Dalam beberapa bulan terakhir, Myanmar telah menjadi berita utama terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya kasus diskriminasi terhadap etnis minoritas muslim. Istilah ‘Rohingya’ kemudian menjadi sangat kontroversial. Dunia internasional umumnya menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan komunitas Muslim di tiga kota di bagian utara Arakan, yaitu Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung yang terletak di berbatasan Bangladesh. Ratusan minoritas Rohingya telah mengalami ketidakadilan, kerusakan fisik serta mental. Dalam kekerasan yang terjadi pada tahun 2012 silam, sebanyak 140.000 pengungsi Rohingya telah dipaksa keluar dari rumah mereka. Selain itu, terjadi pembatasan terhadap etnis Rohingya dalam hal pekerjaan dan kebebasan beragama.
Jika dilihat dari posisi umat Islam di Myanmar, sebenarnya Islam telah masuk pada abad ke-9 Masehi ke Burma yang dibawa oleh pedagang. Sekitar tahun 1440-an berdiri kerajaan Islam Arakan atau yang sekarang disebut Rakhine. Konflik antar etnis Rohingya dan penduduk Buddha Myanmar ini sebenarnya telah berlangsung dari dulu. Konflik antara muslim dan Buddha di Myanmar telah dimulai pada tahun 1784 Masehi, saat itu Burma belum diduduki oleh Inggris. Muslim di Myanmar merupakan pendatang dan penduduk asli Myanmar adalah Buddha. Masuknya Islam ke Myanmar pada abad ke-9 Masehi, tidak terlalu diterima oleh penduduk asli Burma. Berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang dimasuki oleh Muslim. Islam masuk ke Myanmar juga dibawa oleh imigran dari India, yang mana imigrasi tersebut atas dasar pendudukan Inggris di India. Yang kemudian pada tahun 1824 Inggris berhasil menduduki Burma. Dengan kebijakan Inggris tersebutlah penduduk India dipindahkan ke Burma. Karena kebijakan Inggris yang menomorsatukan penduduk muslim India membuat penduduk asli Burma cemburu dan menyatakan kebencian mereka terhadap muslim India. Melihat hal tersebut, muslim India bersifat terbuka dan meniinggalkan identitas Muslimnya didepan penduduk asli Burma untuk mehgurangi ketegangan.
Imigran di Burma berasal dari berbagai negara seperti India, Bangladesh, China dan lainnya. Dari imigran tersebut mayoritas adalah orang Islam. Imigran dari Bangladesh dikenal sekarang ini sebagai etnis Rohingya. Adapun Muslim Rohingya yang pernah ingin kembali ke Bangladesh, tapi tidak diterima oleh Bangladesh. Disebabkan oleh sudah lamanya etnis Rohingya tinggal di Burma, itulah alasan Bangladesh menolak etnis Rohingya untuk kembali ke tanah asalnya. Seperti bangsa yang terjajah lainnya, Rohingya pun menuntut kemerdekaan kepada Myanmar. Mereka menuntut untuk diakui sebagai bagian dari Myanmar dan diberi kewarganegaraan sebagaimana warga negara sesungguhnya. Dalam hal ini, Rohingya yang juga merupakan etnis dari Bangladesh dan tidak dianggap oleh negaranya sendiri, menjadi semangat awal bagi Rohingya untuk mendapatkan tempat tinggal yang menjadi identitas mereka. Penyebab Rohingya memberontak dan ingin melakukan separatis, yaitu faktor ketidakadilan dan kekerasan yang mereka terima dari Buddha Burma. Etnis Rohingya yang datang ke Burma dulunya sebagai orang buangan, dan dianggap oleh Buddha Burma sebagai etnis yang tidak layak ada di Burma. Rohingya yang tinggal di Rakhine utara dapat dikatakan sebagai daerah yang sangat miskin. Sumber daya alam yang rendah serta kurangnya pendidikan bagi masyarakat Rohingya, membuat posisi etnis Rohingya ini semakin dikucilkan oleh pemerintah. Bahkan sering dikesampingkan oleh Buddha Burma, karena mereka menganggap etnis Rohingya adalah bangsa yang terebelakang dan tidak pantas berdampingan dengan mereka. Selain itu, adanya tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin hari semakin rendah dimana dari 3.183.330 jiwa, sebesar 85% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, namun produktivitas pertanian menurun beberapa tahun terakhir seiring dengan iklim yang tidak bersahabat. Hal tersebut mendesak etnis Rakhine untuk menguasai tanah pertanian etnis Rohingya demi meningkatkan produktivitas pertanian. Mereka melakukan pengusiran, penjarahan, pembakaran hidup-hidup etnis Rohingya dibantu oleh militer atas otoritas biksu-biksu Rakhine.
Oleh sebab itu juga pemerintah tidak pernah mendengarkan aspirasi dari masyarakat di Rakhine utara ini. Dengan tidak didengarnya aspirasi, serta sering menerima tindakan kekerasan seperti pemerkosaan, perampokan dan penyiksaan lainnya. Rohingya mengajukan diri untuk mendapatkan otonomi di daerah Rakhine utara tersebut. Sehingga organisasi perjuangan akan hak dan keadilan bermunculan dari etnis Rohingya. Sejak banyaknya kasus penganiayaan, kejahatan genosida, dan pelanggaran HAM berat dari pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya yang semata-mata untuk mengusir etnis tersebut dari negaranya, mulailah bangsa etnis Rohingya mengungsi ke beberapa negara yang mereka anggap aman dan berharap mau menampung dan menerima mereka, kebanyakan daari mereka mengungsi ke Bangladesh karena itu yang terdekat dari Myanmar.
Selama beratus-ratus tahun etnis Rohingya hidup, mereka tidak pernah dipenuhi hak hidupnya. Mereka tidak pernah hidup layak, hidup tenang bebas dari ancaman, hidup berkecukupan, dan lain-lain. Mereka hidup dalam ketakutan, kelaparan, kekurangan. Periaku yang diterima oleh Rohingya dari Myanmar membuat mereka menuntut kemerdekaan mereka, menuntut hak mereka, menuntut wilayah Rakhine sebagai wilayah mereka bermukim. Namun hal tersebut diabaikan semua oleh pemerintah Myanmar karena tidak menginginkan Rohingya menjadi bagian dari Myanmar. Kepentingan nasional Myanmar juga yang mendorong sikap agresif Myanmar untuk mengusir Rohingya dari Rakhine. Mengutip juga dari perkataan salah satu dosen Hubungan Internasional UPNVJ, bahwa salah satu yang melatarbelakangi konflik pengusiran Rohingya dari Rakhine adalah terkandungnya minyak dibawah tanah Rakhine yang selama ini ditempati Rohigya namun tidak diketahui mereka. Maka dari itu, pemerintah Myanmar ingin menguasai tanah tersebut untuk mengambil minyaknya dan membangun kerjasama menguntungkan dengan China. Dengan itu, maka perekonomian Myanmar akan menjadi lebih baik. Disamping itu pula, Myanmar menolak membiarkan wilayah nya untuk digunakan sebagai pemukiman etnis yang mereka anggap sebagai pendatang yang tidak mereka inginkan.
Dilihat dari pandangan Post-Colonialisme, sikap Rohingya yang ingin memperjuangkan kemerdekaan etnisnya dengan cara mereka menentang segala yang pemerintah Myanmar lakukan atas mereka. Dengan Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan juga Malaysia, mereka juga termasuk memperjuangkan hak yang semestinya mereka dapat. Rohingya mencoba menyejajarkan kedudukannya dengan etnis-etnis lain di Myanmar atau bahkan bangsa lain diluar sana. Namun sayangnya, dengan kondisi Rohingya yang hidup sebagai etnis terbelakang, tidak mendapat pendidikan yang memadai yang membuat warganya dapat mengajukan protes kepada pemerintah melalui jalan perundingan, diplomasi, perjanjian, dan lain-lain. Yang mereka kenal hanyalah menuntut kemerdekaan dengan membuat menyerukan suara mereka kepada pemerintah yang kemudian diabaikan oleh pemerintah Myanmar secara sengaja. Melalui pemikiran post-colonialisme juga, saya mengkritik perlakuan pemerintah dan tentara Myanmar yang sudah merampas segala hak hidup etnis Rohingya. Setiap manusia yang lahir ke dunia memiliki Hak Asasi yang secara kodrati diberikan Tuhan. Begitupun dengan Rohingya. Meskipun mereka adalah etnis pendatang, namun tidak seharusnya mereka diperlakukan sepeti itu. Pemikiran yang digunakan pemerintah Myanmar dalam mengusir Rohingya dari Rakhine memang mementingkan kepentingan nasional diatas segala-segalanya, namun ada baiknya nilai kemanusiaan juga tetap ditegakkan dan tidak diabaikan. Karena pada dasarnya, manusia diciptakan oleh Tuhan berbeda secara bentuk fisik, bahasa, budaya, dan lain sebagainya agar manusia dapat dengan mudah untuk mengenali satu sama lain namun tetap menganggap satu sama lain adalah sama.
Rohingya membangun sejarah mereka secara nyata, dimana mereka yang awalnya memang berasal dari Bangladesh, bermigrasi dan menetap di Rakhine selama beratus tahun dan membentuk dinamika social mereka disana. Sejarah Rohingya sebagai etnis pendatang, menciptakan identitas mereka bagi masyarakat asli Myanmar yang tetap menganggap mereka sebagai pendatang walau sudah menetap di Rakhine lama. Dan dengan mereka yang menuntut kemerdekaan kepada pemerintah Myanmar, semakin menunjukkan identitas mereka yang bukan masyarakat yang diakui Myanmar. Diharapkan isu dari etnis Rohingya ini cepat menemukan jalan keluar yang menguntungkan semua pihak, tidak hanya dari pihak Myanmar semata, namun juga perlu dipikirkan keselamatan umat manusia dari Rohingya, dan tidak lupa juga dengan negara-negara yang bersedia menampung Rohingya selama ini seperti Bangladesh, Malaysia, dan lain-lain. Menurut Stewart Davies, juru bicara Kantor Koordinator Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA PBB) di Burma, Presiden Thein Sein mengatakan, Myanmar perlu menyelesaikan isu kewarganegaraan itu dengan cara yang positif dan memasukkan semua unsur masyarakat. Karena akar penyebab konflik bisa berasal dari pihak luar yang memang sengaja untuk ikut terlibat didalam konflik tersebut. Nasib Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan. Karena mau sampai kapan masyarakat internasional dijumpai dengan isu kemanusiaan Rohingya, dimana mereka dinegaranya sendiri dianggap sebagai illegal citizens, dan di luar negara tidak diterima. Serta ribuan orang Muslim Rohingya menjadi korban pembantaian.