Dangdut Via VallenPenyanyi Dangdut Indonesia, Via Vallen dalam event Asian Games 2018. Sumber: www.antaranews.com

Identitas Indonesia terbentuk dari perpaduan beragam sosial dan budaya. Kondisi sosio-ekonomi dan geografis yang dihuni ribuan suku  berbeda menjadikan Indonesia negara heterogen yang kaya akan budaya. Keragaman ini menjadi  keuntungan bagi identitas Indonesia di ranah internasional. Sebagai negara multikultur, budaya merupakan aspek penting sebagai komponen penting identitas Indonesia.

Promosi indentitas negara melalui budaya bukan hal yang asing di dunia internasional. Contoh nyata dari promosi budaya sebagai identitas adalah konsep hallyu. Ungkapan ini berasal dari seorang jurnalis dari Beijing pada tahun 1999 yang terpukau dengan penyebaran pesat budaya Korea Selatan. Hallyu yang dikenal sebagai “arus budaya Korea Selatan” menggambarkan sebuah budaya berperan penting dalam mempromosikan identitas negara ke dunia internasional.

K-pop sebagai salah satu penggerak hallyu dapat menjadi model bagi Indonesia untuk mulai meningkatkan promosi budayanya ke dunia internasional. Sebuah budaya yang dimaksud penulis yang identik dengan K-pop adalah dangdut. Dangdut juga merupakan bentuk seni-budaya yang merefleksikan identitas multikuluralisme sosial masyarakat di Indonesia. Pernyataan tersebut didasarkan dari pemahaman penulis bahwa dangdut merupakan budaya universal yang dapat diterima dengan secara umum. Jika kita bandingkan dengan seni music lain seperti sinden, gamelan dan angklung masih terasa dengan kental mengacu dan mengarah ke sebuah suku yang spesifik, dan tidak dapat menggambarkan Indonesia secara umum. Tidak terkait dengan suku ataupun tempat asal, dangdut merupakan salah satu seni yang mencerminkan masyarakat Indonesia secara umum. Maka dari itu penulis percaya bahwa dangdut dapat mewakilkan multikutralisme Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk memahami efek budaya terhadap negara dalam ranah internasional. Selain itu penulis juga memproyeksikan dangdut sebagai budaya yang dapat dipromosikan Indonesia ke dunia internasional, mengadaptasi fenomena hallyu sebagai sebuah model. Maka dari itu dalam makalah ini penulis akan menjelaskan bagaimana dangdut dapat menyebar dan apa saja efek spillover bagi Indonesia. Lalu akan penulis bandingkan dengan K-pop dan tantangan serta prospek kedepannya bagi Indonesia. Dan penulis menggunakan prespektif historical sociology dan post-colonialisme untuk menjelaskan tema di dialam penelitian ini yang akan penulis uraikan di bagian selanjutnya.

Historical Sociology

Sejarah dan Sosiologi merupakan dua elemen yang sampai saat ini masih diperdebatkan hubungan antara satu dan lainnya. Dalam The Constitusion of Society, Giddens (1984) mengatakan bahwa Historical research is social science research, and vice versa. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada batas antara studi social dan sejarah. Meski pendapatnya banyak ditentang oleh ahli lain seperti John H. Goldthorpe dan Peter Burke, namun dalam masa kontemporer studi ini saling melengkapi satu dan lainnya. Hal ini dapat terlihat dari Barrington Moore (1966) dalam karyanya The Social Origins of Dictatorship and Democracy yang menggunakan prespektif historis untuk menjelaskan fenomena social. Hal ini diikuti oleh murid Moore yang juga menggunakan paradigma yang sama, Charles Tilly dan Theda Skocpol, yang ‘mempopulerkan’ pandangan historical sociology.

Historical sociology adalah cabang dari ilmu sosiologi, yang saat ini telah diterapkan dalam cabang keilmuan lain seperti studi Hubungan Internasional. Salah satu faktor menurut penulis yang menyebabkan historical sociology mulai memasuki studi hubungan internasional karena historical sociology menawarkan perspektif  berbeda dibandingkan teori HI lainnya.

Penulis menggunakan pendekatan historical sociology dalam penelitian ini karena: (1) tema penelitian yang berhubungan dengan identitas, (2) membahas mengenai peristiwa historis yang berpengaruh terhadap objek penelitian, (3) aspek sosial-budaya yang menjadi dasar dari penelitian. Maka dari itu penulis menanggap jika penggunaan historical sosiologi mampu menjelaskan fenomena hallyu dan dangdut, serta relevansi keduanya dalam prespektif historis.

Cultural Wave: Hallyu

Korea Selatan adalah salah satu negara di dunia,  yang memiliki tujuan khusus untuk menjadi pengekspor budaya populer dunia. Bagi Korea ini adalah upaya dalam mengembangkan “soft power“nya. Soft Power adalah istilah populer yang diciptakan pada tahun 1990 oleh ilmuwan politik Harvard, Joseph Nye. Istilah ini mengacu pada kekuatan tak berwujud yang digunakan suatu negara melalui citranya, dan bukan melalui hard power. Hard Power mengacu pada kekuatan militer atau kekuatan ekonomi. Contoh soft power yang mudah dipahami adalah bagaimana Amerika  menarik konsumen dunia untuk membeli jeans Levis, Apple iPhone, pakaian branded, minuman ringan Coca-Cola dan film Hollywood, dengan memanfaatkan citra yang diinginkan yang terkesan unik.

Ada beberapa faktor yang mendorong penyebaran budaya ini dapat sukses terjadi dan memiliki efek yang luar biasa, seperti (1) Mengangkat larangan bepergian ke luar negeri bagi warga lokal Korea, (2) restrukturisasi konsep Chaebol – konglomerat, (3) pengangkatan hukum sensor, (4) branding perusahaan global asal Korea, (5) peningkatan yang terfokus pada infrastruktur. Kelima aspek diatas merupakan aspek penting yang mendorong penyebaran budaya dapat memiliki efek yang signifikan.

Dangdut; Adopting Hallyu’s Way

Dari fakta di atas, penulis berpendapat Indonesia dapat mengadopsi strategi Korea Selatan dalam menyebarkan budayanya. Melihat sejarahnya, Dangdut merupakan salah satu genre music popular tradisional Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti dentuman tabla dan gendang. Music ini dipengaruhi oleh music-music asal India, Arab, dan Melayu. Jadi, awal munculnya music dangdut mulai tahun 635-1600, pada periode tersebut awalnya music qasidah dibawa ke Nusantara oleh para pedagang Arab, Gujarat dan Persia. Periode tahun 1870 ini alat music gambus mulai diperkenalkan.

Tahun 1940 mulai music Melayu-Deli (yang berasalkan dari Sumatera Utara) kemudian diikuti dengan berdirinya orkes-orkes Melayu. Pada tahun 1960an dangdut mulai dipakai sebagai media dakwah. Kemudian music dangdut semakin dikenal pada tahun 1970an dengan munculnya Rhoma Irama dan Nasida Ria sebagai pedangdut pertama yang mengusung tema religi. Mulai tahun 1990 hingga saat ini, dangdut didominasi dengan tema percintaan, keluh-kesah, dan sedikit tambahan goyangan, meski ada juga dangdut parody, campur sari, dll. Dalam hal ini penulis merekomendasikan dangdut sebagai budaya yang dipromosikan oleh Indonesia. Mengapa dangdut? Meskipun ada beberapa pendapat bahwa music dangdut bukan asli berasal dari Indonesia, pernyataan tersebut tidaklah kuat.

Menurut sosiolog musik, Prof. Andrew N. Weintraub, musik dangdut adalah asli budaya Indonesia bukan dari India atau Malaysia. Menurut penulis buku “Dangdut stories: a social and musical history of Indonesia’s most popular music” ini menyebut karakter dangdut adalah khas Indonesia karena tema lagu-lagunya dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tentu ada pengaruh dari India atau Timur Tengah atau darimana saja, tetapi dangdut dikembangkan oleh orang lokal sampai ke pelosok Indonesia. Di berbagai wilayah dangdut bisa diterima dan menjadi pemersatu bangsa, lepas dari berbagai latar belakang sosial-budaya sehingga lahirlah Dangdut Minang, Dangdut Banjar, Dangdut Batak, Dangdut Koplo, Dangdut Remix, Popdut sampai Rockdut. Hal inilah yang menjadi argument dasar penulis bahwa dangdut sangat tepat untuk dipromosikan di dunia internasional dan menjadi identitas budaya popular dari Indonesia. Dan juga mengingat Indonesia yang multicultural, penggunaan dangdut dapat mempertahankan kesatuan bagi berbagai golongan masyarakat.

