran ASBM merupakan salah satu contoh dari semakin meningkatnya kemampuan militer China di bidang persenjataan. Program tersebut telah menunjukan perkembangan yang sangat signifikan dimana saat ini PLAN telah secara resmi mengoperasikan kapal induk (Aircraf Carrier). China berhasil membangun kembali Kapal Induk kelas Varyag ex-Uni Soviet yang kemudian diberinama Liaoning, meskipun keberadaan dari kapal Induk dalam era modern bukan sesuatu yang baru, namun bagi China hal ini merupakan pencapaian terutama bagi PLA Navy. Hal ini merupakan sebuah simbolisasi bahwa PLAN telah naik ke ranking tertinggi dalam jajaran Angkatan Laut dunia. Keberhasilan dari upaya untuk melakukan retrofit terhadap Kapal Induk Liaoning diikuti oleh ambisi China dalam membangun Kapal Induk kedua. Ambisi ini tentu saja menunjukan bahwa kekuatan maritim China tengah ditujukan untuk meningkatkan projection force melalui strategi “far seas”nya. Hal ini didukung dengan berbagai kapal perang, serta keberhasilan dari PLAN untuk mengoperasikan pesawat tempur J-15 dari kapal Induk Lioning. Melihat realitas tersebut maka strategi “far seas” yang kemudian dianut oleh PLAN akan semakin mudah untuk dijalankan mengingat kemampuan daya jangkau dari gugus tempurnya dapat mencakup wilayah yang cukup jauh. Kekuatan maritim China didukung pula oleh kepemilikan kapal selam nuklir, dimana China telah memiliki kapal selam kelas Jin dan Kelas Shang yang masuk dalam jajaran PLAN sejak tahun 2000an. Keberadaan dari kapal selam nuklir yang ditempatkan pada armada Selatan merupakan sebuah sinyal akan upaya dari China untuk melakukan dominasi terhadap wilayah maritime pada kawasan tersebut yang terkait dengan permasalahan konflik wilayah di Laut China Selatan. Disamping itu China telah meningkatkan kemampuan untuk melakukan serangan amphibi yang didukung oleh dua kapal Landing Platform Dock (LPDs) kelas Yuzhao, yang mampu melaksanakan misi penyerangan dari kapal ke daratan dengan mudah. Kekuatan maritim China, didukung pula oleh PLAAF yang mampu memberikan dukungan terhadap operasi maritim yang dijalankan oleh PLAN. PLAAF telah mendatangkan Sukhoi SU-30MK2 sebagai tulang punggung armada tempurnya yang didukung pula oleh pesawat tempur buatan lokal JH-7A dan pesawat yang memiliki kemampuan early warning system yang bertugas untuk melakukan pengawasan serta pengintaian di wilayah maritim. Untuk meningkatkan daya jelajah armada tempur dalam rangka mendukung operasi maritim (Chang, 2009 : 23), PLAAF juga telah melakukan modifikasi terhadap pesawat pembom menjadi pesawat tanker yang berfungsi sebagai pengisian bahan bakar pesawat tempur maupun pesawat pengintai di udara. Kemampuan tersebut menjadi penting mengingat kemampuan dari PLAAF harus mampu mengimbangi strategi “far seas” yang dijalankan oleh PLAN. Dengan kekuatan yang dimiliki PLAAF akan mampu meningkatkan kemampuanair superiority maupun direct strike mission. Dengan demikian maka sinergi antara PLAN dan PLAAF akan menjadi kombinasi yang sangat kuat dalam rangka mengamankan seluruh kepentingan nasional China khususnya kepentingan maritim negara tersebut dari ganggungan pihak manapun.
Rivalitas Amerika Serikat dengan China di Asia Pasifik
China dalam beberapa tahun terakhir telah banyak melakukan investasi dalam memodernisasi militernya dimana diduga kuat oleh banyak prediksi akan memicu perlombaan senjata, pengembangan senjata nuklir, modernisasi kekuatan militer (termasuk dengan teknologi informasi). Belum lagi dimilikinya kekuatan nuklir membuat kekuatan militer China lebih besar dari pada waktu-waktu sebelumnya. Kekuatan militer sebagai akibat perlombaan senjata ini yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi China yang dapat menyebabkan berbagai manuver geopolitik yang mengarah kepada sistem keamanan Asia Pasifik yang rawan terhadap rivalitas.
