Author: Nazaruddien Agus Salim

Migrasi merupakan sebuah fenomena perpindahan manusia dari satu lokasi ke lokasi lainnya, baik dari suatu daerah ke daerah lain dalam suatu negara atau dari suatu negara ke negara lain (transnational). Secara umum, migrasi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik (prosperity) ataupun untuk mendapatkan keamanan dari konflik yang bergejolak. Dalam proses bermigrasi, para migran biasanya berasal dari negara-negara miskin dan negara yang sedang terlibat konflik baik itu perang saudara, kudeta, ataupun konflik perbatasan. Adapun negara yang paling banyak dikunjungi migran adalah negara-negara yang terletak di benua Eropa karena negara yang terletak di Eropa terkenal akan kehidupan masyarakatnya yang makmur dan sejahtera sehingga hal tersebut menimbulkan konsekuensi penolakan dari beberapa elemen masyarakat Eropa khususnya kaum konservatif-kanan untuk menolak atau mengusir para migran tersebut (Yunazwardi, 2021).

Beberapa minggu yang lalu, tepatnya 15 November 2021, saat itu, ribuan migran yang berasal dari timur tengah dan Afghanistan terjebak di tanah tak bertuan (no-man’s land) yang terletak di antara perbatasan Belarusia-Polandia. Pihak Uni-Eropa menuduh Belarus adalah dalang di balik ini semua yang dilakukan dengan membuka perbatasannya dengan sengaja dan mendorong para migran untuk bergerak menuju perbatasan Polandia yang merupakan pintu masuk ke Uni-Eropa. Sekitar 12 ribu tentara Polandia dikerahkan untuk mengantisipasi masuknya migran yang ingin transit ke wilayah Uni-Eropa melalui Polandia (Iswara, 2021).  

Krisis migran di perbatasan Polandia-Belarus ini merupakan fenomena paling baru dari krisis migran di Eropa yang sebelumnya terjadi pada 2015 silam. Krisis ini dipicu oleh sikap agresif pemerintah Belarus setelah Uni-Eropa dan Amerika Serikat mencampuri urusan dalam negerinya. Pada awalnya, pihak barat menganggap bahwa pemerintah Belarus di bawah rezim Lukashenko cenderung bertindak otoriter dan berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia terlebih setelah insiden penangkapan jurnalis Roman Protasevich dalam sebuah pesawat komersial Ryanair pada Mei 2021 silam. Pihak barat menduga bahwa pemerintah Belarus sengaja membajak pesawat yang membawa Protasevich dari Yunani ke Lithuania untuk diturunkan di Minsk, Belarus. Sebelum menangkap Protasevich, pemerintah Belarus sudah dari lama mengincar Protasevich dengan delik pidana kerusuhan dan merusak ketertiban umum bahkan pemerintah Belarus menganggap Protasevich sebagai teroris (CNN INDONESIA, 2021). Walaupun Belarusia menampik tuduhan pihak barat terhadap insiden Ryanair ini dengan dalih adanya ancaman keamanan,  Uni-Eropa tetap menjatuhkan sanksi kepada Belarus  termasuk di dalamnya pembekuan aset 88 warga Belarusia, pelarangan perjalanan udara dari Belarusia dan beberapa sanksi ekonomi lainnya. Presiden Belarus yang dianggap sebagai diktator oleh negara Uni-Eropa pun bereaksi keras terhadap sanksi-sanksi yang diterapkan oleh Uni-Eropa kepada negaranya. Adapun ancaman yang diberikan Lukashenko kepada Uni-Eropa adalah pemberhentian upaya pencegahan arus migrasi dan pengungsi tidak berdokumen (undocumented) mencapai wilayah Uni-Eropa yang di mana sanksi Uni-Eropa membuat Belarus mengalami penurunan pendapatan negara yang sebagian dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk mencegah dan menampung para migran (AL JAZEERA, 2021). 

