Rifqy Alief Abiyya
Head of Research, Research Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta
Persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) hingga saat ini masih banyak perbincangan tanpa penyelesaian yang pasti. Padahal HAM bukan suatu hal yang dapat dipandang sebelah mata atau remeh. Masalah HAM bukan masalah yang kecil, karena HAM adalah sesuatu hal yang HARUS dijunjung dan dilindungi, termasuk oleh negara bukan justru dipinggirkan atau dihilangkan. Ketika pada prakteknya hal tersebut kontradiksi dengan apa yang idealnya dilakukan, tentu dapat dipertanyakan prakteknya tersebut. Apalagi yang melakukan adalah organisasi besar seperti negara yang mempunyai legitimasi dan dapat melakukan atau kebijakan melalui pemerintahan yang sah. Menjadi tanda tanya besar jika persoalan HAM dipicu atau disebabkan oleh ulah para penguasa.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebuah hak yang mendasar dan diakui secara universal dimana itu melekat pada diri manusia. Dikatakan sebagai suatu hal yang universal karena hak merupakan bagian dari setiap individu apapun latar belakangnya, agamanya, suku dan rasnya. Jadi hak ini dimiliki manusia karena keberadaannya sebagai manusia, Jadi tidak bisa dirampas.
Sedangkan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, HAM dirumuskan sebagai “ these rights derive from inherent dignity of human person” (hak asasi manusia ini berasal dari martabat yang inheren atau melekat pada diri manusia). Pengertian dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1
“Hak Asasi Manusia ialah “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat memberikan pemahaman bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu yang melekat pada manusia, tidak bisa dirampas, harus dijunjung tinggi dan dilindungi.
Melihat Para EKSIL Akibat Tragedi Kemanusiaan 65 dan Sikap Penguasa
Tragedi kemanusiaan masih banyak terjadi walaupun banyak negara yang klaim menjunjung tinggi HAM, merdeka, dan lain sebagainya. Tapi pada prakteknya menimbulkan pertanyaan, apakah benar-benar dijunjung? apa benar-benar dijalankan?. Pada kenyataanya tragedi kemanusiaan yang merenggut banyak nyawa, mulai dari perang dunia, perang saudara yang nyatanya hanya untuk kekuasaan semata, terorisme yang merenggut nyawa tak bersalah hingga saat ini persoalan wilayah negara. Mereka yang menjadi korban tak jelas penyelesaian nya seperti apa. Apakah pemerintah memikirkan hal itu atau hanya mementingkan reputasi dan kepentingan saja.
Tragedi kemanusiaan ini seharusnya menjadi pekerjaan pemerintah untuk melihat kondisi nyata dari adanya pelanggaran HAM bukan justru menutupi atau bahkan menghilangkan dari sejarah. Tragedi kemanusian 1965 memakan korban jutaan orang yang dituduh sebagai antek-antek atau kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan yang tidak berdasar ini membunuh jutaan nyawa hilang sia-sia. Bukan hanya itu lebih dari satu juta orang ditangkap dan dipenjarakan tanpa adanya peradilan. Dampak ini tidak hanya kepada orang-orang yang berada di dalam negeri. Orang-orang Indonesia yang sedang berada di luar negeri baik menempuh pendidikan atau bekerja juga terdampak. Masyarakat Indonesia yang di Uni Soviet saat ini menciptakan rasa takut kepada mereka akibat peristiwa G30S. Pada 7 Mei 1966, Soeharto menginstruksikan mahasiswa, intelektual, budayawan yang di luar negeri untuk memberikan pemeriksaan dan pernyataan loyalitas kepada orde baru. Banyak dari mereka menolak karena dianggap melakukan kudeta kepada pemerintahan yang sah dan aktor dibalik tragedi kemanusiaan yang merenggut banyak nyawa.
Pada akhirnya banyak dari mereka paspor nya ditahan bahkan hingga mereka tidak bisa pulang. Ada yang mencari suaka ke negara lain, bahkan tak menutup kemungkinan untuk pindah warga negara. Secara pendidikan mereka adalah orang-orang terpilih karena dikirim untuk mengenyam pendidikan di berbagai negara. Mereka juga dibayang-bayangi ketakutan dalam hidupnya. Mereka diasingkan oleh negaranya sendiri. Apakah ini yang dinamakan menjunjung tinggi HAM?.
Para eksil tersebut sebagai stateless dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Mereka tidak memiliki uang karena beasiswa pemerintah terputus, ketidakpastian perlindungan. Tidak sedikit dari mereka yang depresi bahkan sampai gangguan jiwa. Seharusnya pemerintah disini hadir bukan untuk menyingkirkan tetapi bagaimana dapat melindungi. Bukan menuduh dengan tuduhan yang tidak berdasar, tapi harus memastikan bahwa mereka adalah orang Indonesia yang bahkan belum tentu atau tidak memiliki kesalahan. Salah satunya dirasakan Chalik Hamid, seorang yang berada di Albania saat itu hidup 25 tahun tanpa paspor karena dicabut oleh pemerintah. Hidup yang tidak memiliki perlindungan jelas, ketidakpastian hukum, hingga mendapatkan informasi keluarganya ada yang menjadi korban tragedi tersebut. Lalu ada Sarmadji, pada saat itu dia tidak tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi, tetapi juga menjadi salah satu korban yang paspornya dicabut sehingga tidak memiliki kejelasan warga negara dan perlindungan. Jadi sangat terlihat tragedi kemanusiaan tahun 1965 juga berdampak serius bagi WNI di luar negeri.
Berpuluh-puluh tahun para eksil di negeri orang pada akhirnya ada yang bisa pulang, tapi dengan identitas yang berbeda. Mendapatkan kewarganegaraan lain pada saat itu bukan berdasarkan keinginan tetapi sebuah hal yang memang terpaksa. Dengan kehidupan baru dan identitas baru para eksil tidak menyurutkan perhatian terhadap tempat dari mana mereka berasal walau mereka disingkirkan. Tidak menjadi warga negara Indonesia lagi tidak masalah tapi rasa nasionalisme itu akan terus ada.
Ini menjadi sebuah pekerjaan bagi pemerintah atas perhatian dalam menyikapi tragedi kemanusiaan. Jangan asal menuduh sehingga bisa seenaknya melakukan kebijakan, jangan asal mencabut hak orang lain padahal itu hak yang melekat dan memang harus didapatkan oleh masing-masing individu. Tragedi kemanusiaan yang terjadi tidak boleh dihilangkan dari sejarah tapi bagaimana kita semua bisa belajar dari sejarah tidak sampai terjadi kembali.
Daftar Pustaka
Arifin, Firdaus. Hak Asasi Manusia Teori Perkembangan dan Pengaturan. 1 ed., Yogyakarta, thafa media, 2019.
Auli, Renata Christa. “Pengertian HAM menurut Para Ahli, Hukum Nasional dan Internasional.” Hukumonline, 26 September 2022, https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-ham-menurut-para-ahli-hukum-nasional-dan-internasional-lt6331716e60d8d/. Accessed 27 September 2023.
Mudzakkir, Amin. “HIDUP DI PENGASINGAN: EKSIL INDONESIA DI BELANDA.” Jurnal Masyarakat & Budaya, vol. Volume 17 No. 2, 2015.
Nurdin, Endang. “Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji.’” BBC, 29 September 2015, https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150928_indonesia_lapsus_eksil_bui. Accessed 27 September 2023.
Wahyudi Akmaliah. “INDONESIA YANG DIBAYANGKAN: PERISTIWA 1965-1966 DAN KEMUNCULAN EKSIL INDONESIA.” Jurnal Masyarakat & Budaya, vol. Volume 17 No. 1, 2015.