Muhammad David Ferdian Hutauruk  dan Najla Huwaida Herputri

Staff, Empowerment Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta

Pendahuluan

Baru-baru ini, terdengar berita tentang penutupan sekolah SD, SMP, SMA di Jepang secara masif. Hal ini terjadi karena proses depopulasi yang berjalan lebih cepat dari yang diduga. Secara garis besar, depopulasi dapat dimaknai sebagai penurunan atau penyusutan penduduk di suatu negara, baik secara sengaja maupun tidak. Total populasi di Jepang pernah mencapai puncaknya pada tahun 2008 dan sejak saat itu kian mengalami penurunan populasi hingga hari ini. 

Secara keseluruhan, rasio anak-anak dalam populasi saat ini berada di titik terendahnya, yaitu menyentuh 11.9%, setelah kurang lebih 40 tahun mengalami penurunan. Pada Buku Tahunan Demografis milik PBB, dinyatakan bahwa Jepang merupakan negara terendah di antara 33 negara lainnya yang populasinya mencapai angka lebih dari 40 juta. Posisi Jepang berada di bawah Korea Selatan dan Italia. Apabila suatu negara mengalami depopulasi, hal itu tentunya akan memberikan dampak yang signifikan bagi berbagai aspek di negara tersebut, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan  lebih luas lagi. 

Faktor utama penyebab depopulasi di Jepang saat ini adalah adanya perubahan yang signifikan pada aspek demografi. Penduduk Jepang semakin menua dan generasi mudanya kian menyusut. Generasi muda yang mulanya tinggal di desa, sudah banyak yang berpindah ke kota demi mengejar karir. Akibat dari budaya keras dalam bekerja dan sifat individualisme yang dimiliki orang Jepang, mereka cenderung nyaman dengan kesibukannya dan tidak ingin mempertimbangkan untuk berkeluarga serta memiliki anak. Di samping itu, sulitnya persyaratan pernikahan yang berlaku di Jepang juga menjadi penghambat bagi penduduknya untuk menikah. 

Di Jepang, pria masih dianggap sebagai penyokong utama keluarga sehingga apabila ingin menikah, laki-laki merasa harus memiliki pekerjaan serta sumber nafkah yang stabil terlebih dahulu. Kurangnya peluang karir yang menjanjikan membuat para pria tidak ingin menikah dan memiliki anak. Banyak penduduk asli Jepang yang hanya bekerja part time dengan upah yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan wanita, mereka cenderung diberikan beban peran untuk mengurus anak dalam pernikahan. Wanita karir yang telah melahirkan anak pertamanya akan perlahan tersingkirkan dan mulai tergantikan oleh para fresh graduates. Namun, di sisi lain pihak perempuan juga cenderung mempertimbangkan kekurangan pihak pria dan memilih untuk tidak menikah sebelum menemukan pria yang sesuai standarnya. Dengan kata lain, generasi muda di Jepang memang memiliki standar yang tinggi dalam memilih pasangan. 

Faktor lain yang mendorong depopulasi di Jepang adalah Pandemi Covid-19. Seperti di Indonesia, Pandemi Covid-19 membuat masyarakat harus meminimalisir interaksi secara langsung atau person to person interaction. Mayoritas perusahaan juga menerapkan sistem work from home guna menjaga karyawannya dari paparan virus. Terlebih pada industri jasa, tekanan dari arahan pemerintah Jepang sangat mempengaruhi mereka untuk bekerja dari rumah yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya pelanggan. Selain itu, arahan pemerintah untuk bekerja dari rumah pada akhirnya juga berdampak pada berkurangnya hubungan emosional serta komunikasi pasangan-pasangan di Jepang sehingga mereka cenderung gagal mempertahankan hubungannya. 

Dengan didorong oleh kondisi ekonomi yang buruk dan ditambah dengan hilangnya hubungan emosional dengan pasangan, akan berujung pada hilangnya keinginan untuk melanjutkan hubungan ke tingkat yang lebih serius atau pernikahan. Pandemi yang terjadi juga sangat berdampak bagi ekonomi serta kesejahteraan fisik dan emosional masyarakat Jepang. Faktor-faktor inilah yang pada akhirnya memperburuk situasi demografis Jepang yang telah suram.

Depopulasi dapat melemahkan kekuatan nasional suatu negara karena akan berdampak luas dalam berbagai aspek, terutama ekonomi dan politik suatu negara. Laporan terakhir pemerintah Jepang menunjukkan bahwa 27,7% dari populasi Jepang yang berjumlah 127 juta orang, merupakan manula yang telah berusia 65 tahun atau lebih. Populasi manula ini juga diperkirakan akan meningkat menjadi 37,7% pada tahun 2050. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi di Jepang pada tahun tersebut karena sumber daya manusianya banyak yang sudah tidak produktif. 

Semakin berkurangnya populasi di Jepang mengakibatkan kurangnya pula tenaga kerja dari dalam negeri. Jepang terpaksa mengambil tenaga kerja dari luar guna mengisi kekosongan posisi pada sektor pekerjaan. Kedepannya, apabila penduduk Jepang terus didominasi oleh manula, hal tersebut tentu akan memberatkan pemerintah karena harus menambah biaya kesehatan. Pada akhirnya, hal itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesehatan serta kesejahteraan penduduknya yang berusia lanjut. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyusutan populasi secara terus menerus pada akhirnya memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang setiap tahunnya. Jepang perlu mengambil kebijakan strategis yang dapat dijadikan solusi untuk permasalahan yang telah berjalan lama ini. Apabila depopulasi berlangsung lebih lama lagi, tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi Jepang saja. Akan tetapi, Jepang akan kehilangan calon-calon penerus dan pemimpin bangsanya di masa depan.

Upaya pemerintah Jepang dalam menanggapi permasalahan depopulasi

Dalam menghadapi krisisnya angka kelahiran yang akan mengancam kestabilan segala sektor ekonomi dan politik Jepang di masa depan, Jepang mengeluarkan berbagai macam program untuk menanggulanginya, seperti:

  • Ikumen Project

Ikumen Project adalah sebuah program yang diluncurkan oleh Jepang pada tahun 2010 untuk mendorong peran ayah yang lebih besar untuk keluarga dengan mendorong para wanita untuk berkarir dan menciptakan keseimbangan peran dalam keluarga. Ikumen berasal dari kata Ikuji (merawat anak) dan Ikemen (pria tampan), hal ini dipromosikan kepada masyarakat untuk menghilangkan stereotipe pada kaum laki-laki Jepang yang dikenal sebagai pekerja yang dingin yang lebih memprioritaskan karir dibanding keluarga. Dilansir dari laman website BBC News Indonesia (2018), hasil program ini ditandai atas tingkat pengambilan cuti para pria berkeluarga yang meningkat dari 1,9% pada tahun 2012 menjadi 7% pada tahun 2017, yang mana hal ini merupakan bentuk kepedulian para ayah kepada keluarganya untuk lebih meluangkan waktu agar menciptakan keharmonisan dan lingkungan yang positif serta memberikan gambaran akan pentingnya keluarga kepada para generasi muda agar depopulasi yang terjadi di Jepang dapat teratasi.

