Ditulis oleh: Naomi Niken Agustina Butar-Butar dan Shan Adam Ghoffar
Yoon Seok-yeol, mantan jaksa konservatif dan pendatang baru di bidang politik, berhasil menjadi presiden Korea Selatan yang baru. Yoon mengalahkan saingan liberalnya, mantan gubernur provinsi Lee Jae-myung, dalam pemilihan yang diperebutkan dengan sengit. Dengan lebih dari 98 persen surat suara dihitung pada pemilihan hari Rabu, 9 Maret 2022, Yoon menang dengan selisih 0,8 dengan 48,6 persen suara. Sedangkan, Lee Jae-myung dari Partai Demokrat mengikuti di belakang dengan 47,8 persen, sekaligus menandai pemilihan presiden tersengit dalam sejarah Korea Selatan. Yoon memimpin dengan total suara 16,394,815. Keberhasilan ini pun menjadi suatu pertanda bahwa Yoon akan segera menduduki kursi kepemimpinan negara dengan tingkat perekonomian terbesar ke-10 di dunia, dan terbesar keempat di Asia. Dia resmi menjadi presiden pada bulan Mei 2022, menggantikan Moon Jae-in, yang dibatasi untuk masa jabatan lima tahun.
Jika berbicara tentang kebijakan luar negeri, mungkin topik ini jarang sekali untuk dibahas ketika membincangkan tentang pemilu Korea Selatan. Hal tersebut dikarenakan topik ini belum terlalu diprioritaskan oleh masyarakat Korea ketimbang beberapa permasalahan lain seperti tempat tinggal dan kesetaraan gender. Namun, dalam beberapa kampanyenya, Yoon sendiri telah memaparkan beberapa rencana kebijakan luar negerinya, diantaranya Yoon telah menjanjikan sikap yang lebih keras terhadap Korea Utara, yang baru-baru ini meningkatkan uji coba rudal provokatif, dan Tiongkok, yang merupakan mitra dagang terbesar Korea Selatan. Beliau juga berjanji untuk meningkatkan hubungan dengan Jepang serta memprioritaskan aliansi dengan Amerika Serikat.
Beberapa analis pun telah berkomentar terhadap rancangan arah kebijakan luar negeri Korea Selatan dibawah Yoon. Salah satunya adalah Evans Revere, mantan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang optimis mengatakan bahwa di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Yoon, Amerika Serikat dan Korea Selatan cenderung lebih sering menemukan diri mereka di halaman yang sama daripada di masa lalu, termasuk untuk urusan bernegosiasi di Korea Utara.
Terdapat pula kritikan kepada Yoon yang diutarakan oleh Nathan Park, seorang pengacara yang berbasis di Washington dan rekan non residen dari Institut Sejong yang mengkritik bagaimana “Yoon tidak memiliki pengalaman dalam kebijakan luar negeri dan hanya beberapa bulan pengalaman dalam politik. Meskipun ia akan memiliki staf diplomatik profesional, presiden pada akhirnya lah yang membuat keputusan. Dengan Yoon yang memimpin, Korea Selatan akan terus-menerus menghadapi risiko kesalahan besar pada saat tantangan geopolitik sama besarnya seperti sebelumnya”. Dia pesimis akan pemerintahan Yoon dalam memprioritaskan persoalan dengan Korea Utara, meskipun pasti akan mengeluarkan banyak pernyataan tentang itu. Terutama karena Yoon lebih cenderung sejalan dengan kebuntuan AS melawan China dan Rusia, menyelesaikan masalah Korea Utara akan menjadi lebih sulit, dan Yoon memiliki sedikit insentif untuk mengatasi masalah yang sulit menggunakan modal politiknya. Dari beberapa pernyataan analisis tersebut, kita akan mencoba melihat arah kebijakan Korea Selatan dibawah kepemimpinan Yoon lewat 3 aktor penting dalam hubungan luar negeri Korea Selatan yaitu Rivalitas AS-Tiongkok, Korea Utara, dan juga Jepang.
Posisi Korea Selatan dalam Rivalitas AS-Tiongkok
Agenda pertama yang menjadi isu penting didalam arah baru kebijakan luar negeri Korea Selatan adalah rivalitas AS-Tiongkok. Kawasan Indo-Pasifik menjadi sorotan sebagai medan pertempuran terbaru, dan dinamika keamanannya yang rumit membuat peningkatan keterlibatan tak terhindarkan bagi AS dan Tiongkok. Tiongkok, secara geografis hadir di kawasan ini dan memiliki ikatan ekonomi yang kuat dengan banyak negara tetangga, dan di sisi lain, AS meningkatkan upaya untuk melawan pengaruh Tiongkok. Pergantian kepemimpinan Korea Selatan serta langkah yang diambil oleh kedua kekuatan untuk mengamankan negara-negara Asia Timur sebagai sekutu, menggambarkan sejauh mana persaingan telah meningkat.