A group of people in clothing

Description automatically generated with low confidence

Sumber: cnnindonesia.com

Bagai pungguk merindukan bulan, Belarus yang sebelumnya menganggap bahwa Uni-Eropa akan menangguhkan sanksinya terhadap negaranya setelah melepas migran ke perbatasan Polandia nampaknya harus mengubur angannya secara dalam. Bukannya mengendurkan sanksi, Uni-Eropa yang diwakili oleh Kepala Urusan Luar Negeri Eropa Timur, Joseph Borell, malah semakin keras dalam menerapkan sanksi terhadap Belarus terlebih setelah ada pergerakan militer Rusia sebagai sekutu terkuat sekaligus terdekat Belarus di sekitaran Eropa Timur walaupun sebenarnya mobilitas militer Rusia tersebut hanya untuk konflik Krimea. Tak hanya Uni-Eropa yang bereaksi, pemerintah Polandia turut bereaksi keras terhadap aksi pengiriman para migran tidak terdokumentasi yang dilakukan oleh pihak Belarus. Perwakilan dari Polandia, Latvia dan Lithuania bertemu untuk menemukan solusi atas krisis migran di perbatasan Polandia-Belarus. Tak hanya melepas para migran, pemerintah Belarus juga melakukan propaganda melalui desas-desus yang mengatakan bahwa Polandia akan membuka perbatasan dan bisa langsung terhubung ke wilayah Jerman yang menjadi koridor kemanusiaan atau tempat aman untuk ditinggali para migran (Puspaningrum, 2021). Untuk mencegah arus mobilitas dari Belarus, Komisi Eropa yang diwakili oleh Ursula von der Leyen membentuk peraturan tentang tindakan blacklist bagi perusahaan atau pihak yang menyediakan sarana transportasi migran untuk melakukan perjalanan ke Eropa baik melalui darat, laut ataupun udara (Berty, 2021).

Mengapa Belarus Menggunakan Instrumen Migran Dalam Mengancam Uni-Eropa?

Sebelum krisis migran di perbatasan Polandia-Belarus, Uni-Eropa sudah pernah mengalami krisis migrasi pada 2015 silam. Saat itu, arus pengungsi dan migran ke Eropa mengalami peningkatan yang sangat signifikan yang disebabkan dinamika politik di negara-negara asal migran tersebut (Country of Origin). Secara khusus, Krisis Migrasi 2015 disebabkan oleh adanya fenomena demokratisasi Arab Springs di Timur Tengah yang pada akhirnya peristiwa tersebut menimbulkan beragam konsekuensi terhadap stabilitas dinamika politik di Timur Tengah seperti tergulingnya rezim Ben Ali di Tunisia, Revolusi Mesir yang menggulingkan rezim Hosni Mubarrak pada 2011, perang saudara di Irak & Suriah dan kerusuhan di Lebanon. Jika kita ambil Mesir sebagai contoh, Mesir diambil alih oleh militer di bawah kekuasaan Abdel Fattah El-Sisi pada 2011 silam. Bukannya malah membaik, kondisi sosio-ekonomi di Mesir terus menurun yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan arus Migrasi. Banyak rakyat Mesir yang melarikan diri dari negaranya karena tidak memiliki kebebasan, kesejahteraan dan keamanan di bawah rezim El-Sisi. Menurut data dari Bank Dunia pada tahun 2017, setidaknya 3.442.832 rakyat Mesir telah meninggalkan negaranya untuk bermigrasi ke Eropa dan beberapa negara Asia seperti Qatar, Sudan, Malaysia, dan Korea Selatan (Wijaya, 2021).

Negara Eropa yang pertama kali disinggahi oleh para migran adalah Yunani dan Italia, setidaknya hampir 800 ribu migran bertambah selama 1 tahun yang sebelumnya 216.054 orang pada 2014 menjadi 1,000,573 pada 2015. Di samping itu, lebih dari 1,8 juta migran tidak terdokumentasi melakukan perjalanan illegal ke Eropa melalui rute Mediterania Timur yang terletak antara Turki dan Yunani  (Clayton, 2015). Ketidakmampuan Yunani dan Turki dalam mengatur dan membatasi arus migrasi yang begitu pesat membuat negara-negara Eropa kewalahan yang pada akhirnya hal ini disekuritisasi oleh kaum sayap kanan di Eropa. Pergeseran isu migrasi yang awalnya merupakan humanitarian issue menjadi security issue dipicu oleh sederetan kasus terorisme yang terjadi di Eropa yang di mana teroris tersebut memiliki kesamaan dalam country of origin dengan migran yang datang ke Eropa sehingga memaksa negara-negara Eropa turut membatasi mobilitas para migran dalam kebijakan counter-terrorism (Roynanda, 2019). Selain itu, sekuritisasi isu migrasi juga disebabkan oleh masalah pengangguran yang di mana para migran yang bekerja dianggap mengambil ‘hak’ pekerjaan bagi masyarakat asli negara-negara di Eropa sehingga masyarakat populis kanan menganggap bahwa pengangguran Eropa tidak hanya semata-mata fenomena alamiah melainkan disebabkan oleh masuknya para migran yang kemudian mencari pekerjaan agar bisa survive dalam perantauannya. Pekerjaan yang didapat oleh para migran seharusnya diambil oleh masyarakat asli negara tersebut yang akan mencegah meningkatnya pengangguran (Cooper, 2016). 