  • Robot Revolution Initiative Council

Berdirinya Robot Revolution Initiative Council merupakan awal dari deklarasi revolusi robot untuk meningkatkan segala macam sektor pekerjaan di Jepang. Perdana Menteri Shinzo Abe memberikan dukungan atas terciptanya dewan revolusi robot demi memajukan Jepang sebagai pemain utama dalam pengembangan robotika skala besar. Melalui Robot Revolution Initiative Council, Jepang melakukan kolaborasi dengan negara-negara di kancah internasional untuk membangun saluran kerjasama baru, seperti proposal yang disalurkan kepada Kanselir Jerman Angela Merkel. Dalam konteks permasalahan depopulasi, Jepang mengadopsi teknologi canggih, seperti robotika dan kecerdasan buatan, untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas di berbagai sektor dengan memberikan bantuan kepada para pekerja agar tidak terlalu terbebani sehingga masyarakat akan mampu untuk meluangkan waktu bersama keluarga dan meningkatkan peluang intensitas pernikahan kepada para pemuda pemudi Jepang agar menghindari kekhawatiran terhadap lapangan pekerjaan dan tuntutan di tempat kerja yang mengurangi tingkat ketertarikan melakukan pernikahan di Jepang.

  • Furusato Nouzei

Furusato Nouzei (Pajak Kampung Halaman) merupakan program kompensasi pajak yang dicetuskan pada tahun 2008 untuk merevitalisasi dan mengembangkan kota-kota kecil di wilayah regional Jepang dengan pemberian kontribusi finansial dari para wajib pajak. Program ini dilatarbelakangi oleh tingkat penurunan populasi di kota-kota kecil Jepang karena perpindahan pemuda pemudi yang mengincar kesempatan di kota-kota besar, sehingga terjadinya kekurangan pajak di wilayah-wilayah tersebut. Sistemnya adalah seorang wajib pajak dapat memilih untuk membayar dimuka sebagian pajak tempat tinggal dengan menerima imbalan hadiah sekitar 30% dari nilai sumbangan yang diberikan. Hal ini merupakan terobosan untuk meningkatkan kembali ekonomi Jepang dengan menutup kekurangan pajak di daerah melalui situs web Furusato Nozei yang menyusun daftar hadiah sebagai imbalan dari sumbangan yang diberikan para wajib pajak atas keikutsertaannya menjalankan program tersebut. Depopulasi Jepang memanglah kondisi yang cukup ekstrim mengingat apabila tidak segera diatasi, akan menimbulkan krisis dari berbagai sektor di masa mendatang. Oleh karena itu, dibentuknya program Futuraso Nouzei berperan untuk meminimalisir dampak negatif dari permasalahan menipisnya populasi Jepang di masa depan.

  • Premium Friday

Angka karoshi (bunuh diri) dikarenakan tekanan pekerjaan di Jepang kian melonjak, salah satu contohnya adalah kematian Matsuri Takahashi pada tanggal 25 Desember 2015 atas tuntutan pekerjaan yang tinggi dari tempatnya bekerja yaitu Dentsu Inc. Perdana Menteri Shinzo Abe mengadopsi reformasi jam kerja yang merupakan kebijakan pertama terkait karoshi dan etos kerja serta memperluas program pro buruh dan karyawan, salah satunya adalah program Premium Friday, yang mana para pekerja dapat pulang kantor lebih awal pada pukul 3 sore di hari Jumat terakhir setiap akhir bulan untuk meningkatkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik. Para pekerja diberikan saku dan setiap department store mengadakan diskon untuk meningkatkan penjualan PDB negara, yang mana hal ini dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jepang. Selain itu juga, Premium Friday mendorong para pekerja untuk menghabiskan waktu yang lebih lama bersama keluarga untuk meningkatkan keharmonisan dan mengurangi stress dari bekerja. 

Respon global terhadap permasalahan depopulasi di Jepang

Depopulasi Jepang menjadi masalah serius yang berdampak pada ekonomi, sosial, dan budaya negara tersebut. Penyebab depopulasi meliputi penurunan tingkat kelahiran, peningkatan harapan hidup, dan migrasi dari kota-kota besar ke wilayah pedesaan. Respons dari negara-negara lain terhadap masalah ini beragam. Beberapa negara memberikan dukungan keuangan dan bisnis kepada Jepang untuk membantu memperbaiki perekonomian mereka, termasuk investasi dalam sektor-sektor ekonomi yang berpotensi tumbuh. Negara-negara lain menyediakan solusi inovatif dalam teknologi dan keahlian pengembangan robotik serta teknologi lainnya untuk mengatasi depopulasi di Jepang.

