Regional Asia memiliki bentuk mekanisme kerjasama keamanan yang tidak sebanyak dimiliki oleh regional lain seperti Eropa misalnya. Umumnya kerjasama keamanan yang berlangsung di kawasan ini masih didominasi oleh bentuk kerjasama bilateral yang eksklusif yang terjadi antara salah satu negara Asia dengan kekuatan besar di luar kawasan. Upaya yang dilakukan salah satu sub – kawasan di Asia, yaitu di Asia Tenggara melalui ASEAN berupaya untuk menginisiasi ARF (ASEAN Regional Forum) dengan tujuan mempertemukan dan membangun diplomasi keamanan – pertahanan. Inisiasi ARF ini tidak memiliki nilai yang menarik, setidaknya begitu dari sudut pandang negara – negara major power. Tercatat di Sekretaris Luar Negeri Amerika tidak menghadiri forum ARF selama tiga kali berturut – turut. Padahal ARF ini merupakan state – powered yang setidaknya mampu menarik atensi dari negara – negara major power.
Atas permasalahan tersebut muncul gagasan dari NGO IISS (International Institute for Strategic Studies) untuk membentuk forum yang serupa dengan Munich Conference yang menjadi wadah forum diskusi diplomasi keamanan bagi NATO – Amerika. Gagasan pembentukan forum sejenis Munich Conference tersebut di Asia karena dilatarbelakangi bahwa Asia membutuhkan forum serupa dan dapat menghubungkan berbagai aktor dalam hubungan internasional. Uniknya pada tahap awal Indonesia ikut menginisiasi forum Shangri La ini melalui Sofjan Wanandi. Negara – negara seperti India, Jepang, Australia menyatakan keinginannya untuk menjadi tuan rumah tempat diselenggarakannya konferensi tersebut. Tetapi pada akhirnya Singapura terpilih karena Jepang dan Australia tidak memberikan konfirmasi mereka.
Satu hal yang unik dari Shangri La Dialogues ini adalah berhasil memikat perhatian dari negara – negara major power seperti Amerika yang mengirimkan delegasi – delegasi dari tingkat senat hingga Sekretaris Luar Negeri yang datang sepanjang 2006 – 2009. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa Shangri La Dialogues merupakan ‘jalan tengah’ dari diplomacy track yang existing. Shangri La menghadirkan dan disponsori oleh state (Track 1) dan dijalankan oleh NGO IISS (Track 2) yang mengikutsertakan dari berbagai kalangan seperti wartawan, akademisi hingga pelajar (Track 3). Sehingga disebutkan Shangri La Dialogues menciptakan kategori baru, yaitu Track 1.5.
Pertanyaan lain yang terlintas adalah apakah Shangri La Dialogues ini benar – benar menjalankan mekanisme multilateralisme? Pada prinsipnya forum Shangri La Dialogues ditujukan dalam bentuk multilateralisme. Namun pada faktanya justru interaksi yang terjadi di dalamnya lebih kepada bentuk bilateral dan trilateral. Kesempatan dalam forum Shangri La Dialogues lebih banyak digunakan negara di dalamnya untuk berinteraksi secara bilateral. Manfaat lain yaitu dengan forum ini dapat menemui delegasi negara kekuatan besar yang belum tentu dapat ditemui secara langsung.
Dalam menggelar Shangri La Dialogues, NGO penyelenggara mendapatkan dana dan dukungan dari berbagai pihak. Ada dukungan dari negara – negara sponsor, industri militer hingga media massa. Yang cukup menarik adalah dukungan dari industri militer, yang berharap dengan adanya Shangri La dialogues dapat dimanfaatkan sebaik – baiknya untuk melobi delegasi negara yang hadir untuk membeli produk industri pertahanan mereka.
Membandingkan dengan ASEAN Regional Forum dan Shangri La Dialogues, keduanya memiliki karakteristik yang serupa tapi tidak sama. Shangri La Dialogues lebih memberikan panggung kepada negara superpower, Amerika yang dicerminkan dalam sesi opening speech. Sedangkan dalam ARF menghormati secara seimbang kedudukan dan peran negara yang hadir tanpa menonjolkan karakteristik negara tertentu dalam opening speech. Cerminan lain adalah penyampaian draft communique yang digunakan dalam ARF, sedangkan Shangri La Dialogues tidak menggunakannya. Ini jelas membedakan bahwa Shangri La Dialogues bukan merupakan forum yang bersifat kaku.
Walaupun Shangri La Dialogues diinisiasi oleh NGO asing di luar kawasan Asia, setidaknya mereka berusaha untuk memenuhi dan memperbaiki kerangka institusional kerjasama keamanan di Asia. Sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan tersebut, inisiasi forum Shangri La Dialogues oleh pihak non – state dapat menghilangkan stigma kecurigaan dan persepsi miring berbagai pihak bahwa forum Shangri La mengandung muatan ‘kepentingan nasional’ negara yang mengorganisir forum tersebut. Shangri La Dialogues beserta forum – forum lain di Asia seperti ARF dan CSCAP (Council for Security Cooperation in the Asia Pacific) diharapkan dapat saling melengkapi dan menjadikan proses transformasi kawasan Asia menjadi suatu komunitas keamanan, walaupun bisa dikatakan masih sangat sulit mengingat kawasan Asia yang luas dan terdiri dari berbagai sub – kawasan dengan berbagai macam latarbelakang perbedaan yang kompleks.
Sumber:
Davie Capie and Brendan Taylor, The Pacific Review: The Shangri-La Dialogue and The Institutionalization of Defence Diplomacy in Asia