Pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Israel telah memicu perdebatan global. Berkaca pada sebelum pemindahan, Kedutaan AS beserta kedutaan besar dari 85 negara lainnya berada di Yerusalem. Namun, semenjak tahun 1980, dilakukan pemindahan seluruh kedutaan yang ada di Yerusalem ke Kota Tel Aviv[1]. Pemindahan tersebut dilakukan karena status Kota Yerusalem yang memegang peranan penting dan dianggap sebagai tempat paling sakral, karena terdapat tiga agama besar di dunia, yakni Kristen, Yahudi dan Muslim. Yerusalem juga dikenal sebagai situs tiga tempat peribadahan yang lokasinya berdekatan satu sama lain. Ketiga tempat ibadah tersebut dipercaya tempat yang sangat suci, seperti masjid Al-Aqsa yang diyakini umat muslim menjadi tempat pijakan Nabi Muhammad untuk perjalanan Isra Mikraj. Ada juga Tembok Ratapan yang diyakini oleh umat Yahudi bahwa tembok ini merupakan fondasi penciptaan bumi dan tempat terdekat untuk berdoa. Selain itu, terdapat Gereja Maha Kudus, yang diyakini umat Kristen sebagai tempat yang sangat penting dan suci, karena ditempat inilah kemantian, penyaliban, dan kebangkitan Yesus. Sehingga PBB menetapkan bahwa kota tersebut berstatus quo.
Tidak berhenti di sana, perdebatan terus berlangsung antara Israel dan Palestina yang memperebutkan wilayah tersebut. Awal konflik terjadi karena Israel ingin mendeklarasikan kemerdekaannya pada wilayah yang memiliki status quo tersebut. Hal ini menyebabkan ketegangan di antara Israel dan Palestina terus berlangsung hingga saat ini. Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina sudah berlangsung sejak 1940-an, yang mana konflik ini dari dulu hingga sekarang masihlah memperebutkan Yerussalem. Sedangkan, pada tahun 1967 Israel melakukan agresi yang membuat akhirnya seluruh Yerussalem dikuasai oleh Israel. Namun, seluruh warga Palestina dan juga mayoritas negara-negara internasional tidak mengakuinya.
Pada 6 Desember 2017, Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem serta mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan tersebut seketika menimbulkan kecaman dari banyak negara, terutama negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, beserta beberapa negara Eropa[2]. Selain itu, kecaman pun muncul dari organisasi-organisasi internasional seperti OKI dan Liga Arab. Kecaman muncul karena dengan dikeluarkannya kebijakan seperti itu, maka sama saja berarti Amerika Serikat mengakui kedaulatan Israel atas Kota Yerusalem yang seharusnya berstatus quo. Hal tersebut juga menuai kecaman karena hal ini menyangkut konflik Israel-Palestina yang sangat sensitif dan belum bisa ditemui penyelesaian. Keputusan Trump yang demikian dianggap dapat membuat konflik menjadi semakin parah. Keputusan yang telah diambil Trump, dinilai telah melanggar undang-undang internasional seperti yang telah ditetapkan oleh PBB.
Alasan mengapa Trump melakukan pemindahan adalah sebagai bentuk dari dukungannya terhadap Israel sebagai sekutu strategisnya di Timur Tengah. Bagi Israel, pengakuan Yerusalem merupakan hal amat ditunggu sebagai janji politik Trump yang telah dikampanyekan sebelum menjadi presiden. Setelah menjabat, Trump benar-benar menepati janji-janji kampanyenya[3]. Pengakuan ini merupakan salah satu yang ia tepati. Sejumlah Presiden AS sebelum Trump, yakni George W. Bush, Bill Clinton, dan juga Barack Obama sempat berniat mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Niat tersebut tidak dapat terealisasikan pada masa ketika mereka masih menjabat sebagai Presiden Amerika, karena secara diplomatik akan menimbulkan ‘kerugian’ bagi AS. Jika Yerusalem menjadi ibu kota dari Israel akan menuai banyak kecaman dari masyarakat internasional. Maka dari itu, Bush, Clinton hingga Obama menghidari kebijakan tersebut. Dalam hal ini, Trump lah yang berani melakukan niat tersebut. Menurut Trump, dengan menjadikan Yerussalem sebagai ibu kota Israel merupakan salah satu upaya perdamaian di Timur Tengah, agar konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina segera selesai. Namun, kebijakan Trump justru berbanding terbalik dan membuat kondisi semakin kacau.