Sementara Seoul, telah lama menjadi sekutu Washington. Negara yang sebelumnya berada di bawah pemerintahan Moon Jae-in, menempatkan nilai pada peran Tiongkok tidak hanya dalam hal ekonomi mengingat sejauh ini Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Korea Selatan, tetapi juga dalam hal memajukan hubungan khusus antara keduanya. Korea Selatan tampaknya memiliki pengaruh yang lebih besar sekarang, berdasarkan retorika kuat Yoon, dimana negara tersebut akan semakin menyelaraskan diri dengan AS, baik dalam hal keamanan dan perdagangan. Tokoh-tokoh pemerintahan Yoon yang memimpin kebijakan luar negeri diidentifikasi sebagai pro-AS. Bahkan, pada tanggal 5 Mei 2022, Badan mata-mata Korea Selatan menjadi yang pertama di Asia yang bergabung dengan Kelompok Pertahanan Siber NATO, menjadi sebuah langkah yang berisiko akan semakin mengobarkan ketegangan dengan negara adidaya regional Tiongkok. Meskipun hal ini tidak sama dengan bergabung dalam pakta militer, langkah ini kemungkinan mampu membuat Tiongkok khawatir akan meningkatnya perang siber. Dalam sebuah pernyataan, Badan Intelijen Nasional Korea Selatan mengatakan telah diterima sebagai peserta yang berkontribusi untuk NATO Cooperative Cyber Defense Center of Excellence (CCDCOE), pusat pertahanan siber yang didirikan pada Mei 2008 di Tallinn, Estonia, yang berfokus pada penelitian, pelatihan, dan latihan di bidang keamanan siber. Namun, disisi lain walaupun terkesan lebih pro terhadap AS, Yoon juga mengatakan bahwa Ia akan tetap berusaha menjaga bahkan meningkatkan hubungan dagang yang sudah terjalin baik dengan Tiongkok
Korea Utara
Agenda kedua jika berbicara tentang kebijakan luar negeri Korea Selatan, tentu saja berusaha memprediksi kebijakan negeri ini kepada tetangga mereka, Korea Utara, akan selalu menjadi suatu topik penting yang akan dibahas. Hal ini dikarenakan sampai saat ini kedua negara belum berdamai dan masih berada di dalam perjanjian gencatan senjata. Inilah yang menyebabkan konflik bersenjata dapat terjadi kapanpun dan kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Korea Selatan haruslah tepat untuk bisa mengatasi permasalahan ini.
Presiden terpilih baru Korea Selatan, Yoon Seok-Yeol pun menyadari pentingnya mempunyai kebijakan luar negeri yang tepat ketika harus berurusan dengan Korea Utara. Latar belakang beliau sebagai seorang konservatif pun akan sangat mempengaruhi keputusannya dalam membawa arah kebijakan luar negeri Korea Selatan terhadap tetangganya ini. Yoon mengkritik pemerintahan Moon selama ini masih terkesan lunak dan juga “formal” ketika berdiplomasi dengan Korea Utara. Menurutnya, diperlukan adanya pendekatan yang lebih keras serta mengancam ketika berdiplomasi dengan Korea Utara. Dalam janji kampanye politiknya, Yoon menegaskan bahwa ia bisa saja mengakhiri perjanjian Inter-Korea Comprehesive Military Agreement yang sudah ditandatangani di tahun 2018. Perjanjian ini sendiri memiliki point penting dimana perjanjian ini akan mengurangi ketegangan dan resiko konflik militer di garis demarkasasi (DMZ) serta mengembalikan zona ini kembali menjadi zona perdamaian. Yoon menganggap bahwa perjanjian ini bukan membuat Korea Utara mau untuk mendenuklirarisasi, akan tetapi malah membuat Korea Utara semakin berambisi melakukan denuklirisasi dikarenakan adanya kelonggaran dari pemerintah Korea Selatan. Selain itu, Yoon juga mengusulkan adanya pendirian kantor diplomatik trilateral yang terletak di Panmunjom dimana kantor ini akan berisi perwakilan dari kedua Korea serta AS sebagai mediator untuk membahas kemungkinan denuklirisasi Korea Utara. Walaupun pendekatan Yoon bisa dikatakan lebih keras serta sedikit berbeda dari pendekatan Presiden Moon, Beliau masih bersedia untuk bertemu dengan Kim Jong-Un di masa pemerintahannya serta berjanji untuk tetap mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Korea Utara dalam rangka membantu kesejahteraan masyarakat di negeri tersebut.