Selain itu, beberapa negara menawarkan program imigrasi khusus dan peluang bagi pekerja Jepang untuk bekerja di negara mereka. Tujuannya adalah untuk membantu mengatur ulang populasi di negara mereka dan mengurangi tekanan ekonomi akibat depopulasi. Namun, respon dan solusi yang ditawarkan oleh negara-negara lain terhadap depopulasi Jepang juga dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing negara. Beberapa negara mungkin lebih tertarik dalam mendapatkan tenaga kerja berkualitas tinggi dari Jepang, sementara negara lain mungkin lebih fokus pada membuka pasar baru untuk produk dan jasa mereka.

Seperti halnya Korea Selatan, yang juga menghadapi permasalahan depopulasi di negaranya sendiri dan berupaya untuk menyelesaikannya mulai dari peningkatan insentif bagi keluarga yang memiliki anak, serta pemberian bantuan finansial dan dukungan sosial bagi keluarga yang memiliki anak. Dalam konteks depopulasi Jepang, Korea Selatan kerap memberikan bantuan mulai dari penawaran visa khusus lansia Jepang yang ingin tinggal di Korea Selatan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan hidup dan perawatan kesehatan para lansia Jepang. Korea Selatan juga tengah menawarkan berbagai macam paket tur medis untuk kesehatan dan kecantikan dengan harapan hal ini dapat meningkatkan sektor pariwisata Korea Selatan dan membantu mengatasi permasalahan depopulasi di Jepang. Selain itu, Korea Selatan juga menawarkan program pertukaran budaya dan pendidikan untuk tujuan promosi budaya dan bahasa Korea Selatan serta membantu meningkatkan persahabatan antara Korea Selatan dan Jepang. 

Tidak berhenti sampai disitu, Tiongkok sebagai negara tetangga dengan puluhan tahun sejarah antara kedua belah negara kerap memberikan respon dalam permasalahan depopulasi di Jepang. Salah satu contoh upaya yang dilakukan Tiongkok adalah dengan meningkatkan hubungan antara Tiongkok dan Jepang dalam bidang ekonomi dan pariwisata yang diharapkan dapat memperlancar arus investasi dan kunjungan wisatawan untuk mengatasi masalah depopulasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok juga kerap menawarkan berbagai macam program dengan Jepang untuk mempererat pemahaman kedua negara, seperti program pertukaran pelajar, pertukaran seniman, dan pertukaran akademik yang diharapkan akan mampu menciptakan peluang pekerjaan dalam bidang tersebut. 

Negara adidaya seperti Amerika Serikat pun juga turut membantu Jepang melalui program pertukaran pelajar seperti JET (Japan Exchange and Teaching) dan Fullbright untuk mengembangkan hubungan persahabatan dan meningkatkan kualitas para pelajar dengan peningkatan pemahaman antar budaya kedua negara. AS juga kerap berinvestasi di Jepang untuk penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi Jepang, yang mana hal ini dapat dilihat dari perusahaan AS yaitu Microsoft dan Google yang membuka kantor cabang di Jepang. AS dan Jepang juga menjalin kerjasama dalam beberapa proyek penelitian dan pengembangan teknologi, contohnya terdapat pada kerjasama antara Universitas Harvard dan Universitas Tokyo dalam riset penyakit kanker serta IBM dan Panasonic dalam pengembangan teknologi Internet of Things (IoT). Hal ini jelas merupakan salah satu upaya bantuan yang dilakukan AS terhadap Jepang untuk meningkatkan kembali pertumbuhan ekonominya. 

