Ditulis oleh Saepudin
Arab Saudi merupakan negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia, setidaknya negara ini memproduksi 12.402.761 juta barel per hari. Di perut bumi Arab Saudi terdapat 266.578.000.000 barrel cadangan minyak, yang baru akan habis 221 tahun mendatang jika dihitung dengan tingkat konsumsi saat ini (Worldometer, 2016). Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1938, minyak telah menjadi sumber devisa utama Arab Saudi, yang menjadi penyumbang 42 % dari PDB, 87 % dari anggaran, dan 90 % dari pendapatan ekspor (Umboh, 2019).
Meskipun kekayaan minyak Arab Saudi telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian negara, sejarah panjang ketergantungan pada komoditas ini justru menempatkan negara dalam jebakan fenomena yang dikenal sebagai “resource curse” atau kutukan sumber daya alam. Fenomena ini, yang sering kali dialami oleh negara-negara yang kaya sumber daya, yang menggarisbawahi paradoks bahwa kelimpahan kekayaan alam tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan diversifikasi sektor ekonomi.
Teori resource curse sendiri mendalilkan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya alam sering mengalami pertumbuhan ekonomi yang kurang pesat dengan ketergantungan besar pada satu komoditas yang melemahkan sektor ekonomi lainnya. Beberapa alasan dibaliknya adalah, korupsi, perilaku perburuan rente, investasi sektor manufaktur yang tertinggal, dan rendahnya kualitas kelembagaan dan guncangan harga komoditas (Chaudhry et al., 2021; Obi, 2023). Dalil tersebut sedikit banyaknya telah dialami Arab Saudi pada tahun 2014, yang mana harga minyak mengalami penurunan drastis, akibatnya terjadi defisit ekonomi sebesar 367 miliar riyal ($97,9 miliar) (Hidriyah, 2016). Fenomena tersebut setidaknya menggambarkan perekonomian Arab Saudi telah mengalami “resource curse”, dimana sektor-sektor ekonomi lain tidak berkembang dan tidak berkontribusi pada cadangan fiskal nasional.
Berangkat dari fenomena tersebut pada April 2016, Saudi Vision 2030 diluncurkan oleh Putra Mahkota, Mohammad bin Salman, yang mana ini merupakan visi besar ambisius untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan menciptakan landasan bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Melalui Vision 2030 ini, Saudi sedang mempersiapkan rakyatnya untuk menghadapi masa depan yang terkoneksi secara global (Vision 2030, n.d.). Diversifikasi ekonomi yang mencakup berbagai sektor, seperti pariwisata, teknologi, hiburan, dan energi terbarukan, terus didorong melalui inisiatif investasi besar di sektor selain minyak. Harapannya pada 2030, ekspor non minyak dapat meningkat 50% atau enam kali lipat, dari yang semula US$43,5 miliar, menjadi US$267 miliar (Hidriyah, 2016).
Salah satu langkah utama dalam Vision 2030 adalah pengembangan kota futuristik NEOM dan destinasi wisata modern di Laut Merah. Proyek ambisius NEOM sendiri memiliki tujuan untuk menjadi rumah bagi ekonomi baru dan bisnis global, serta mengurangi kebocoran ekonomi. Proyek ini merupakan titik balik bagi Arab Saudi yang konservatif menjadi lebih moderat dengan harapan untuk menarik wisatawan internasional. Selain pariwisata, sektor energi terbarukan juga menjadi fokus utama dari Vision 2030. Arab Saudi menyadari bahwa masa depan energi global akan semakin beralih dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan. Melalui proyek-proyek seperti Sakaka Solar Plant dan NEOM Green Hydrogen Project, Saudi berusaha memposisikan diri sebagai pemimpin dalam produksi energi bersih. Upaya ini juga menjadi sinyal bahwa Saudi berkomitmen untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi global (Abourjeili, 2024; Cohen, 2021).
Sebagai sebuah kesimpulan, Saudi Vision 2030 telah menghadirkan visi masa depan yang optimis, di mana Saudi siap untuk mengesampingkan minyak yang telah mengotori bumi dan tengah mempersiapkan diri menjadi Eropa baru sebagai pusat ekonomi regional yang dinamis dan beragam. Dengan memperluas sektor-sektor non-minyak, Saudi berupaya untuk membebaskan diri dari “resource curse” dan menuju ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan, serta menjadi pondasi penting bagi masa depan yang lebih stabil dan inklusif.
REFERENSI
Abourjeili, C. (2024). Saudi Arabia’s Economic Transformation: Defeating the Resource Curse? Columbia Political Review. https://www.cpreview.org/articles/2024/2/saudi-arabias-economic-transformation-defeating-the-resource-curse
Chaudhry, I. S., Faheem, M., Farooq, F., & Ali, S. (2021). Financial Development and Natural Resources Dynamics in Saudi Arabia: Visiting ‘Resource Curse Hypothesis’ by NARDL and Wavelet-Based Quantile-on-Quantile Approach. Review of Economics and Development Studies, 7(1), 101–117. https://doi.org/10.47067/reads.v7i1.325
Cohen, A. (2021). Saudi Energy Giants Join The Green Revolution. Forbes. https://www.forbes.com/sites/arielcohen/2021/04/23/saudi-energy-giants-join-the-green-revolution/
Hidriyah, S. (2016). Reformasi Ekonomi Arab Saudi. Majalah Info Singkatt Hubungan Internasional, 8(9), 5–8. www.pengkajian.dpr.go.id
Obi, C. (2023). Resource curse. In F. Obeng-Odoom (Ed.), Handbook on Alternative Global Development (pp. 91–106). Edward Elgar Publishing Ltd. https://doi.org/10.4337/9781839109959.00016
Umboh, G. K. (2019). Reformasi Ekonomi Arab Saudi di Bawah Kekuasaan Putra Mahkota Mohammed Bin Salman Melalui Saudi Vision 2030 [Program Studi Hubungan Internasional FISKOM-UKSW]. https://repository.uksw.edu//handle/123456789/19434
Vision 2030. (n.d.). A Story of Transformation. Retrieved October 12, 2024, from https://www.vision2030.gov.sa/en/explore/story-of-transformation
Worldometer. (2016). Saudi Arabia Oil Reserves, Production and Consumption Statistics. https://www.worldometers.info/oil/saudi-arabia-oil/