Teori Kebijakan Luar Negeri yang akan digunakan untuk memandang kondisi saat ini adalah teori normatif politik, dalam pendekatan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme yang digunakan dalam memandang kasus ini dapat dibedakan menjadi dua hal yang berbeda, yakni kosmopolitanisme politik dan kosmopolitanisme etis. Kosmopolitanisme politik menawarkan penghapusan batas-batas negara atau perubahan konsep batas-batas negara secara radikal. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan diperolehnya sebuah pemerintahan dunia tanpa perpecahan politik. Sedangkan kosmopolitanisme etis menitikberatkan pada perjuangan untuk memperoleh nilai moral yang sama pada setiap manusia di dunia. Akar dari pendekatan kosmopolitan ini ialah pandangan deontologis yang berasumsi bahwa moralitas bersifat universal dan aturan serta kode moral dapat diberlakukan pada setiap orang. Dalam pendekatan ini menganggap bahwa setiap aturan yang diyakini bersama itu selalu benar dan tepat bagi penganutnya[4].
Dalam mendefinisikan posisi masing-masing, pengikut kedua jenis kosmopolitanisme menggunkan frase “Global Citizen”. Penganut pendekatan kosmopolitan politik menginterpretasi hal ini secara harfiah: kita akan menjadi Global Citizen jika sebuah negara itu menjadi satu dalam dunia ini dan tidak terpecah-pecah, menjalankan demokrasi secara global. Sedangkan kosmopolitan etis menginterpretasi frase tersebut secara metaforis: kita adalah Global Citizen, karena itu kita bertanggung jawab moral terhadap seluruh manusia yang ada di dunia atas nama kemanusiaan[5]. Dalam Kosmopolitansime terdapat tiga asumsi dasar kaum kosmopolitan untuk dijalankan, yakni kebaikan bersama (common good), kemakmuran (prosperity), dan keadilan sosial (social justice) dengan cara menghapuskan ketidak setaraan global.
Dalam pengertian yang disampaikan oleh Sidney Tarrow, terdapat sebuah grup yang didasari oleh pendekatan kosmopolitanisme ini yang ia sebut sebagai “rooted cosmopolitans” adalah lapisan masyarakat dan kelompok yang luas di masa lalu dan merupakan kalangan aktivis sosial pada saat ini. Didukung oleh perkembangan teknologi, integrasi ekonomi, dan hubungan budaya, kelompok tersebut mengekspresikan dirinya secara dramatis dalam kemudahan baru. Orang-orang berpartisipasi dalam demonstrasi di luar batas mereka sendiri[6]. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Eby Hara dalam bukunya, bahwa terdapat dua macam teori deontology yaitu Act-deontology dan Rule-based deontology. Act-deontology yaitu memandang tiap-tiap tindakan sebagai kesempatan etik yang unik dan orang yang memutuskan apakah sesuatu itu sesuai dengan moral melalui kesadaran atau melalui pemilihan aturan-aturan yang ada. Sementara, Rule-based deontology berangkat dari seperangkat prinsip aturan untuk menentukan benar atau salah. Teori kedua deontology ini menerima prinsip universal[7].
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kosmopolitanisme memiliki pandangan bahwa hal ini merupakan hal yang wajar terjadi akibat eksistensi negara-bangsa yang menyebabkan perpecahan politik. Pendekatan kosmopolitanisme ini juga bertentangan dengan rasa nasionalisme yang dimiliki individu sebagai dampak yang dihasilkan dari keberadaan negara bangsa tersebut. Anggapan yang muncul dari pendekatan ini adalah bahwa keberadaan negara-negara itu hanya akan menimbulkan konflik akibat benturan kepentingan antar negara.
Pendekatan kosmopolitan politik memiliki pandangan bahwa masalah ini hanya akan dapat diselesaikan apabila individu tidak dibedakan sama sekali. Secara politik tidak dibedakan menurut negaranya. Solusi yang dianggap ideal bagi pandangan kosmopolitanisme politik adalah restrukturasi secara radikal sistem kenegaraan di dunia. Rezim yang mengatur hukum dan segala aturan hanya ada satu sementara tidak ada perbedaan negara-bangsa di dunia ini lagi. Dengan begitu, tidak ada perpecahan karena benturan kepentingan.
Sementara itu, penganut pendekatan kosmopolitanisme etis seperti yang disampaikan Toni Erskine, dengan didukung oleh pernyataan Sidney Tarrow dalam sumber lain, bahwa individu memiliki tanggung jawab moral terhadap seluruh individu di dunia. Hal ini terwujud dalam kemunculan kelompok-kelompok individu yang kemudian menjadi aktivis dalam membela nasib penduduk di Yerusalem Timur yang mendapatkan perlakuan tidak menguntungkan dari kejadian ini. Hal tersebut merupakan bentuk kesadaran tanggung jawab moral sebagai individu yang sama-sama mendiami dunia ini. Karena kemajuan teknologi dan gobalisasi, kesadaran itu kemudian berlanjut menjadi sebuah aksi yang nyata yang dilangsungkan di berbagai belahan dunia.
Menurut penulis, kebijakan yang telah dibuat oleh Trump secara sepihak tersebut memang salah dan sudah menentang undang-undang internasional. Seperti telah dijelaskan diatas, PBB telah menyatakan Yerusalem sebagai tempat suci dan netral yang memiliki status quo. Apabila dikaitkan dengan pendekatan kosmopolitan, yang memiliki garis besar seperti penyetaraan, persamaan hak seluruh warga, atau penghilangan batas-batas yang ada berarti, Trump telah melakukan hal tersebut.
Secara tidak langsung, Trump telah menghilangkan batas-batas seperti yang disebutkan oleh pendekatan kosmopolitan dengan menjadikannya kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal Trump sendiri tahu bahwa Yerusalem merupakan kota suci bagi tiga agama besar dan merupakan tempat yang netral. Dilihat dari perspektif rule-based atau deontological perspective, hal yang telah dilakukan oleh Trump ini salah secara moral karena ia membawa konflik ini terus berlanjut dan akan membuat ketegangan yang lebih besar lagi di daerah Timur Tengah, bahkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Trump ini dampat membawa bencana serta menyebabkan kehancuran bersama. Intinya menurut Eby Hara dalam bukunya ialah bahwa apa yang dilakukan oleh si pembuat kebijakaan apabila dianggap telah melanggar aturan-aturan yang ada secara moral itu salah dari pandangan deontologis.
Dengan ini penulis memperkuat argumen pribadi bahwa kebijakan yang dikeluarkan secara sepihak oleh Trump itu salah dan telah melanggar norma yang ada. Dengan asumsi Eby Hara yang menyatakan bahwa aturan apapun itu harus diikuti, karena aturan tersebut baik dan benar, bukan karena akibat yang akan dihasilkannya. Kaum deontologis menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi dalam pendekatan ini, seharusnya Trump jika ingin mengambil kebijakan seperti itu harus melalui proses serta pertimbangan secara matang, dan mengikuti aturan yang berlaku.
Dilihat dari beberapa kebijakan Trump baru-baru ini yang kontroversial. Menurut saya, beliau sedang melakukan provokasi untuk melahirkan kembali perpecahan yang ada, membuat konflik semakin runyam, serta membangun radikalisme dan terorisme di Timur Tengah untuk kasus ini. Menurut saya, tindakan yang dilakukan oleh Trump ini merupakan keinginan untuk menciptakan perang kembali dan beliau tidak berkomitmen terhadap perdamaian dunia. Di dalam bukunya Eby Hara dijelaskan bahwa kosmopolitan beranggapan manusia yang hidup dalam masyarakat internasional, yang mana seharusnya pembuat kebijakan meletakkan kepentingan kemanusiaan secara umum diatas batas-batas sosial dan politik.
Sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang Trump itu sendiri dalam pendekatan kosmopolitan ini, beliau ini menyamakan budaya, menghilangkan batas-batas yang ada, serta menetralkan. Jadi, beliau ingin konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina segera selesai, dengan dihapuskannya batas-batas serta menyamakan budaya dan mempersatukan penduduk Israel dengan penduduk Palestina. Namun, sesungguhya apa yang dilakukan oleh Trump justru salah dan malah menimbulkan bencana baru. Karena kota Yerusalem sendiri telah memiliki status quo, dimana kota diyakini sebagai kota yang sangat suci dan sakral, sehingga ditempat tersebut dilarang ada intervensi dari negara manapun. Kota Yerusalem merupakan kota yang netral dan seharusnya tidak ada negara mana pun yang memilikinya, namun penduduk Timur tengah yang memang sudah menduduki kota Yerusalem selama bertahun-tahun tetap boleh mendudukinya.
Referensi:
Eby Hara, Abubakar 2016, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme, Jakarta: hlm. 184-188.
Erskine, Toni 2012, ‘Normative International Relations Theory’, in Tim Dunne et al (eds),
International Relations Theory: Discipline and Diversity, UK: Oxford University Press, pp.36-54.
Tarrow, Sidney, The New Transnational Activism, Cambridge University Press, pp. 35-56.
Web:
Oren Liebermann, “Why Declaring Jerusalem the Capital of Israel is so Controversial”, CNN, diakses dari http://edition.cnn.com/2017/12/05/middleeast/trump-jerusalem-explainer-intl/index.html, pada 10 Desember 2017 pukul 23:31
Jeffrey Heller “Palestinian Stabs Israeli in Jerusalem; Anti-Trump Protests flare in Beirut”, Reuters, diakses dari https://www.reuters.com/article/us-usa-trump-israel/palestinian-stabs-israeli-in-jerusalem-anti-trump-protest-flares-in-beirut-idUSKBN1E40FQ, pada 10 Desember 2017 pukul 23:44
Alice Stewart “The Campaign Promise Trump Choose to Keep”, diakses dari http://edition.cnn.com/2017/12/06/opinions/jerusalem-trump-campaign-promise-stewart-opinion/index.html?iid=ob_lockedrail_bottommedium, pada 10 Desember 2017 pukul 23:50
[1] Oren Liebermann, “Why Declaring Jerusalem the Capital of Israel is so Controversial”, CNN, diakses dari http://edition.cnn.com/2017/12/05/middleeast/trump-jerusalem-explainer-intl/index.html, pada 10 Desember 2017 pukul 23:31
[2] Jeffrey Heller “Palestinian Stabs Israeli in Jerusalem; Anti-Trump Protests flare in Beirut”, Reuters, diakses dari https://www.reuters.com/article/us-usa-trump-israel/palestinian-stabs-israeli-in-jerusalem-anti-trump-protest-flares-in-beirut-idUSKBN1E40FQ, pada 10 Desember 2017 pukul 23:44
[3] Alice Stewart “The Campaign Promise Trump Choose to Keep”, diakses dari http://edition.cnn.com/2017/12/06/opinions/jerusalem-trump-campaign-promise-stewart-opinion/index.html?iid=ob_lockedrail_bottommedium, pada 10 Desember 2017 pukul 23:50
[4] Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme, 2016 hlm. 184
[5] Toni Erskine, Normative International Relations Theory, dalam Tim Dunne et al. (eds), “International Relations Theory: Discipline and Diversity”,Oxford University Press, UK, 2012 hlm. 36-54.
[6] Sidney Tarrow, The New Transnational Activism, Cambridge University Press, UK, 2005 hlm. 56.
[7] Abubakar Eby Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme, 2016 hlm. 185
Editor: CF