Terakhir, Uni Eropa sebagai organisasi internasional sekaligus mitra perdagangan yang cukup erat dengan Jepang berada pada posisi keempat setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Uni Eropa juga melakukan investasi di Jepang yang total investasinya pada tahun 2020 silam melebihi €120 miliar. Sama seperti AS, Uni Eropa juga melakukan kerja sama dengan Jepang dalam bidang riset dan pengembangan teknologi melalui kesepakatan perjanjian perdagangan bebas yaitu Comprehensive Economic Partnership Agreement (EPA) yang diharapkan hal ini dapat memperkuat hubungan ekonomi antara kedua pihak. Selain itu, Uni Eropa juga memberikan bantuan pembangunan dalam hal finansial bagi proyek riset dan inovasi melalui program Horizon 2020. 

Kesimpulan

Depopulasi di Jepang, apabila terjadi secara berkelanjutan, akan memberikan dampak yang mendalam bagi keberlangsungan banyak aspek dalam negaranya. Diketahui bahwa saat ini Jepang merupakan salah satu negara yang telah berhasil mengembangkan teknologi robot sebagai pengganti manusia. Hal ini dapat dijadikan solusi serta malapetaka bagi Jepang sendiri apabila tidak diterapkan dengan bijak. Pemerintah Jepang perlu segera melakukan gebrakan berupa tindakan pencegahan depopulasi dan berupaya meningkatkan angka kelahiran. Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu menggandeng penduduk Jepang dalam usaha nya karena masih banyak penduduk yang tidak peduli dengan masalah tersebut. Apabila tidak segera diatasi, khawatirnya masalah ini akan membawa Jepang dipandang buruk oleh dunia internasional sebagai negara yang kehilangan penduduknya.

 

Referensi

Adek. (2017, February 26). Premium Friday, Cara Jepang Mencegah Depresi Pekerjaan. JPNN.com. https://m.jpnn.com/news/premium-friday-cara-jepang-mencegah-depresi-pekerjaan

BBC News Indonesia. (2018, December 15). Ikumen: Cara para “ayah ganteng” di Jepang mengubah peran orang tua. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-46548887

Br Karo, M. T., Hikmatullah, I., dkk. (2021). Fenomena Shoushika: Analisis Kebijakan Pemerintah Jepang Pada Era Kepemimpinan Shinzo Abe. JURNAL TRANSBORDERS. Vol. 4 No. 2. 

EU-Japan. (2023, April 4). Trade. https://policy.trade.ec.europa.eu/eu-trade-relationships-country-and-region/countries-and-regions/japan/eu-japan-agreement_en 

EU trade relations with Japan. (2023, April 4). Trade. https://policy.trade.ec.europa.eu/eu-trade-relationships-country-and-region/countries-and-regions/japan_en 

Celebration of the Establishment of the Robot Revolution Initiative Council (The Prime Minister in Action) | Prime Minister of Japan and His Cabinet. (n.d.). https://japan.kantei.go.jp/97_abe/actions/201505/15article3.html

Furusato Nozei: How to Benefit from Japan’s Hometown Tax. (n.d.). JapanLivingGuide.net – Living Guide in Japan. https://www-japanlivingguide-net.translate.goog/dailylife/money/furusato-nozei/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

Horizon 2020. (n.d.). Research and Innovation. https://research-and-innovation.ec.europa.eu/funding/funding-opportunities/funding-programmes-and-open-calls/horizon-2020_en 

Inoue, T., Koike, S., Yamauchi, M., & Ishikawa, Y. (2022). Exploring the impact of depopulation on a country’s population geography: Lessons learned from Japan. Population, Space and Place, 28, e2543.https://doi.org/10.1002/psp.2543.

Priyanka, D. (2019, August 14). Mengulik Premium Friday, Budaya Pulang Kerja Jam 3 Sore Setiap Akhir Bulan di Jepang. journal.sociolla.com. https://journal.sociolla.com/lifestyle/mengulik-premium-friday

Takuya, H. (2021). The COVID-19 Pandemic is Accelerating Japan’s Population Decline: A 

Statistical Analysis. Retrieved from https://www.nippon.com/en/in-depth/d00701/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *