Penulis: Savinka Putri Andini & Rossela Arneta Putri
Hubungan Tiongkok dan Taiwan kembali memasuki babak konflik baru dengan melintasnya 21 jet tempur milik Tiongkok di batas udara Taiwan pada awal Agustus ini. Tiongkok juga menembakkan sebanyak 11 rudal ke enam wilayah yang letaknya berdekatan dengan Taiwan. Tiongkok berdalih, bahwa hal tersebut merupakan latihan militer yang diselenggarakan selama empat hari dengan menghadirkan setidaknya 100 pesawat, termasuk pesawat tempur dan bomber. Tindakan Tiongkok yang menjadi ancaman bagi Taiwan nyatanya merupakan buntut amarah Beijing atas kunjungan ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi ke Taiwan sehari sebelum peluncuran jet tempur tersebut. Kunjungan Pelosi di Taiwan menjadi suatu kontroversi sebab Tiongkok melihat kunjungan tersebut sebagai upaya intervensi urusan dalam negeri.
Tiongkok, entah sampai kapan akan terus menganggap Taiwan sebagai bagian dari teritori negaranya, sementara Taiwan tetap yakin bahwa telah merdeka dengan pemerintahan yang independen. Berangkat dari sejarah, perselisihan kedua negara tersebut telah berlangsung sejak perang saudara Tiongkok yang melibatkan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Kuomintang sebagai partai nasionalis. Konflik tersebut diakhiri dengan kemenangan PKT yang dipimpin oleh Mao Zedong, sehingga golongan nasionalis pun dipukul mundur dan memutuskan untuk hijrah ke pulau formosa, yang kini dikenal sebagai Taiwan. Kuomintang yang melarikan diri ke Taiwan pada 1949 secara bertahap mulai membentuk pemerintahan sendiri lalu secara resmi mendirikan Republik Tiongkok. Taiwan berkembang dengan sistem demokrasi sehingga muncul cita-cita untuk memerdekakan diri sebagai sebuah negara baru. Hal tersebut menjadi persoalan bagi PKC yang saat itu sedang berkuasa di Tiongkok, kemerdekaan Taiwan dianggap sebagai suatu bentuk separatisme yang mengancam kedaulatan negara. Sejak saat itu, Tiongkok terus menekan dan mengancam akan mengerahkan kekuatan, sekalipun dalam bentuk militer apabila Taiwan secara resmi mendeklarasikan kemerdekaannya. Tiongkok pun dengan tegas mengecam negara yang mengakui kemerdekaan Taiwan atau bahkan menyebut Taiwan sebagai suatu negara terpisah sekalipun.
Amerika Serikat Dituding Ingkari Kebijakan Satu Tiongkok
Amerika Serikat tampak selalu eksis sebagai pihak ketiga di berbagai konflik antar negara, tak terkecuali dalam konflik antara Tiongkok dan Taiwan yang kini kembali meradang. Kunjungan pejabat AS pada 2 Agustus lalu dianggap Tiongkok bukan sebagai kunjungan biasa, Beijing melihat hal tersebut sebagai dukungan dan dorongan atas kemerdekaan de facto Taiwan. Tak lama setelah kedatangan Nancy Pelosi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, Tiongkok mengumumkan serangkaian operasi dan latihan militer sebagai bukti atas “tindakan tegas dan kuat” apabila Pelosi tetap melanjutkan kunjungannya di Taiwan. Ditambah lagi, Tiongkok memang sudah dibuat gerah oleh aksi Pelosi sebelumnya seperti pada tahun 1991 saat perjalanan ke Lapangan Tiananmen, di mana Nancy Pelosi beserta anggota parlemen lainnya membentangkan spanduk yang bertuliskan mendukung demokrasi Tiongkok. Pelosi juga tak gentar menyuarakan dukungan pada kemerdekaan Taiwan di berbagai kesempatan. Maka sudah jelas apabila sosok Nancy Pelosi dicekal karena provokasinya terhadap pemerintahan Beijing. Tindakan Nancy Pelosi ini sebetulnya tidak selaras dengan Gedung Putih yang masih memegang prinsip Kebijakan Satu Tiongkok hingga saat ini walaupun berada dalam hubungan yang kurang baik dengan Tiongkok. Dalam Kebijakan Satu Tiongkok, Beijing menegaskan bahwa Republik Rakyat Tiongkok adalah satu-satunya pemerintahan Tiongkok yang sah dan mengklaim bahwa Taiwan masih termasuk dalam teritorinya. Kebijakan ini kemudian diakui oleh banyak negara sehingga membuat Taiwan terasingkan dalam dunia diplomatik. Taiwan tidak diakui sebagai negara merdeka oleh sebagian besar dunia atau bahkan PBB, imbas lainnya yaitu seperti adanya hambatan dalam partisipasi kejuaraan olahraga dunia hingga perannya dalam WTO. Namun, Taiwan tidak sepenuhnya terpuruk, AS sebagai negara besar melihat adanya potensi jika menjalin hubungan kerjasama dengan Taipei. Disamping tetap mendukung Kebijakan Satu Tiongkok, AS juga menjalin hubungan informal dan hubungan pertahanan dengan Taiwan yang pada akhirnya membuat hubungan dengan Tiongkok semakin rumit.
Baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri Tiongkok dalam pernyataannya menegaskan akan ‘menjatuhkan sanksi-sanksi kepada Pelosi dan keluarga dekatnya’ serta menangguhkan berbagai bentuk kerja sama dengan AS akibat kunjungan tersebut. Merespon hal ini, Pemerintahan Amerika Serikat pun balik menyerang pernyataan Tiongkok dengan menilai bahwa Tiongkok terlalu membahayakan Taiwan. Juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa tindakan ini merupakan suatu eskalasi dalam upaya Tiongkok untuk mengubah status quo, Tiongkok juga dianggap provokatif, tidak bertanggung jawab, dan menimbulkan risiko salah perhitungan. Amerika Serikat dengan tegas akan terus mendukung Taiwan dan siap mengerahkan bantuan militer.
Konflik yang Mengguncang Stabilitas Regional
Bentuk protes Tiongkok terhadap kedatangan Pelosi yang kontroversial nyatanya tak hanya membawa petaka bagi Taiwan saja, namun melebar pula ke negara-negara regional Asia Timur. Pergerakan militer Tiongkok yang bertempat di Selat Taiwan membawa pengaruh signifikan terhadap sektor perdagangan jalur air dengan terhambatnya mobilitas perdagangan dan perjalanan komersial yang menjadi rute bisnis bagi Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan seluruh dunia. Setiap tahunnya, Selat Taiwan menghasilkan setidaknya USD 5,3 triliun yang berasal dari sektor ekspedisi barang, hal ini menjadikan jalur tersebut sebagai salah satu sumber penghidupan bagi negara-negara di kawasan Asia Timur. Blokade yang dilakukan Tiongkok terhadap Taiwan melalui udara dan air justru sebaliknya malah merugikan negara tersebut karena sekitar 60 persen nilai perdagangan Tiongkok datang melalui laut, sehingga tindakan blokade Selat Taiwan akan membuat perekonomian Tiongkok tersendat.
Dampak lain yang dirasakan dari manuver Tiongkok ke Taipei yaitu mengenai ancaman keamanan dan pertahanan bagi negara-negara di kawasan tersebut. Muncul kekhawatiran konflik ini akan bereskalasi menjadi perang, terlebih apabila Pelosi tidak segera meninggalkan Taiwan pada saat itu. Berlangsungnya konflik ini tentu akan menyeret negara-negara lainnya di Asia Timur untuk masuk ke dalam jurang ketegangan, seperti Jepang dan Korea Selatan yang arah diplomasinya lebih condong terhadap Amerika Serikat. Perlu diketahui pula bahwa konflik ini secara tidak langsung lebih mengarah pada perselisihan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat dibandingkan dengan Taiwan. Sudah tidak asing pula bahwa hubungan antara Tiongkok dengan AS kerap digambarkan sebagai duo rival yang saling sikut-menyikut satu sama lain. Negara tetangga yang selama ini berkawan baik dengan AS harus bersiap dan lebih mewaspadai gerak-gerik Tiongkok pasca tensi tinggi tersebut. Agresi Beijing di Taiwan mungkin menjadi suatu bumerang bagi Jepang yang mana gerakan militer tersebut letaknya hanya 70 mil dari wilayah Jepang. Mengutip dari foreignpolicy.com, penembakan lima rudal milik Tiongkok tidak hanya terbang menuju Taiwan tetapi juga mendarat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang. Menteri Pertahanan Jepang, Nobuo Kishi mengatakan bahwa hal tersebut merupakan suatu ancaman besar terhadap keamanan nasional dan keselamatan warga negaranya. Adapun faktor lain yang dapat menjadi urgensi lain Jepang adalah adanya salah satu pangkalan militer AS yang bermarkas di Okinawa, Jepang, yang mungkin dapat menjadi sasaran Tiongkok apabila sewaktu-waktu terdapat peningkatan skala aktivitas militer. Pada situasi saat ini, Jepang memilih bergabung bersama Amerika Serikat dalam mendukung dan menjamin keamanan Taiwan dari serangan Tiongkok .
Berbeda dengan Jepang, di samping mengupayakan keamanan Taiwan, Korea Selatan juga berusaha meyakinkan Beijing terkait hubungan mereka di tengah ketegangan yang terjadi atas Taiwan. Hal itu dibuktikan dengan Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Park Jin, yang menyambangi Beijing di sela-sela konflik ini. Park pun mengungkapkan alasan kedatangannya di Tiongkok yaitu untuk mengantisipasi kesalahpahaman sekaligus meningkatkan kerjasama. Hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Korea Selatan telah berusia 30 tahun lamanya, kedua negara tersebut memiliki hubungan harmonis dan perlahan melupakan krisis Semenanjung Korea yang dulu sempat membuat keduanya berada dalam kubu berlawanan. Seoul kini berada dalam dilema berat antara aliansinya dengan Amerika Serikat dan dengan Tiongkok. Korea Selatan tercatat memiliki hubungan baik dengan AS, namun tidak menutup kemungkinan untuk menjadi kawan akrab bagi Tiongkok.
Simpulan
Berkaca dari konflik Rusia dan Ukraina serta bagaimana banyaknya aktor negara terlibat dengan beragam kepentingan yang hanya semakin menyengsarakan Ukraina, konflik ini pun pada akhirnya akan paling menyengsarakan pihak Taiwan, seperti terancamnya keamanan dan pengaruhnya dalam dunia diplomatik yang mungkin dapat semakin memburuk lagi. Tiongkok bisa saja memberi tekanan lebih kepada negara lain apabila kedapatan dalam kubu yang sama dengan Taiwan ataupun AS, hal ini jelas menghambat berbagai hubungan bilateral Taiwan dengan berbagai negara. Selain itu, konflik ini juga akan membangun kembali sentimen Tiongkok terhadap AS, begitu pula sebaliknya. Perselisihan akibat kunjungan kepala Parlemen AS di Taiwan harus menjadi alarm peringatan bagi dunia dan harus sesegera mungkin menemukan resolusi tepat agar dampaknya tidak melebar secara global.
Referensi
Halim, J. (2019). Analisis Hukum Internasional Terhadap Kebijakan Satu Tiongkok Sebagai Usaha Republik Rakyat Cina Dalam Mencegah Kemerdekaan Taiwan Ditinjau Dari Resolusi Majelis Umum PBB 2625 (Doctoral dissertation, Universitas Internasional Batam).
Haryanto, A. (2022). Konflik China-Taiwan Memanas Hari Ini: Bagaimana Situasi Terkininya. Diakses pada 11 Agustus 2022, dari: https://tirto.id/konflik-china-taiwan-memanas-hari-ini-bagaimana-situasi-terkininya-guRh
Li, X. (2019). The History of Taiwan. ABC-CLIO.
Mason, J. (2022). White House: China’s actions around Taiwan are ‘provocative, irresponsible’. Diakses pada 11 Agustus 2022, dari: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/white-house-chinas-actions-around-taiwan-are-provocative-irresponsible-2022-08-06/
Miranti, B. (2022). Jepang dan AS Bergabung Jaga Stabilitas Selat Taiwan yang Tegang dengan China. Diakses pada 10 Agustus 2022, dari: https://www.liputan6.com/global/read/5034349/jepang-dan-as-bergabung-jaga-stabilitas-selat-taiwan-yang-tegang-dengan-china
Shalimar, J., dan Andrean Gerry. China Dinilai Rugikan Diri Sendiri Jika Blokade dan Invasi Taiwan. Diakses pada 10 Agustus 2022, dari: https://kumparan.com/kumparannews/china-dinilai-rugikan-diri-sendiri-jika-blokade-dan-invasi-taiwan-1ybjJnLfFa3/full
Sorongan, T, P. (2022) Militer China Lewati Garis Median Taiwan, Kirim 44 Jet Tempur. Diakses pada 10 Agustus 2022, dari: https://www.cnbcindonesia.com/news/20220805145704-4-361462/militer-china-lewati-garis-median-taiwan-kirim-44-jet-tempur