Fathan Luthfiandi

Staff, Research Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta

 

Latar Belakang

Pada tahun 2003, Amerika Serikat membentuk koalisi militer bersama Inggris dan negara lainnya untuk menginvasi Irak. Koalisi militer gabungan itu berkekuatan lebih dari 500.000 personel militer diturunkan ke medan Negara beribukota Baghdad tersebut. Invasi Amerika Serikat ke Irak didasari oleh tuduhan atas kepemilikan senjata pemusnah massal pasca Perang Irak-Kuwait sebelumnya. Walaupun tuntutan tersebut sedang diselidiki oleh komite khusus buatan PBB, Amerika Serikat tetap tidak menghiraukan mereka dengan alasan bahwa Irak yang di bawah rezim Saddam Husein tidak bersikap kooperatif pada masa penyelidikan. Tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat membentuk koalisi lalu menyerang Irak pada 19 Maret 2003 (Masduki, 2005). 

Terlepas dari banyaknya diskusi terkait peristiwa tersebut yang merujuk pada tujuan asli Amerika Serikat dalam melakukan invasi ke Irak seperti tudingan bahwa Presiden AS pada saat itu George W. Bush hanya menginginkan penggulingan Saddam Husein hingga mendapatkan hukuman mati demi penguasaan sumber minyak melimpah di kawasan itu karena tidak ditemukannya bukti keberadaan senjata pemusnah massal, bagaimana dengan nasib masyarakat Irak biasa yang terdampak akibat persaingan geopolitik dan perang AS. Ini yang seharusnya menjadi perhatian bagi negara-negara untuk memikirkan kembali tuduhan kepada negara lain apalagi hingga terjadi invasi.

 

Pembahasan

Makin Buruknya Krisis Kemanusiaan

Dampak yang dirasakan kepada masyarakat akibat invasi masih terasa sampai saat ini. Tercatat setelah Invasi Amerika Serikat ke Irak dilakukan, sebanyak 152.000 korban jiwa warga sipil tewas di rentang tahun 2003-2006. Selain adanya korban jiwa, 1,6 juta warga sipil harus mengungsi ke negara tetangga. Setelah invasi usai dan Saddam Husein diadili secara kontroversial, muncul konflik bersenjata baru. Kala itu, Irak terbelah karena perebutan kekuasaan antara Sunni, Syi’ah, dan Kurdi ditambah lagi pada tahun 2011 ketika AS menarik militernya dari Irak, wilayah-wilayah di negara tersebut pada tahun 2014 dikuasai oleh ISIS sehingga kembali menyebabkan ketidakstabilan dalam negeri Irak. Hal tersebut diperparah lagi dengan pemerintah demokratis yang diusung oleh Amerika Serikat lemah dan marak korupsi serta kesewenang-wenangan. Jadi bukan fokus untuk memperbaiki negaranya pasca hancur akibat invasi, justru di dalam negerinya Irak dengan campur tangan Amerika Serikat malah sibuk melakukan persaingan politik yang menyebabkan masyarakatnya terlantar dan kembali menjadi korban (Urlacher, 2023).

Hingga kini efek dari konflik dan peperangan yang terjadi di tanah Irak masih bisa dirasakan oleh warganya. Berdasarkan data dari Legatum Institute untuk kategori index kesejahteraan dengan berbagai indikator, Irak menempati peringkat ke 140 dari 167 negara. Selain itu, data dari Worldometer untuk kategori negara dengan usia harapan hidup Irak menempati peringkat 131 dari 193 negara. Dari data-data tersebut, Irak berada di peringkat bawah dalam hal kesejahteraan dan kualitas kehidupan sosial. 

Selain itu, WFP (World Food Programme) di bawah PBB mencatat 53% warga Irak rentan terhadap kelaparan dan 66% warga yang terpaksa mengungsi terancam kelaparan. Kondisi diperburuk dengan upaya memerangi ISIS yang juga dilakukan oleh Amerika Serikat di tanah Irak. Angka dan data di atas muncul dan mengiringi kondisi Irak di kala peperangan pemberantasan ISIS yang kembali lagi mengorbankan masyarakat sipil. Ini yang harus diperhatikan bagaimana negara yang menjadi dampak dari invasi maupun adanya perang perlu memikirkan pemulihan. Dapat dilihat dampak yang terjadi itu tidak instan tetapi dampak itu masih dirasakan hingga saat ini bagi masyarakat Iraq. 

 

Simpulan

Perang, konflik, dan kepentingan politik, serta persaingan geopolitik global telah menyebabkan krisis kepada manusia itu sendiri. Kasus Amerika Serikat yang menginvasi Irak hanyalah salah satu contoh dari banyaknya ironi di negara-negara konflik. Di Irak sendiri konflik berkepanjangan membawa kesengsaraan pada penduduk sipil. Lebih buruknya lagi, konflik di tanah Irak dicampur tangankan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan politik di dalam negeri Irak. Di tengah sibuknya beberapa pihak terhadap kepentingan politiknya masing-masing, masyarakat sipil yang hanya ingin hidup dengan damai dan tenang harus menjadi korban.

 

 

Referensi

Masduki, A. (2005). Invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum organisasi internasional. Repository UNS.

BBC News. (2013). Perang Irak dalam angka. BBC News Indonesia, Diakses (22th Juni 2023) dari https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/02/130216_irak_statistik.

Urlacher, B. (2023). 20 tahun invasi AS: Janji George Bush atas demokrasi di Irak dan Timur Tengah gagal terwujud. The Conversation, Diakses (25th Juni 2023) dari https://theconversation.com/20-tahun-invasi-as-janji-george-bush-atas-demokrasi-di-irak-dan-timur-tengah-gagal-terwujud-202131.

Legatum. (2023). The Legatum Prosperity Index. The Legatum Institute Foundation, Diakses (25th Juni 2023) dari https://www.prosperity.com/rankings.

Worldometer. (2023). Life Expectancy of the World Population. Worldometer.info, Diakses (25th Juni 2023) dari https://www.worldometers.info/demographics/life-expectancy/

Antaranews. (2017). PBB tegaskan tindakan mendesak diperlukan guna hindari “krisis kelaparan” di Irak. Antaranews.com, Diakses (25th Juni 2023) dari https://www.antaranews.com/berita/623618/pbb-tegaskan-tindakan-mendesak-diperlukan-guna-hindari-krisis-kelaparan-di-irak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *