Oleh: Chairul Fajar
Pada 24 – 26 Agustus 2019 pertemuan KTT G7 yang diselenggarakan di Biarritz, Perancis telah usai. Pertemuan KTT G7 ini mempertemukan AS bersama mitra strategis-nya yakni Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia dan Uni Eropa. Pertemuan negara-negara kekuatan besar dunia ini menyedot perhatian masyarakat internasional akan ekspektasi forum tersebut dalam menyelesaikan berbagai agenda persoalan strategis yang tengah terjadi di kancah perpolitikan internasional belakangan ini.
Pada KTT ini, AS bersedia mengadakan negosiasi dengan China terkait isu perang dagang. Hal ini tidak lepas dari dorongan para sekutu AS serta masyarakat internasional yang semakin khawatir eskalasi AS-China akan semakin memperlambat perekonomian global. Perlambatan perekonomian global ini disinyalir akan kembali meningkatkan sentimen ‘proteksionisme’ sebagaimana yang dilakukan oleh AS-China.
Bisa dikatakan KTT G7 ini secara tidak langsung telah telah membuka peluang dalam menurunkan tensi perang dagang AS-China yang tengah melanda perekonomian global. Penurunan tensi perang dagang setidaknya dianggap dapat memberikan kesempatan untuk mengembalikan rules-based trade perekonomian global yang selama ini mengalami ketidakpastian akibat langkah unilateral AS-China. Meskipun tidak menjamin berhasil, bagi masyarakat internasional itikad AS-China ini menuai tanggapan positif.
Di lain pihak KTT ini belum bisa memenuhi keinginan AS bersama sekutu Eropanya dalam menyatukan pandangan terhadap isu Iran. Ini terlihat ketika Trump menolak untuk bertemu dengan Menlu Iran saat KTT berlangsung. Meski terdapat upaya Perancis selaku tuan rumah bersedia untuk “menjembatani” AS-Iran agar segera mengadakan pertemuan bilateral dimana keduanya tidak pernah mengadakan pertemuan bilateral sejak 1979.
Sangat diharapkan apabila pertemuan bilateral AS-Iran ini benar-benar terjadi bisa meredam tensi geopolitik paska insiden krisis kapal tanker beberapa waktu lalu yang melibatkan Iran-AS dan beberapa sekutunya di Timur Tengah.
Upaya Perancis ini patut diapresiasi, sebab langkah ini berpotensi menjadi langkah awal untuk menyatukan kembali pandangan AS-Eropa terhadap Iran sesuai kerangka kesepakatan nuklir 5+1 yang telah ditinggalkan AS secara unilateral pada Mei 2018 lalu. Paska mundur dari kesepakatan itu, AS semakin meningkatkan tekanan ke Iran lewat sanksi internasional.
Nyatanya pemberlakuan sanksi tersebut tidak sepenuhnya diikuti. Para sekutu AS di Eropa yakni Perancis, Jerman dan Inggris tetap melakukan perdagangan dengan Iran lewat kerangka INSTEX (Instrument in Support of Trade Exchanges) meski secara terbatas dan dibawah bayangan ancaman sanksi “tarif’ AS. Kerangka ini bertujuan menjaga Iran tetap dalam ‘koridor’ kesepakatan nuklir 2015 sekaligus mengekspose ketidakkompakan AS-Eropa dalam isu Iran.
Selain Perancis, Jepang juga memiliki niatan serupa. Seperti dikutip portal berita RFI, Jepang sangat berkomitmen kuat terhadap perdamaian Timur Tengah guna menjaga kepentingan energinya di kawasan itu. Jepang, sebagai pihak di luar negara penandatangan kesepakatan 5+1 sekaligus pembeli utama minyak Iran dapat menggunakan posisinya guna melobi Teheran agar tetap mempertahankan kesepakatan nuklir 2015 bersama Perancis-Jerman-Inggris dan meredakan tensi politik di Teluk Persia.
Di samping itu upaya pengembalian kesepakatan nuklir Iran mau tidak mau harus melibatkan Rusia. Rusia selaku mitra strategis Iran di Timur Tengah dan penandatangan kesepakatan itu memiliki posisi yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Akan tetapi absennya Rusia di KTT itu dinilai akan memperlambat proses pengembalian kesepakatan nuklir Iran. Artinya Eropa (Perancis-Jerman-Inggris) sangat memerlukan AS-Rusia dalam format kolaboratif untuk mempertahankan kesepakatan nuklir tersebut.
Oleh karena itu di KTT G7 ini juga membuka peluang bagi Rusia untuk kembali bergabung ke forum. AS lewat Trump bersedia merangkul Rusia kembali ke dalam forum guna menuntaskan berbagai persoalan yang melibatkan Rusia-AS beserta sekutunya. Langkah Trump ini bukan ‘barang baru’ mengingat sudah beberapa kali dilontarkan. Namun harus dicermati kembali apabila inisiatif Trump mengajak Rusia kembali akan dihadapkan oleh tantangan dan kritik keras dari sekutu-sekutu AS di Eropa.
Persoalan kembalinya Rusia ini sangat menarik untuk diprediksi di KTT G7 selanjutnya di AS. Selaku tuan rumah mendatang, AS memiliki inisiatif penuh apakah Trump akan mengundang Rusia untuk hadir secara unilateral atau harus merundingkan dahulu dengan sekutu strategisnya di Eropa?
Pada akhirnya KTT tersebut menggambarkan bahwa situasi politik internasional masih fluktuatif mengingat belum tercapainya sejumlah kesepakatan pasti mengenai penyelesaian isu-isu strategis yang disebutkan. Jika melihat posisi Indonesia dengan pedoman politik luar negeri bebas-aktif, Indonesia dapat mengurangi ketidakpastian tersebut dengan melihat berbagai kesempatan peluang dimana Indonesia bisa memanfaatkannya untuk menjalin kedekatan kerjasama lewat pendekatan multilateral dan bilateral khususnya dengan negara-negara G7 guna meningkatkan perekonomian nasional kita.