Jepang
Isu terakhir yang biasanya dikaitkan dengan arah kebijakan luar negeri Korea Selatan adalah bagaimana negara ini membangun hubungan dengan negeri matahari terbit, Jepang. Background sejarah panjang Jepang di Korea Selatan serta kepentingan ekonomi merupakan dua faktor penting yang menentukan arah dari kebijakan luar negeri negara ini. Di masa pemerintahan Moon, arah kebijakan pemerintah Korea Selatan terhadap Jepang bisa dikatakan cukup ketat dan kaku. Hal ini dibuktikan dengan Moon yang tidak bereaksi apa-apa ketika putusan pengadilan tinggi Korea Selatan menginstruksikan perusahaan Jepang untuk membayar reparasi untuk kerja paksa pekerja penduduk Korsel selama Perang Dunia II. Selain itu, permasalahan perbedaan pendapat antara Seoul dan Tokyo juga berlanjut mengenai para perempuan Korea yang mengalami pelecehan seksual selama masa penjajahan Jepang. Kedua faktor inilah yang pada akhirnya membuat hubungan Jepang-Korea Selatan di masa pemerintahan Moon mencapai titik terendah.
Yoon sebaliknya mengatakan bahwa kebijakan Moon terhadap Jepang di masa pemerintahannya merupakan salah satu cara yang dilakukan beliau untuk mendapatkan keuntungan politik di dalam negeri. Berbeda dengan Moon, Yoon lebih melihat Jepang sebagai salah satu tetangga yang sama sama berbagi nilai-nilai demokrasi liberal serta pasar bebas. Inilah yang membuat arah kebijakan pemerintahan Yoon cenderung akan berbeda dengan kebijakan Moon dalam melihat Jepang sebagai aktor luar negeri. Sebagai bentuk dari dukungan atas terpilihnya PM Jepang yang baru, Fumio Kishida, Yoon menyinggung Deklarasi Jepang-Korea Selatan di tahun 1998 yang dibuat pada saat itu oleh Presiden Korea Selatan saat itu Kim Dae-Jung, dan Perdana Menteri Jepang saat itu Keizo Obuchi. Point penting dari deklarasi ini adalah kedua negara siap untuk mengatasi permasalahan di masa lalu serta mulai membangun hubungan yang baru. Yoon juga akan berusaha untuk mempererat hubungan dagang dengan Jepang untuk bisa meningkatkan ekonomi Korea Selatan. Membangun hubungan baik dengan Jepang juga akan memudahkan aliansi koperasi tiga negara antara Amerika Serikat, Jepang, dan juga Korea Selatan akan tetap terjalin dengan erat kedepannya. Meskipun begitu, Yoon juga tetap berjanji untuk memiliki sikap yang tegas dalam menyikapi permasalahan Jepang-Korea Selatan yang berhubungan dengan teritori serta sejarah di masa lampau.
Masa Depan Kebijakan Luar Negeri Korea Selatan
Dapat dilihat bahwa ketiga isu diatas merupakan tiga isu penting yang biasanya dilihat dan dibicarakan dalam mengkaji kebijakan luar negeri Korea Selatan. Yoon Seok-Yeol tentu saja akan cukup banyak membawa perubahan baru yang berbeda dengan pendahulunya, Moon Jae-In. Akan tetapi, yang terpenting dari semua ini adalah bagaimana arah kebijakan luar negeri yang diusung oleh Yoon mampu mensejahterakan masyarakat Korea Selatan serta membawa perkembangan negara ini kearah yang lebih baik lagi kedepannya.
Daftar Pustaka
Desmaele, L., & Ernst, M. (2021). South Korea’s Foreign Policy after the March 2022 Election: Between Washington, Beijing, Tokyo, and Pyongyang.
Seo, J. (2021). Diagnosing Korea–Japan relations through thick description: Revisiting the national identity formation process. Third World Quarterly, 1-16.
https://www.voanews.com/a/conservative-yoon-wins-south-korea-presidential-vote/6477295.html
https://www.csis.org/analysis/yoon-seok-youl-what-expect-south-koreas-next-president
https://time.com/6173812/south-korea-cyber-nato-china/
https://www.scmp.com/economy/article/3177882/south-koreas-new-leader-thrust-us-china-rivalry