Hal ini dapat dilihat pada kebijakan China yang semakin asertif, khususnya dalam hal klaim-klaim teritorial dan sikapnya yang agresif terhadap negara-negara yang memiliki sengketa wilayah dengannya. Sikap keras China terhadap beberapa negara di ASEAN, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam dalam sengketa di Laut Cina Selatan serta terhadap Jepang dalam sengketa atas Kepulauan Senkaku membuat negara- negara di kawasan ini melihatnya sebagai indikasi dari meningkatnya ancaman China. Bahkan AS dan sekutunya mulai waspada terhadap indikasi yang mengancam ini. Ancaman lainnya adalah respon China pasca dua hari setelah AS menandatangani perjanjian dengan Australia mengenai penempatan Darwin sebagai pagkalan militer AS, dimana China mengumumkan segera melakukan latihan militer di kawasan Pasifik Barat. Bahkan China akan meluncurkan patroli bersama dengan tiga negara di Sungai Mekong, yaitu Laos, Myanmar, dan Thailand untuk mengembalikan perlayaran dan jaminan keamanan di sungai itu. Keempat negara ini akan mengeksplorasi lebih banyak cara untuk meningkatkan keamanan di perairan itu, dan China akan membantu melatih dan mempersenjatai polisi di Laos dan Myanmar untuk melakukan patroli. Kebijakan pemerintah RRC untuk meningkatkan power nya di sektor militer membuatnya harus meningkatkan anggaran belanja militernya yang pada tahun 2010 adalah 7,5% dan kini di tahun 2011 menjadi 12,7%.
Kebijakan ini pun membuat negara-negara tetangganya merasa terancam, terlebih lagi AS yang selama ini merasa disaingi oleh RRC. Meningkatnya Military Capability yang dimiliki oleh RRC, tidak lain karena anggarannya dikeluarkan guna: research development, memodernisasi teknologi dan industri militer, eksport-import senjata tiap tahun selalu dalam keadaan surplus, kepemilikan senjata nuklir, serta kepemilikan pangkalan militer di luar negeri. Dalam politik luar negerinya, RRC untuk meningkatkan pengaruhnya di wilayah Asia Pasifik bukan saja memberi bantuan-bantuan ekonomi tetapi juga di segi militer dia melakukan kerjasama dengan negara- negara di Asia Pasifik dalam bidang militer. Kerjasama itu dapat dilihat dari latihan militer, serta kerjasama dalam pembelian senjata. Aktifitas militernya pun dapat dilihat dimana RRC membangun pangkalan militer di Asia Pasifik, yaitu di daerah Asia Tenggara khususnya di Myanmar. Melihat kebijakan politik luar negeri yang dilakukan RRC, direspon dengan cepat oleh AS dengan meningkatkan strategi militernya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya di Asia Pasifik. Berdasarkan doktrin pertahanan AS adalah pertahanan global, mencegah dan memusnahkan musuh sejak jauh sebelum menyentuh tanah airnya. Itulah yang membuat AS menjalin aliansi dengan banyak negara dan membangun pangkalan militer dimana-mana, termasuk di Australia Utara dimana AS akan menaruh korps marinirnya di Fort Robertson, Darwin. AS akan mulai menempatkan 250 orang marinirnya di Darwin dan jumlahnya akan terus ditingkatkan hingga 2.500 orang. AS tidak akan membangun pangkalan- pangkalan baru di benua itu, tetapi akan menggunakan fasilitas pasukan Australia. Perjanjian jangka panjang penempatan kekuatan militer AS di Darwin dengan Australia ini merupakan gelar kekuatan di kawasan pasifik yang pertama kalinya sejak berakhirnya perang Vietnam. Motif keberadaan marinir AS di Fort Robertson, adalah untuk mewujudkan peningkatan kerjasama militer di antara Australia dan AS. Marinir itu dimaksudkan menjadi gugus tugas reaksi cepat operasi non militer jika terjadi bencana alam di Australia dan kawasan sekitarnya.
Editor: CF