Selain itu, dangdut juga memiliki makna yang lebih dalam bagi Indonesia. Dangdut pada awalnya mempunyai dikotomi sosial sebagai representasi budaya “kampungan” versus “budaya gedongan.” Lirik dan musik dangdut secara sosial mirip dengan kelahiran musik blues di Amerika Serikat yang mendayu dan menceritakan kesengsaraan hidup orang kecil. Sebutan “kampungan” adalah identitas sosial yang identik dengan kaum menengah dan kelas bawah, yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Sementara “gedongan” adalah representasi sosial kelas menengah dan kelas atas yang mendapat keuntungan dari modernisasi pembangunan.

Cara pandang “kampungan” versus “gedongan” juga menunjukan bagaimana pembelahan sosial akibat development yang tidak hanya menghasilkan apa yang disebut kemiskinan struktural, tetapi juga pembelahan budaya dalam masyarakat. Artis dan lagu dangdut sebelum era media sosial, menjadi populer dari kampung ke kampung dalam hajatan perkawinan, sunatan atau pesta tujuh belasan. Lain dengan jenis musik lainya yang ditopang oleh industri musik, manejemen, televisi dan jaringan distributor mainstream dan menjadi konsumsi kelas menengah atas perkotaan. Hal inilah yang membuat dangdut memiliki signifikansi bagi Indonesia. Tidak hanya dalam aspek budaya, secara social, ekonomi dan politik dangdut memiliki ikatan yang kuat dengan Indonesia.

Jika dilihat dari persepektif post-colonialisme ini identik dengan pertentangan adanya kolonialisme. Menurut post-colonialisme penjajahan itu bukan berbentuk fisik saja, namun bisa berupa mental. Mental Indonesia saat ini kan mental penjajahan, jadi memandang segalal sesuatu yang “lebih” itu justru sangat heboh dan justru membanggakan budaya asing ketimbang budaya sendiri. Seharusnya, masyarakat Indonesia itu lebih bangga terhadap budayanya sendiri, seperti pemerintah Korea Selatan yang memanfaatkan adanya K-pop tersebut. Dan seharunsya Indonesia menjadikan budaya dangdut tersebut sebagai ajang promosi serta membanggakan budaya sendiri. Karena pada dasarnya, K-pop itu adalah budaya dari Korea Selatan.

Potensi dangdut menjadi salah satu identitas Indonesia yang dapat dipandang oleh negara lain disini adalah, dangsut merupakan salah satu bagian dari seni Indonesia. Ketika kita membandingkan dengan K-pop dari Korea Selatan, hal tersebut juga dapat terjadi di Indonesia. Dangdut bisa terkenal di mancanegara apabila dilihat secara historis. Kondisi Indonesia dimana terdapat kesenjangan antara masyarakat dengan music dangdut semua ini mejadi berbaur dengan musiknya yang asik. Bahkan music dangdut sendiri dikenal akrab dengan masyarakat sehingga potensinya semakin besar.

Perkembangan music dangdut saat ini telah menjamur, salah satunya adanya ajang pencarian penyanyi yang mampu dan memiliki teknik menyanyikan music dangdut, karena penyanyi dangdut memiliki teknik vocal bernyanyi yang berbeda dengan penyanyi genre music lainnya. Ajang ini bahkan telah melibatkan peserta dari luar Indonesia. Hal ini sangat berpotensi untuk menjadikan dangdut untuk lebih dikenal dan berkiprah di dunia internasional. Disini, yang perlu para pemuda lakukan adalah menyebarluaskan dangdut dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai media, meskipun kita tidak bisa bernyanyi dengan teknik vocal dangdut (cengkok).

Mempromosikan dangdut ke dunia internasional tidaklah mudah. Namun langkah untuk merealisasikan hal tersebut harus diambil meskipun dengan langkah kecil. Tentu dangdut tidak dapat langsung di bandingkan dengan K-Pop, namun bukan berarti tidak mungkin bagi dangdut untuk tidak dapat mencapai pencapaian hallyu. Perjalanan bagi dangdut masih panjang terlebih adanya hambatan seperti kurangnya dukungan pemerintah, antusiasme masyarakat yang lebih mengarah kekebudayaan asing, dan ketidaksiapan pelaku industri dangdut. Meski adanya hambatan diatas, dangdut memiliki potensial untuk bersinar di dunia internasional.

Menurut penulis, bentuk promosi yang bisa dihadirkan oleh pemerintah Indonesia bisa melalui dangdut tersebut. Karena, jika kita melihat contoh yang telah ada seperti K-pop, K-pop itu membawa dampak positif berupa manfaat yang banyak bagi negaranya. Contohnya seperti, pemerintahan Korea Selatan saat ini, menggunakan K-pop untuk urusan promosi, diplomasi, dll. yang pada akhirnya membawa manfaat berupa pemasukan pemerintah terbesar datang dari K-pop.

Maka, apabila ditarik ke music dangdut, jadi dangdut bisa di internasionalisasikan serta membantu perekonomian negara. Dengan adanya dangdut yang telah go internasional, maka dangdut dapat dijadikan ajang promosi negara. Promosi tersebut bisa berupa, pariwisata, budaya, Tv Shows, dll. dilihat dari bidang pariwisata, jadi para pedangdut tersebut turut mempromosikan pariwisata Indonesia, karena Indonesia memiliki keindahan alam yang tidak semua negara miliki, sehingga akan membantu promosi soal kunjungan turis-turis ke indonesia.

Di bidang budaya, bahwa jika dangdut sudah go internasional dapat membawa budaya Indonesia yang turut mempengaruhi cara berpikir dan pola hidup masyarakat terutama pemuda-pemudi seperti hal nya K-pop. Jika dibidang Tv Shows, maka dangdut bisa disebarluaskan lagi melalui Tv Shows yang isinya bisa videoklip dangdut yang terkesan khas, atau bisa diisi dengan hiburan yang berisi para pedangdut. Dangdut disebarluaskan karena dangdut merupakan ciri khas masyarakat Indonesia, yang berarti masyarakat Indonesia memiliki suatu arts (karakteristik bangsa Indonesia). Seperti adanya K-pop yang sudah tersebarluas di seluruh dunia, dan bahkan K-pop mempengaruhi kehidupan segelintir anak muda, tidak menutup kemungkinan bahwa pada dasarnya kita bisa mengangkat dangdut ini berada pada level internasional dan dikenal oleh seluruh kalangan dunia.

Jadi, upaya untuk menginternasionalisasikan dangdut harus dimulai dari masyarakatnya terlebih dahulu. Masyarakat itu harus memperbaiki pandangannya terhadap dangdut yang dianggap “kampungan” serta menunjukkan rasa bangga terhadap budaya musik dangdut. Pada dasarnya, dangdut memiliki keunikan tersendiri, seperti; alat musik dangdut yang terkenal tradisional dan tidak terdapat di negara lain. Sehingga keunikannya tersebut menjadi nilai jual bagi Indonesia. Irama musik dangdut pun dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat, tanpa mengenal usia. Jadi, kita harus benahi terlebih dahulu mental masyarakat Indonesia yang dikenal dengan mental dijajah.

Karena mayoritas masyarakat Indonesia memiliki mental tersebut, maka masyarakat Indonesia cenderung lebih membanggakan produk dan budaya asing dibandingkan dengan budaya dan produk sendiri. Maka dari itu, seahrusnya kita memandang sesuatu itu tidak berlebihan dan tidak memandang rendah budaya sendiri.

Jika melihat usaha Korea Selatan dalam mendorong penyebaran budayanya, kita dapat mengikuti jejaknya salah satunya seperti yang telah disebutkan diatas dengan “branding perusahaan global asal Korea”. Dengan kita melakukan branding-branding secara besar-besaran yang dapat membantu efek yang signifikan.

Referensi

Tilly, C. (1995). Citizenship, identity and social history. International review of social history, 40(S3), 1-17.

Hobden, S., & Hobson, J. M. (Eds.). (2002). Historical sociology of international relations. Cambridge University Press.

Anthony Giddens. (1984). The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Univ of California Press.

Barrington Jr Moore. (1966). Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Beacon.

Weintraub, A. N. (2010). Dangdut stories: a social and musical history of Indonesia’s most popular music. Oxford University Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *