Adinda Ayu Melati Nugroho Putri dan Rafli Alfaizi Hakim

Staff, Empowerment Division FPCI Chapter UPN Veteran Jakarta

 

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan kerja sama antar negara, lahirlah organisasi-organisasi internasional yang bertugas untuk menjembatani kepentingan tersebut. Pada Perang Dunia II, untuk mencegah timbulnya perang baru, dibentuklah suatu organisasi induk yang menjaga perdamaian dan menghindari peperangan pada tahun 1945. Dalam tingkat regional beberapa organisasi juga mulai tercipta, salah satunya seperti ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 di Bangkok dengan tujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi.

Sedari awal, ASEAN menganut prinsip non-intervensi yang muncul dalam dokumen pendirian ASEAN, Deklarasi Bangkok, yang dikeluarkan pada tahun 1967. Deklarasi Bangkok menyatakan bahwa negara-negara anggota memiliki komitmen untuk menghindari pengaruh dari luar demi menjaga keseimbangan nasional dan regional. Kebijakan non-intervensi ini ditegaskan kembali dalam Deklarasi Kuala Lumpur pada tahun 1997. Hal ini diperkuat lagi dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976, di mana prinsip tidak campur tangan dalam urusan internal anggota secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu nilai dasar asosiasi.

Prinsip non-intervensi tidak disebutkan secara eksplisit dalam piagam PBB, namun prinsip ini lebih tepatnya diisyaratkan dalam Deklarasi Prinsip-prinsip PBB (Pasal 2). Seperti pada pasal 2 ayat 4 diterangkan bahwa negara anggota UN tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap integritas suatu wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Pada pasal 2 ayat 7 juga disebutkan bahwa tidak ada ketentuan yang memperkenankan PBB untuk mencampuri urusan negaranya.

Meskipun ASEAN dan PBB sama-sama memiliki prinsip untuk tidak mengintervensi negara naungannya, mereka tetap memiliki perbedaan. Perbedaan utamanya adalah bahwa United Nations menentukan gagasan non-intervensi secara dinamis, sedangkan ASEAN tetap statis. Dalam PBB, bantuan kemanusiaan tidak boleh melanggar kebebasan politik suatu negara. Tindakan semacam itu hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia suatu negara dan setiap negara beserta penduduknya terus menikmati kebebasan politik. Atas dasar ini, intervensi untuk alasan kemanusiaan tidak melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bantuan untuk tujuan kemanusiaan dianggap sah apabila sesuai dengan aturan Pasal 2 ayat (4). Legalitas intervensi atas dasar kemanusiaan kemudian dikaitkan dengan tujuan Piagam PBB untuk menghormati hak-hak kemanusiaan (Pasal 1 ayat (3)). Sejak tahun 1945, ketika Konvensi Pencegahan Genosida dan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal ditetapkan, kewenangan negara untuk bertindak serampangan terhadap warga negaranya menjadi terbatas. Batasan teritorial tidak lagi menjadi masalah dalam pelaksanaan dan pembelaan hak-hak kemanusiaan.

 

Peran PBB di Konflik Kemanusiaan Rohingya

PBB juga terlibat dalam upaya penyelesaian krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar ini. Contohnya adalah advokasi perlindungan hak asasi manusia dan mengutuk kekerasan kemanusiaan di Myanmar, Bantuan Kemanusiaan melalui lembaga-lembaga seperti UNHCR, UNICEF dan WFP kepada para korban dan pengungsi. PBB juga memberikan fasilitas mediasi antara pemimpin-pemimpin konflik melalui dialog.

PBB terus berkomitmen untuk membantu Rohingya dan menyelesaikan konflik kemanusiaan. PBB juga mengeluarkan Resolusi tetapi tidak berhasil dikarenakan China dan Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB menggunakan hak veto mereka untuk menolak Resolusi tersebut. Veto yang digunakan ini diduga dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis. Anggota Dewan Keamanan PBB yang seharusnya menjadi penanggung jawab untuk menstabilkan keamanan dan perdamaian justru menyalahkan  hak vetonya, tentunya perlu dipertanyakan lagi apakah hak veto tersebut masih relevan? Hal ini jelas memperlambat bantuan yang seharusnya bisa dilakukan lebih cepat dan bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa yang terus menjadi korban dalam konflik tersebut. Bagaimana bisa PBB membentuk UNMISS untuk membela dan memberikan bantuan kepada korban konflik di Sudan tetapi tidak terjadi di Myanmar? Hal ini perlu menjadi perhatian komunitas Internasional untuk selalu adil dan tidak menerapkan standar politik ganda mereka terutama terhadap krisis kemanusiaan yang bisa terjadi di mana saja. Lantas bagaimana peran ASEAN?

 

Peran ASEAN di Konflik Kemanusiaan Rohingya

Peran ASEAN dalam konflik ini terbentur oleh prinsip non intervensi yang sudah ada sejak ASEAN berdiri. Hal ini mengakibatkan kerangka kerja ASEAN yang cenderung menghormati kedaulatan negara anggota, sehingga upaya dapat yang dilakukan terbatas. Beberapa upaya yang dilakukan ASEAN seperti dialog antar pemimpin, pemberian perlindungan terhadap korban dan pengungsi serta pemulangan pengungsi. Salah satunya dilakukan oleh negara ASEAN yaitu Indonesia yang memberikan bantuan terhadap korban dan membuka dialog antara pihak-pihak terkait yang memberikan angin segar terhadap konflik ini. Indonesia dapat mengupayakan hal-hal tersebut karena memiliki korban-korban konflik yang mengungsi dan berlindung di Indonesia

Terkait peran ASEAN sendiri, ASEAN juga telah melakukan beberapa tindakan seperti membentuk Misi Penyelidikan ASEAN tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Rakhine pada tahun 2018. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut masih belum memberikan hasil yang memadai. Hal ini memberikan catatan bahwa kasus Rohingya merupakan permasalahan yang kompleks dan membutuhkan upaya komprehensif dan kolaboratif bukan hanya dari Organisasi Regional tetapi juga Organisasi Internasional seperti PBB atau lembaga lainnya untuk menyelesaikan kasus Rohingya.

 

Kesimpulan

Krisis Kemanusiaan yang terjadi di berbagai negara perlu diselesaikan secara cepat dan tanggap. Organisasi Internasional sebagai mediator harus berperan lebih baik untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada mereka yang terkena imbasnya. Bagaimanapun juga penggunaan kekerasan dalam konflik tidak dapat dibenarkan. Para pemimpin ataupun pihak yang terlibat dalam  konflik juga harus mengesampingkan kepentingan pribadinya dan  mengutamakan dialog untuk menciptakan Win-Win Solution. Kemudian para komunitas Internasional perlu memberikan empati lebih atas dasar kemanusiaan dan memberikan perspektif mereka secara adil dalam melihat konflik ini merupakan Krisis Kemanusiaan yang harus segera diselesaikan. Jika konflik ini tidak segera diselesaikan, maka dapat menimbulkan kekhawatiran akan ancaman terhadap keamanan internasional. Penanganan PBB dan ASEAN masih belum efisien dan maksimal untuk penanganan kasus Kemanusiaan ini dan perlu ditingkatkan lebih baik lagi.

 

Referensi

Inayah, A. (2022). RESPON ASEAN TERHADAP PERMASALAHAN ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR. Jurnal Hubungan Internasional Indonesia Vol. 4, No. 1 .

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. (n.d.). Retrieved from un.org: chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://unic.un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_bahasa.pdf

Rahmanto, T. Y. (2017). PRINSIP NON-INTERVENSI BAGI ASEAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Jurnal HAM Volume 8, Nomor 2, 15.

Strangio, Sebastian. (2022). China, Russia Again UN Veto Statement on Myanmar Conflict. https://thediplomat.com/2022/05/china-russia-again-veto-un-statement-on-myanmar-conflict/

Dossari, Al Denzel. (2019). PERAN PBB DAN ASEAN ATAS INDIKASI ADANYA GENOSIDA YANG TERJADI DI MYANMAR TERHADAP ETNIS ROHINGYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL. https://repository.upnvj.ac.id/571/1/AWAL.pdf

Idris M, Hardiwinoto S, Untoro Y. (2016). Peran ASEAN dalam Penanganan Pengungsi Pencari Suaka yang Ada di Indonesia (Studi Kasus Pengungsi Rohingya di Aceh). https://www.neliti.com/publications/19461/peran-asean-dalam-penanganan-pengungsi-pencari-suaka-yang-ada-di-indonesia-studi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *