Author: M. Agung (Research Division)
Kehadiran globalisasi membuat berbagai lingkup kehidupan manusia harus mampu untuk beradaptasi dengan segala percepatan yang ada. Globalisasi menghapus segala batas-batas baik ruang maupun waktu, untuk itu kita dapat menyimpulkan bahwasanya globalisasi telah menciptakan dunia yang saling terhubung dan tanpa batas atau borderless. Nyatanya, globalisasi tidak hanya berdampak pada manusia dan penghidupannya saja, tetapi globalisasi ternyata juga mempengaruhi perspektif para aktor diplomasi. Di dunia kontemporer saat ini, diplomasi harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi. Hal ini dapat kita lihat dengan lahirnya berbagai turunan diplomasi publik, salah satu contohnya adalah gastrodiplomasi. Seperti diplomasi publik pada umumnya, gastrodiplomasi juga menargetkan publik sebagai objek yang harus dipengaruhi. Namun yang membedakan gastrodiplomasi dengan turunan diplomasi publik lainnya terletak pada instrumen yang digunakan yaitu makanan atau kuliner.
Gastrodiplomasi dianggap sebagai sebuah gaya diplomasi baru yang terkesan lebih ramah karena tidak menggunakan paksaan atau bahkan kekerasan sama sekali di dalam penerepannya. Salah satu negara yang menggunakan kulinernya sebagai instrumen diplomasi adalah Korea Selatan. Negeri yang akrab disebut sebagai negeri ginseng ini terinspirasi dari kesuksesan gastrodiplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand melalui peluncuran program Global Thai Food pada tahun 2005. Kesukesan Thailand dalam menaikan national branding-nya di panggung internasional membuat Pemerintah Korea Selatan ingin melakukan hal serupa dengan meluncurkan program yang bernama Global Hansik pada tahun 2009. Nama Hansik merupakan sebuah singkaran dari hanguk eumsik yang berarti hidangan khas Korea Selatan. Program Global Hansik juga biasa disebut sebagai Kimchi Diplomacy, penamaan ini diberikan karena Kimchi merupakan makanan otentik atau khas dan asli Korea Selatan yang membedakannya dengan negara-negara lainnya. Programini bertujuan untuk mempromosikan kuliner khas Korea Selatan ke lidah dunia internasional. Dalam penerapannya, gastrodiplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Korea Selatan ini sangat erat kaitanya dengan hadirnya Korean Wave yang sangat membantu dalam memperomosikan kuliner khas Korea Selatan.
Korea Selatan merupakan salah satu negara yang terbilang cukup sukses dalam menerapkan diplomasi publiknya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Korean Wave yang mampu menembus pasar mancanegara. Korean Wave sendiri merupakan sebuah fenomena transfer kebudayaan asal Korea Selatan ke seluruh penjuru dunia. Saat ini banyak kelompok masyarakat dari berbagai negara di dunia yang menggemari kebudayaan Korea Selatan, misalnya seperti negara-negara di kawasan Asia Pasifik seperti Asia Tenggara. Korean Wave mampu mempengaruhi khalayak publik dari negara lain dengan memperkenalkan kebudayaan tradisional maupun modernnya. Sebagai contohnya, banyak masyarakat internasional yang saat ini menggemari atau bahkan menyukai musik-musik khas Korea Selatan atau yang biasa kita kenal sebagai K-POP. Tidak hanya itu saja, Korean Wave juga membuat banyak masyarakat dari berbagai negara di dunia menjadi gemar terhadap sejumlah serial drama Korea Selatan atau yang biasa dikenal sebagai K-Drama. Oleh karena itu, Korean Wave merupakan salah satu alat penting yang digunakan oleh Pemerintah Korea Selatan sebagai instrumen diplomasi publiknya untuk memperkenalkan kebudayaanya ke dunia internasional (Jayanti, et al., 2019)
Kuliner sebagai bagian dari kebudayaan, dapat dijadikan sebuah asset penting sebagai identitas nasional suatu negara. Adanya fenomena Korean Wave, secara tidak langsung telah banyak membantu program Global Hansik dalam membangun national branding Korea Selatan di tingkat dunia internasional. Suksesnya program Global Hansik ini didasari atas komitmen serta dukungan yang kuat dari Pemerintah Korea Selatan dan berbagai pihak yang terlibat. Menurut direktur utama Korean Tourism Organization, Jeong Yon-Chan, Pemerintah Korea Selatan sangat gencar memberikan bantuan dana terhadap Hansik Foundation Act dan Hansik Globalination Development Agency yang nilai mencapai USD 77 juta pada tahun 2009 (Shertina, et al., 2021). Adapun misi utama dari program Global Hansik di antaranya adalah untuk meningkatkan jumlah restoran Korea Selatan di seluruh penjuru dunia, meningkatkan popularisme kuliner khas Korea Selatan, meningkatkan investasi bisnis kuliner Korea Selatan, dan lain sebagainya
Di Indonesia sendiri, banyak kalangan masyarakat yang sangat menggemari kebudayaan Korea Selatan khususnya kuliner. Sebagai contoh kita dapat menemukan produk-produk makanan khas Korea Selatan di berbagai supermarket dengan sangat mudah. Tidak hanya itu saja, saat ini di Indonesia sendiri banyak ditemukan restoran-restoran yang menyajikan hidangan khas Korea Selatan. Bahkan, saking maraknya Korean Wave di tanah air, banyak produk makanan yang sebenarnya berasal dari Indonesia tetapi menggunakan artis Korea Selatan dalam melakukan promosi hingga pemasaran. Tidak tanggung-tanggung, program Global Hansik juga memperoduksi sebuah buku yang berjudul Best Korean Restaurant Recommendation Guidebook Southeast Asia yang menampilkan 20 restoran Korea Selatan terbaik di Jakarta pada tahun 2014 (Shertina, et al., 2021). Melalui penerbitan buku tersebut, banyak masyarakat Indonesia yang menjadi tertarik terhadap Hansik atau hidangan khas Korea Selatan. Berangkat dari beberapa hal di atas, maka dapat dikatakan bahwasanya gastrodiplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Korea Selatan melalui program Global Hansik dapat dibilang sukses besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan besarnya antusias sejumlah masyarakat Indonesia terhadap makanan atau kuliner khas Korea Selatan.
Kesuksesan program Global Hansik di Indonesia dapat dibutikan dengan melihat banyaknya acara atau bahkan festival kuliner yang diadakan oleh beberapa lembaga, bahkan salah satunya adalah Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Republik Indonesia. Sebagai contoh, pihak kedutaan Korea Selatan pernah mengadakan lomba memasak kuliner khas Korea Selatan bahkan beberapa kali juga sering mengadakan festival kuliner makanan yang terbuka untuk publik. Beberapa acara atau festival yang dimaksud di antaranya adalah K-Food Festival dan Korea Indonesia Week 2012. Tentunya acara atau festival tersebut ditargetkan dan ditujukan untuk menarik minat masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Korea Selatan khususnya pada bidang kuliner. Hal ini diyakini selain mempererat hubungan kedua negara tetapi juga untuk menaikan citra positif Korea Selatan di mata masyarakat Indonesia.
Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa ternyata makanan memiliki kekuatan tersendiri dalam mempererat suatu entitas masyarakat yang berbeda kulturnya. Makanan dipercaya memiliki keunikan tersendiri yang dapat membangun rasa ketertarikan pada individu yang mencobanya. Dengan kata lain, makanan bukan hanya merupakan suatu objek yang digunakan untuk dikonsumsi guna mempertahnkan hidup, namun ternyata makanan juga mengandung cerita yang dapat dijual melalui bingkai gastrodiplomasi (Baskoro, 2017). Pemerintah Korea Selatan menggunakan makanan atau kulinernya sebagai salah satu wujud penggunaan soft power di dalam diplomasi kebudayaan yang merangkap menjadi gastrodiplomasi. Soft power yang dimaksud di sini adalah cara suatu negara untuk menarik perhatian khalayak publik dari negara lain agar menjadi terpengaruh dengan daya tarik yang dimiliki bukan dengan paksaan atau bahkan kekerasan (Joseph S. Nye, 2008). Program yang dibentuk oleh Pemerintah Korea Selatan ini tentunya tidak serta merta dilakukan hanya untuk memperkenalkan kulinernya kepada masyarakat internasional saja. Namun, banyak aspek yang sebenarnya dapat dimanfaatkan guna memperoleh keuntungan dengan adanya gastrodiplomasi tersebut.
Jika ditelaah lebih dalam, melihat antusias sejumlah kalangan masyarakat Indonesia yang sangat menggemari kuliner khas Korea Selatan, hal ini tentunya dapat dimanfaatkan untuk membangun citra baik atau positif Korea Selatan di mata masyarakat Indonesia. Ketika citra baik tersebut telah terbangun, maka secara tidak langsung hal tersebut akan mempermudah kerja sama antara Pemerintah Korea Selatan dengan Pemerintah Indonesia. Misalnya dengan tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap Korea Selatan, maka mereka tidak akan ragu untuk mengeluarkan uang demi mendapatkan produk-produk asal Korea Selatan. Hal ini juga ditambah dengan ketertarikan masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap Korea Selatan, maka sangat memungkinkan adanya peningkatan keuntungan dari sektor pariwisata dengan banyaknya orang Indonesia yang berkunjung ke Korea Selatan. Hal ini dikarenakan salah satu tujuan diplomasi publik yang dilakukan oleh suatu negara adalah untuk mendorong publik atau masyarakat dari negara lain untuk datang ke negaranya dalam rangka berlibur, belajar, mengkonsumsi barang-barang, dan lain sebagainya (Pujayanti, 2017). Keuntungan ini tentunya tidak terlepas dari peran penting para stakeholder yang terlibat dalam program Global Hansik tersebut. Pada akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa ternyata makanan atau kuliner dapat dijadikan sebagai sebuah instrumen diplomasi yang dapat memberikan banyak keuntungan terhadap naiknya citra suatu negara hingga berdampak pada perekonomian nasionalnya.
Daftar Pustaka
Adirini Pujayanti. (2017). Gastrodiplomasi – Upaya Memperkuat Diplomasi Indonesia. Politica Vol. 8 No. 1 Mei 2017. 38-56
Ajeng Dwi Jayanti, D. A. (2019). Diplomasi Publik Korea Selatan di Indonesia Melalui Sektor Pendidikan Korea International Cooperation Agency (KOICA). KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXVIII No. 1, 2019. 11-28
Joseph S. Nye, J. (2008). Public Diplomacy and Soft Power. The Annals of The American Academy of Political and Social Science, 616. 94-109
Rara Shertina, D. A. (2021). Strategi Gastrodiplomasi Pemerintah Korea Selatan dalam Program Global Hansik Campaign di Indonesia pada Tahun 2012-2017. Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial dan Keagamaan. Vol 19 No 1 April 2021. 187-211
Riski M. Baskoro. (2017). Konseptualisasi dalam Gastro Diplomasi Sebuah Diskusi Kontemporer dalam Hubungan Internasional. Jurnal INSIGNA. Vol 4, No. 2, November 2017. 35-48