Setelah terjadinya Krisis Migran 2015, negara-negara Eropa mulai merombak kebijakannya yang terkait dengan migrasi. Banyaknya kasus terorisme, pengangguran, kebangkitan kaum populis-nasionalis kanan serta kemunculan pandemi Covid-19 membuat negara-negara Eropa saat mulai bersifat proteksionisme karena terlalu banyak problem dalam negeri yang di mana tidak memungkinkan untuk mengeluarkan anggaran atau mengurusi para migran yang notabenenya bukan berasal dari Eropa. Untuk Belarus itu sendiri, setelah negaranya tertekan oleh sanksi Uni-Eropa, Belarus langsung memanfaatkan momen proteksionisme dan sekuritisasi isu migrasi di Eropa dengan cara menjadikan instrumen migrasi sebagai senjata untuk mengancam balik Uni-Eropa yang sedang sibuk mengurusi pemulihan ekonomi dalam negerinya pasca pandemi Covid-19. 

References

AL JAZEERA. (2021, November 15). Poland-Belarus border: What you need to know about the crisis. Retrieved from ALJAZEERA: https://www.aljazeera.com/news/2021/11/12/poland-belarus-border-what-you-need-to-know-about-the-crisis

Berty, T. T. (2021, November 24). Uni Eropa Akan Sanksi Perusahaan Transportasi yang Bantu Migran Ilegal. Retrieved from liputan 6: https://www.liputan6.com/global/read/4719373/uni-eropa-akan-sanksi-perusahaan-transportasi-yang-bantu-migran-ilegal

Clayton, J. (2015, Desember 30). Over one million sea arrivals reach Europe in 2015. Retrieved from UNHCR: https://www.unhcr.org/news/latest/2015/12/5683d0b56/million-sea-arrivals-reach-europe-2015.html

CNN INDONESIA. (2021, Mei 25). Roman Protasevich, Jurnalis yang Ditahan usai Pesawat Dibajak. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210525144200-134-646752/roman-protasevich-jurnalis-yang-ditahan-usai-pesawat-dibajak

CNN INDONESIA. (2021, MAY 25). Uni Eropa Jatuhkan Sanksi atas Belarus Buntut Insiden Ryanair. Retrieved from Cnn Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210525093233-134-646548/uni-eropa-jatuhkan-sanksi-atas-belarus-buntut-insiden-ryanair

Cooper, H. (2016, July 12). Europeans fear refugees threaten jobs, increase terrorism: poll. Retrieved from politico eu: https://www.politico.eu/article/europeans-pew-poll-muslims-terrorism-jobs-integration-news/

Iswara, A. J. (2021, 11 11). Perbatasan Polandia-Belarus Memanas akibat Arus Ribuan Migran. Retrieved from Kompas: https://www.kompas.com/global/read/2021/11/11/183811170/perbatasan-polandia-belarus-memanas-akibat-arus-ribuan-migran

Puspaningrum, B. A. (2021, November 16). Uni Eropa Jatuhkan Sanksi Baru ke Belarus Usai NATO Peringatkan Pergerakan Militer Rusia. Retrieved from Kompas: https://www.kompas.com/global/read/2021/11/16/151937470/uni-eropa-jatuhkan-sanksi-baru-ke-belarus-usai-nato-peringatkan?page=all

Roynanda, N. (2019). KEBIJAKAN UNI EROPA TERHADAP KRISIS PENGUNGSI: ANALISIS SEKURITISASI DALAM PEMBENTUKAN EU-TURKEY STATEMENT. Skripsi UII Yogyakarta, 3.

Wijaya, I. (2021, Januari 26). 10 Tahun Pasca ‘Arab Spring’ di Mesir Banyak Orang Ditahan. Retrieved from IDN Times: https://www.idntimes.com/news/world/ifan-wijaya/10-tahun-pasca-arab-spring-di-mesir-banyak-orang-ditahan-c1c2/3

Yunazwardi, M. I. (2021). NARASI ANTI-IMIGRAN DALAM KRISIS PENGUNGSI EROPA TAHUN 2015 SEBAGAI REFLEKSI ATAS KRISIS IDENTITAS EROPA. Dauliyah Journal Gontor Vol.6 No.2, 315-317.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *